M. Bambang Pranowo, GURU BESAR SOSIOLOGI AGAMA UIN, JAKARTA Peristiwa Priok—benturan Satuan Polisi Pamong Praja dengan masyarakat (14 April 2010) yang menewaskan tiga orang dan membuat ratusan orang luka-luka di sekitar lokasi kuburan Syekh Habib Hasan bin Muhammad, yang lahir di Palembang pada 1727, yang lebih dikenal dengan Mbak Priok—sangat menarik dari sudut pandang transformasi agama. Kenapa peristiwa “tradisional”yang nyaris barbar seperti itu terjadi di Tanjung Priok, sebuah kawasan pelabuhan laut internasional yang sangat modern? Dalam konteks sosial-ekonomi modern, keberadaan makam Mbah Priok di Tanjung Priok memang kurang kontekstual dengan eksistensi lingkungan di sekitarnya. Tapi upaya penggusuran makam Mbak Priok untuk kepentingan ekonomi, seperti terjadi medio April lalu itu, ternyata juga bukan soal mudah, hingga menimbulkan permasalahan yang rumit, bahkan anarkistik. Ini artinya ada missing link antara kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar makam. Missing link tersebut sulit diperbaiki tanpa ada kesamaan pandangan dan pemahaman terhadap keberadaan makam Mbah Priok tersebut. itu seakan sudah taken for granted. Dari mana munculnya sebutan mbah untuk “Syekh”Habib Hasan? Orang jelas akan menebaknya dari Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, kelaziman sebutan tersebut jelas tidak datang sekonyong-konyong. Ada proses transformasi sosial dan proses Jawanisasi Islam di sana. Hal itu masih ditambah lagi dengan proses mitologi dan mistifikasi makam Habib Hasan. Tanpa ada proses mitologisasi dan mistifikasi terhadap makam Mbah Priok niscaya fenomena kekeramatan Mbah Priok tidak akan besar seperti sekarang. Secara sederhana, mungkin, sebutan mbah muncul dari keturunan Syekh Habib Hasan dari Jawa Timur. Perlu diketahui, banyak sekali kiai besar di Jawa Timur yang berdarah Yaman, negara nenek moyang Habib Hasan. Di Pasuruan, misalnya, ada Pesantren Al-Ma’hadul Islam yang didirikan Al-Habib Husen Abu Bakar alHabsyi, tokoh Islam keturunan Yaman. Mungkinkah keturunan mereka yang mengawali penyebutan mbah untuk Habib Hasan? Di samping itu, penyebutan habib juga bisa berasal dari orang-orang Islam tradisional asal Jawa yang menetap di Jakarta. Kelompok masyarakat ini jumlahnya amat banyak di Ibu Kota. Kelompok masyarakat Islam tradisional yang umumnya warga Nahdlatul Ulama ini memang mempunyai tradisi berziarah kubur ke makam-makam keramat atau makam para wali. Dalam kategori mereka, Habib Hasan adalah seorang wali yang sangat dihor mati. Karena itu, mereka menyebutnya "mbah". Dari berbagai aspek inilah sebutan mbah untuk Habib Hasan tampaknya amat pantas untuk beliau. Kondisi tersebut ditambah dengan cerita-cerita mistik di sekitar kuburan Mbah Priok. Salah satu cerita mistik itu menyebutkan, konon, astronot Amerika Serikat di pesawat ulangalik pernah melihat cahaya datang dari bumi. Setelah diteliti ternyata cahaya itu datang dari sebuah tempat di Jakarta. Setelah mendarat di Amerika, astronot itu datang ke ibu kota Indonesia untuk mencari asal cahaya tersebut. Setelah dicocokkan dengan foto dari pesawat antariksa, ternyata cahaya itu datang dari kuburan Mbah Priok. Konteks cerita di atas kelihatan amat modern. Seberkas cahaya datang ke ruang angkasa dan dilihat astronot. Ini jelas mistik modern. Beda dengan cahaya yang datang ke kuburan dan diterima para pertapa yang kelihatan kuno. Tampaknya kisah mistik itu berkorelasi dengan suasana kota besar Jakarta dan pelabuhan internasional modern Tanjung Priok, karena itu mistik pun harus terlihat modern. Namun bagaimanapun semodern-modernnya mistik, tetaplah sebuah fenomena irasional yang sulit diterima secara ilmiah. Meski demikian, kaum fungsionalis menganggap mistik itu perlu dalam kehidupan karena memberikan ruang untuk makna hidup sehingga membuat orang tidak punya perasaan bahwa hidupnya sia-sia. Perasaan hidup bermakna ini penting bagi manusia karena merupakan tonggak ketahanan fisik dan mental. Dalam konteks inilah kenapa mistifikasi dan mitologisasi sering sengaja dibangun oleh masyarakat. Dan, secara koinsidensi, proses mitologisasi dan mistifikasi ini menemukan tempatnya yang paling pas pada sebutan mbah. Di Jawa, orang saleh dan punya keramat biasanya dipanggil mbah. Salah satu mbah yang terkenal di Tegalroso, Magelang— tempat penelitian disertasi saya, Creating Islamic Tradition (Monash University, 1991)—adalah Mbah Hasan Muslim. Makam Mbah Hasan Muslim berada di Jomboran, 2 kilometer sebelah barat Tegalroso, Magelang. Mbah Hasan wafat pada 1921 dalam usia 90 tahun. Di makam Mbah Muslim banyak sekali muncul cerita mistik. Salah satunya pembangunan bendungan yang gagal terus karena tidak meminta izin kepada makam Mbah Hasan. Setelah meminta izin, pembangunan bendungan berjalan lancar. Bahkan, ketika bendungan belum selesai dan terjadi hujan besar hingga menimbulkan banjir bandang, bendungan pun sudah berfungsi baik seakanakan sudah selesai pembangunannya. Kisah mistik di makam Mbah Hasan ini jelas berkorelasi dengan kehidupan masyarakat setempat yang mayoritas petani tradisional yang butuh air dari bendungan irigasi. Dalam konteks inilah kisah seberkas sinar dari makam Mbah Priok bisa diberi makna. Kisah mistik di Jakarta akan lebih bermakna bila konteksnya berkaitan dengan teknologi modern. Namun, apa pun kisah mistiknya, sebutan mbah pada Mbah Priok merupakan hasil dari rekonstruksi Jawanisasi Islam yang berhasil di kota metropolitan. Dengan konstruksi mistik tersebut, maka makam Mbah Priok akan makin kelihatan berkeramat dan menjadi tonggak ketahanan fisik dan mental bagi warga sekitarnya. Melihat fenomena tersebut, akankah kepentingan ekonomi modern bisa berkompromi dengan mitologi kuburan? Orang Indonesia, khususnya masyarakat tradisional Islam di Jakarta, niscaya tahu jawabannya. Pemerintah juga tahu jawabannya. Tapi sayang, meski sama-sama tahu jawabannya, kompromi tersebut sulit terwujud—kecuali masing-masing pihak mau memahami kepentingan masing-masing dan mau mengakomodasi modernisasi dan mistifikasi dalam sebuah ruang yang sama. Toffler benar ketika menyatakan bahwa di era globalisasi akan muncul pikiran-pikiran arus balik yang bertentangan dengan trend setting globalisasi. Salah satu pikiran arus balik itu terjelma dalam tragedi Priok di atas. ●
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/04/27/ArticleHtmls/27_04_2010_010_010.shtml?Mode=1 [Non-text portions of this message have been removed]