Membongkar Hegemoni Wacana Sosiologi Barat
Happy Susanto
  
"Keangkuhan", "merasa paling benar", dan "klaim universalitas", adalah 
kata-kata yang pas untuk kita alamatkan kepada wacana, pendapat, dan analisis 
dalam sosiologi Barat selama ini. Apa yang kita terima dalam berbagai literatur 
dari wacana mereka adalah sebuah bentuk "kolonialisme" wacana, hegemonisasi 
kultural, dan "pemaksaan" pendapat yang menganggap "yang lain" (otherness, 
Timur, Islam) sebagai "barang rendahan". Maaf, jika kata-kata ini penulis 
kemukakan dalam tulisan ini karena memang demikianlah apa yang menjadi realitas 
saat ini. 

Bryan S. Turner, sosiolog kondang kenamaan abad ini, membongkar universalitas 
sosiologi Barat ini dalam bukunya yang versi aslinya berjudul, Orientalism, 
Postmodernism, and Globalism. Soal keangkuhan Barat dalam menilai Timur dan 
Islam, bisa diamati dari berbagai analisis akademik kaum orientalis yang 
mencibir kebudayaan non-Barat, dan menganggap Timur adalah irrasional, tidak 
demokratis, dan sangat mistik. Turner mencoba menunjukkan bahwa "sikap manis" 
Barat itu sesungguhnya memendam kelemahan, bahwa mereka belum tentu diklaim 
sebagai satu-satunya kebenaran, universal, dan independen. Keangkuhan Barat 
mesti kita "lawan" (lewat wacana) karena jika tidak maka mustahil kita mampu 
memberikan alternatif bagi kemunculan keilmuan yang lebih memihak pada 
obyektivitas dan kemanusiaan. Apalagi, untuk konteks "Islamisasi" ilmu-ilmu 
sosial dalam "garapan besar" The International Institute of Islamic Thought 
(IIIT), langkah strategisnya adalah-seperti apa yang dilakukan Turner ini-yaitu 
 membongkar superiority Barat dalam kajian akademis dan keilmuan.

Gejala modernitas dan kapitalisme global telah mengeruskan kekuatan 
religiusitas yang dilakukan agama-agama selama ini. Agama Kristen telah 
melakukan perombakan total dengan jalan sekularisasi general yang memadukan apa 
yang telah menjadi komitmen dan keyakinan religiusitas sebagai bagian 
kebudayaan Barat, sehingga memunculkan laju pertumbuhan masyarakat industri dan 
urban. Hal demikian pernah dianalisis Max Weber dalam bukunya, The Protestant 
Ethic and The Spirit of Capitalism (1958). Di sisi lain, ternyata Islam, 
seperti diklaim Turner, mulai tumbuh menjadi kekuatan dominan dalam bidang 
politik dan kebudayaan, tidak hanya di Timur tapi juga pada kebudayaan Barat. 

Kajian orientalisme juga mulai dipertanyakan. Banyak kritikan tajam diarahkan 
pada kalangan akademik Barat yang memahami non-Barat dengan pandangan sebelah 
mata bahwa mereka (Timur, Islam) menafikan rasionalitas modernisasi, dan lebih 
mengurusi hal-hal yang berbau spiritual. Anggapan demikian ternyata masuk pada 
mayoritas kajian sosiologis mereka, dan hasil analisisnya menjadi universal. 
Bersamaan dengan hegemonisasi pandangan ini, kemunculan Postmodernisme menjadi 
menarik untuk diapresiasi, terlepas beberapa ketidaksetujuan kita kepadanya. 
Perlu diingat bahwa rasionalisme instrumental Barat telah menancap kuat pada 
ingatan akademisi manapun disebabkan karena kuatnya arus globalisme (juga dalam 
hal pemikiran) yang membantu angapan-anggapan orientalisme. Postmodernisme 
ingin mendekonstruksi "narasi besar" (grand narrative) ini dengan mengajukan 
pluralitas pemikiran dan kebudayaan, di samping ada nilai emansipasinya juga. 
 
Orientalisme,  Postmodernisme, dan Globalisme
Pada tahun 1970-an, para akademisi tertarik untuk menyoroti tentang bagaimana 
masyarakat-masyarakat Barat memahami dan menafsirkan masyarakat-masyarakat 
Timur selama masa kolonialisme dan ekspansi kekuasaan kolonial Barat. 
Kemunculan karya Edward Said, Orientalism : Western Conceptions of the Orient 
(1979), telah menggoncangkan dunia. Istilah "orientalisme", seperti dirasakan 
Said, kurang begitu disukai oleh para spesialis di masa sekarang ini, baik 
karena terlalu samar-samar, maupun disebabkan oleh konotasi sikap eksekutif 
yang congkak dari kolonialisme.[2]. Dalam buku ini, Said mengemukakan sebuah 
kritik pedas terhadap konsep-konsep Barat tentang masyarakat Timur dan terhadap 
bagaimana wacana orientalisme mengukuhkan proses kolonialisme dan supremasi 
politik dunia Barat. Orientalisme lebih mengacu pada wacana-wacana khusus dalam 
mengkonseptualisasikan Timur sehingga menyebabkan Timur mudah untuk 
dikendalikan. Dalam wacana orientalisme termuat nilai-nilai kekuasaan.

Menurut Edward Said, arti orientalisme terkait dengan tiga fenomena yang 
melatarbelakanginya. Pertama, seorang orientalis adalah orang yang mengajarkan, 
menulis tentang, atau meneliti Timur, baik orang yang bersangkutan adalah 
seorang ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi, baik dari segi 
umum maupun khususnya, dengan mengklaim bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan 
memahami kebutuhan-kebutuhan Timur. Kedua, suatu gaya berfikir yang berdasarkan 
pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara 'Timur" (the Orient) 
dan (hampir selalu) "Barat" (the Occident). Ketiga, dan yang paling signifikan 
bagi Said :
Orientalisme dapat didiskusikan dan dianalisis  sebagai institusi yang berbadan 
hukum untuk menghadapi Timur, yang berkepentingan membuat pernyataan tentang 
Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur, mendeskripsikannya, 
dengan mengajarkannya, memposisikannya, menguasainya. Pendeknya orientalisme 
adalah cara Barat untuk mendominasi, merestrukturasi dan menguasai Timur.[3]
 
Pada tahun 1970-an ini, pemikiran Said sangat memukau ; dengan gaya pemikiran 
Anglo-Saxon dia memperkenalkan kita pemikiran yang mengagumkan dari Michel 
Foucault[4], yang karya-karyanya menjadi sumber penting bagi penelitian 
humaniora dan ilmu-ilmu sosial, bahkan di Indonesia sudah banyak bukunya yang 
telah diterjemahkan. Dengan mengadopsi pemikiran Foucault, Said berupaya 
mengetengahkan kritik-kritik yang sangat tajam terhadap liberalisme, dan 
memaparkan secara gamblang kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan yang menyatu 
padu, melalui sejumlah wacana, termasuk orientalime. Penyatuan ini kemudian 
memproduksi serangkaian obyek analisis yang terus menerus mempengaruhi 
kesarjanaan sekarang ini tanpa bisa diamati dan diantisipasi.
Karya Said ini amat menarik sekali karena dia mampu menghadirkan cara pandang 
baru dalam menganalisis sejarah dan fenomena sosial. Menurut Turner, 
"metodologi teks" adalah tantangan yang menarik dan penting dari karya Said, 
dengan alasan bahwa Said menggunakan metode "dekonstruksionime" 
(deconstructionism), dan dia pun mampu  menunjukkan bagaimana wacana-wacana, 
nilai-nilai, dan pola-pola pengetahuan telah membentuk "fakta-fakta" yang akan 
dipelajari oleh para sarjanawan sebagai sesuatu yang independen. Pendekatan 
Said dikatakan menarik karena dia mampu menghadirkan dirinya sebagai sosok 
intellectual hero (seorang pahlawan intelektual -istilah yang diberikan Turner 
sendiri), artinya dia tidak hanya berada pada studi sastra dan penelitian 
analitis, namun secara praksis dia dikenal sebagai tokoh garis depan dalam 
perjuangan politik Palestina dan Timur Tengah.

Menurut Turner, yang disayangkan dari Said adalah kritik-kritiknya terasa lemah 
bagi orientalisme Jerman dan Inggris. Hal ini pernah dikritik V.G. Kiernan, 
dalam bukunya Lords of Human Kind (1972). Kritik lain Turner terhadap Said 
adalah  berkaitan dengan masalah hubungan Michel Foucault dan politik. Tulisan 
Foucault tentang psikiatri di Soviet dan analisisnya tentang tradisi hukuman di 
Perancis memungkinkan orang untuk beralih dari pemikiran analitis kepada sebuah 
posisi politis. Dalam hal ini terasa sulit untuk menghubungkan antara sikap 
politik Said terhadap Palestina dengan posisi epistemologi bukunya, Orientalism 
(hal. 34).  Said, seperti dalam bukunya, Covering Islam, mengadopsi pemikiran 
"epistemologi realis", yang menghubungkan antara pengetahuan dan sikap politik 
yang merupakan buah dari pemikirannya.

Said memang berbeda dengan Foucault, dan terjadi ambivalensi antara kritik yang 
radikal dan Faucaudian terhadap representasi dan pendirian humanistik, yang 
sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan karya Faucault sendiri. Said 
berpendirian bahwa dirinya, karena dorongan rasa kemanusiaan, ingin membela 
sebuah kasus demi orang-orang yang dicabut hak miliknya oleh wacana-wacana 
kolonialis. Padahal penilaian Foucault terhadap cita-cita abad pencerahan 
adalah untuk menciptakan pengetahuan pokok tentang kebenaran yang obyektif dan 
menghalangi kemungkinan wacana universal yang mampu menggulingkan kekuatan 
opresif.[5] Penggunaan metode Foucault menyebabkan Said tidak memungkinkan 
untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan kolonialis, karena Foucault tidak 
berangkat dari epistemologi, tapi menganalisis arkeologi sebuah pengetahuan 
secara kritis dan obyektif.

Yang ingin ditantang oleh Foucault adalah klaim pengetahuan yang absolut dan 
bisa diterapkan secara universal sebagai landasan aksi politik seutuhnya, dan 
ini terjadi pada Said. Ambivalensi dalam karya Said telah dianggap oleh 
sejumlah peresensi buku Orientalism dalam kalangan post-strukturalis sebagai 
sebuah gerakan catechrestic yang telah menggoncangkan bangunan-bangunan rezim 
pengetahuan kolonial dan neo-kolonial.[6] Yang melatarbelakangi aksi praksis 
Said adalah karena pembentukan persepsi Barat terhadap bangsa Arab dan Islam 
menjadi masalah yang sangat politis dan keras. Pertama, sejarah prasangka 
anti-Arab atau anti-Islam yang populer di kalangan akademik dan pengambil 
kebijakan Barat, yang sangat tercermin dalam sejarah orientalisme. Kedua, 
pergulatan antara orang-orang Arab dan Zionisme Israel, dan pengaruh terhadap 
penduduk-penduduk Yahudi Amerika maupun terhadap budaya liberal dan penduduk 
pada umumnya. Orang Arab menjadi dirugikan karena stereotip negatif yang 
melekat padanya. 

Ketiga, tidak adanya posisi budaya yang memungkinkan Arab untuk 
mengidentifikasikan dirinya dengan baik karena Timur Tengah kini telah begitu 
diidentikkan dengan politik negara-negara adikuasa, ekonomi minyak, dan 
perbedaan antara Israel yang dianggap demokratis dan cinta damai dan 
orang-orang Arab yang biadab, totaliter dan teroris.[7] Dan berdasarkan 
pengalaman yang dialami Said, ditambah dengan analisanya yang tajam terhadap 
kerancuan-kerancuan orientalisme, kemudian hal ini mendorong dia untuk berjuang 
melawan kolonialisme Barat --bahkan menjadi tokoh garis depan.

Kritik lain yang dikemukakan Turner terhadap pendekatan sejarah Said adalah 
konsentrasinya terhadap "tekstualitas" dan "tektualisme". Tekstualisme 
menyebabkan solipsisme-yaitu teori yang mengatakan bahwa satu-satunya 
pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan diri sendiri-- buta yang tidak 
dapat membedakan mana tulisan yang bersifat rekaan dan mana yang memang sebuah 
rekaman atas kenyataan sosial nyata (hal. 35).  Turner juga mengkaitkan 
pemikiran Said antara fasisisme dan dekonstruksionisme. Di samping melandaskan 
konsepnya pada Foucault, Said juga mengadopsi pemikiran Heidegger, khususnya 
kritik filsafat metafisiknya, yang memiliki kaitan erat dengan fasisme (hal.36).

Kemunculan orientalisme menyebabkan kemunculan wacana baru sebagai 
tandingannya, yaitu oksidentalisme. Menurut Turner, oksidentalisme berisikan 
penolakan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Barat dan penolakan 
tak langsung terhadap warisan modernisasi. Sikap penolakan anti Barat ini 
sejalan dengan kemunculan gagasan "indigenisasi" (indigenization) pengetahuan 
yang tumbuh dan berkembang pada "masyarakat dunia-ketiga" (the third-world 
society) akhir-akhir ini. Oksedentalisme menjadi menarik dikaji bersamaan 
dengan maraknya perbncangan tentang "islamisasi ilmu pengetahuan" (islamization 
of knowledge). Jika boleh berpendapat, secara real kekuatan yang sangat 
bernilai strategis apabila gerakan islamisasi ilmu pengetahun diproyeksikan 
untuk melawan hegemonisasi pengetahuan Barat yang mengklaim sebagai universalis 
dan instrumentalis. Bukan justru berkehendak untuk menampilkan sisi 
normativitas Islam, yang sesungguhnya masih kabur, untuk dianggap sebagai 
sebuah ilmu yang mandiri dan independen. 

Dalam buku yang kita bedah ini, sebenarnya Turner juga melancarkan kritiknya 
terhadap gerakan islamisasi ilmu pengetahuan, dengan mengajukan sebuah 
pertanyaan penting : apakah klaim fundamentalis terhadap islamisasi pengetahuan 
bersifat modernis atau anti-modernis? (hal 37). Jika, jawabannya adalah 
anti-modernis, maka apakah mungkin melakukan islamisasi pengetahuan tanpa 
menggunakan perangkat teknologi yang telah lama diproduksi oleh Barat, dan di 
dalamnya tentu memuat nilai-nilai Barat yang mesti diadopsi pula. Sebaliknya, 
apabila bersifat modernis maka sesungguhnya gerakan islamisasi pengetahuan 
berbeda dengan gerakan oksidentalisme. Hassan Hanafi, penulis buku Muqaddimah 
fi Ilm al-Istighrab (Oksidentalisme), menyatakan bahwa dalam oksidentalisme 
yang menjadi persoalan adalah problem identitas. Perlu ada penegasan identitas, 
penegasan eksistensi ego (Islam, Timur) dalam menghadapi the other (Barat), dan 
penegasan orisionalitas dalam menghadap modernisasi dan alienasi yag terkait 
dengan westernisasi, yang menjadi media bagi perlawanan dan perubahan.[8] 
Apakah islamisasi pengetahuan berupaya untuk meneguhkan identitas? Jika iya, 
bagaimana mungkin melepaskan secara penuh dari pengaruh-pengaruh Barat?

Kelemahan yang terasa dalam wacana orientalisme menyebabkan para pengkaji dari 
barat untuk menggiring wacana itu kepada globalisasi atau disebut dengan 
sosiologi global. Banyak orang menyederhankan pengertian globalisasi 
(globalization) dengan westernisasi (westernization). Menurut Turner, munculnya 
globalisasi akan menyulitkan pemahaman kita tentang istilah ini apabila masih 
membicarakan kebudayaan-kebudayaan Timur dan Barat yang terpisah, otonom, atau 
independen (hal 40). Kenapa? Karena, perbincangan terakhir itu telah 
ditinggalkan oleh wacana orientalisme yang sudah ketinggalan zaman dan 
melangkah pada sosiologi global. Akan menarik apabila wacana orientalisme yang 
menuju globalisasi ini dihubungkan dengan perbincangan mengenai postmodernisme. 
Perdebatan-perdebatan postmodern menekankan pentingnya perbedaan dan 
"ke-yanglain-an" (otherness). 

Apa itu "postmodernisme"? J. F. Lyotard dalam bukunya La Condition Postmoderne 
(1979), mengartikan postmodernisme secara sederhana sebagai "incredulity 
towards metanarratives" (ketidakpercayaan terhadap matanarasi). Metanarasi yang 
dimaksud, misalnya : kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar, dan 
sebagainya. Lyotard adalah filosof yang memperkenalkan istilah postmodernisme 
ke dalam bidang filsafat.  Bagi dia, postmodernisme itu sepertinya adalah 
sebuah "intensifikasi dinamisme", upaya tak henti-hentinya untuk mencari 
kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi kehidupan terus. Dengan kata lain, dalam 
bidang filsafat postmodernisme diartikan sebagai "segala bentuk refleksi kritis 
atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya".[9]  
Terkadang orang menyamakan postmodernisme dengan postmodernitas. Apa yang 
membedakan keduanya? Menurut I. Bambang Sugiharto, postmodernisme menunjuk pada 
kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan 
ideologi-ideologi modern. Sedangkan yang kedua merupakan situasi dan tata 
sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, 
konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya 
negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.[10] 
Pengertian ini juga yang dimaksud Turner, dan menjadi dasar kritikannya 
terhadap Ernest Gellner yang meyamakan kedua arti tersebut. Singkatnya, 
postmodernisme bermakna pemikiran filosofis yang menyerang modernisme, dan 
postmodernitas adalah realitas yang merupakan hasil dari pemikiran yang 
diproduksi.

Upaya yang dilakukan postmodernisme adalah membongkar dan menghancurkan meta- 
narasi yang dihasilkan dari sebuah ideologi dan pemikiran mainstream yang 
hegemonik dan menguasai kultur pengetahuan masyarakat. Secara bersamaan, 
filsafat postmodern menyalahkan kapitalisme yang eksploitatif dan sosialisme 
yang birokratik, dan sama-sama dianggap sebagai "narasi-narasi besar" (grand 
narrative) yang menyebabkan kegersangan bagi dunia sosial modern. Menurut 
Turner, perkembangan-perkembangan politik dan intelektual dalam postmodernisme 
menjadi tantangan besar bagi orientalisme (hal 46). Orientalisme yang merupakan 
bagian dari meta-narasi menjadi memungkinkan untuk dilawan bagi kalangan 
postmodern. Cita-cita yang ingin diusung oleh postmodernisme adalah terjalinnya 
kehidupan yang plural, demokratis, egaliter, dan menjamin bagi emansipasi 
sebuah ideologi tanpa memasung rasa kemanusiaan. 
Pasca runtuhnya Komunisme Soviet (yang menurunkan citra sosialisme dan 
tumbuhnya pengaruh postmodernisme), membuat posisi global Islam menjadi kembali 
diperhitungkan. Menurut Turner, adalah memungkinkan bagi Islam untuk 
"bergandengan tangan" dengan postmodernisme, dengan catatan bahwa perlu ada 
reformasi di dalam tubuh Islam dengan menghilangkan kecenderungan mengarah pada 
"narasi besar" yang disebabkan dari citra keseragaman dan ortodoksi keagamaan 
yang secara fundamental memegang teguh gagasan rasionalisme universal, 
disiplin, dan asketis. 
 
Menyoal Hubungan antara Islam dan Barat
Kajian mengenai orientalisme tidak terlepas dari wacana hubungan Islam dan 
Barat. Umumnya, dipahami bahwa kalangan orientalis (yang dianggap pihak Barat) 
memahami Timur (mayoritas adalah Islam) sebagai suatu pemahaman dan analisa 
yang tidak berimbang, cenderung menyudutkan pihak yang kedua. Dalam buku ini, 
Turner mencoba menjelaskan di mana letak ambiguisitas antara keduanya (Islam 
dan Barat), mana yang menjadi persamaan dan perbedaannya.  Kita pernah 
diguncangkan oleh bukunya Samul Huntington, yang berjudul The Clash of 
Civilization and the Remaking of world Order. Buku ini menjelaskan bagaimana 
Barat dan non-Barat (Timur) adalah dua wilayah yang saling berbenturan. Menurut 
Huntington, pasca runtuhnya Komunisme maka Islam memiliki peluang untuk 
berbenturan dengan Barat. Konflik yang terjadi lebih pada kebudayaan yang 
berbeda antar keduanya. Lebih lanjut Huntington menyatakan :
 
"Dalam dunia baru tersebut, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan 
sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, 
antara golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok 
(kekuatan) ekonomi lainnya, tapi konflik antara orang-orang yang memiliki 
entitas-entitas budaya yang berbeda-beda".[11]

Sebenarnya, apa yang membedakan antara Barat (West) dan Timur (East)? Keduanya 
merupakan konsep yang tidak jelas dan sering terjadi pertukaran makna. 
Orientalisme berhak kita "gugat" karena meta-wacana ini telah menyebabkan 
pembedaan yang sangat timpang antara Timur dan Barat. Sejak dibukanya sejumlah 
jabatan untuk mengembangkan pemahaman tentang bahasa-bahasa dan kebudayaan 
Timur oleh Dewan Gereja Wina (Church Council of Vienna), istilah orientalisme 
muncul. Orang sering menganggap Islam itu identik dengan Timur. Dalam sosiologi 
Weberian, fakta Islam yang direkam adalah monotheistik, profetik, dan asketik. 
Berbeda dengan Islam, asketisme Protestan secara khusus memainkan peran yang 
sangat penting bagi pertumbuhan rasionalitas Barat. Bagi Weber, masyarakat 
Timur digambarkan secara sederhana sebagai masyarakat yang tidak memiliki 
unsur-unsur positif rasionalitas Barat. Masyarakat Timur didefinisikan sebagai 
sebuah sistem ketiadaan --tidak ada kota, tidak ada kelas menengah, tidak ada 
lembaga-lembaga perkotaan yang otonom, dan tidak ada hak milik (hal 101). 

Pandangan sosiologi Barat menggambarkan sebuah bentuk idealisme subyektif yang 
tanpa disadarinya telah mereproduksi unsur-unsur pemikiran borjuis. Weber 
membandingkan dunia Timur dan Barat dengan sistem penjelasan yang menggunakan 
"hukum rasional" (rational law), "kota-kota bebas" (free cities), "borjuis 
perkotaan" (urban bourgeoisie), dan "negara modern" (modern state), sebagai 
ciri-ciri pada masyarakat Barat. Sebaliknya, sistem yang berbentuk "hukum dan 
ad hoc" (ad hoc law), "kamp-kamp militer" (military camps), "pedagang yang 
dikontrol negara" (state-controled merchants), dan "negara patrimonial" 
(patrimonial state), sebagai ciri-ciri dalam masyarakat Timur. Sebuah 
perbandingan sosiologis yang dilakukan melalui fakta yang tidak berimbang. 
Weber dikenal sebagai pencetus "rasionalisme instrumental" sehingga metode 
pemikiran sosiologinya menjadi begitu dominan bagi masyarakat Barat sampai saat 
ini.

Lalu, timbul pertanyaan selanjutnya : apakah kemudian pemikiran Karl Marx 
menyiratkan sebuah pemihakan terhadap budaya dan masyarakat Timur? Pertanyaan 
ini dijawab oleh Turner bahwa keduanya (Weber dan Marx) sama-sama menganut 
pola-pola penjelasan yang agak mirip dalam menjelaskan keberadaan sejarah dalam 
masyarakat-masyarakat Barat dan ketiadaannya (sejarah) dalam masyarakat Timur 
(hal 104). Penjelasan Weber dan Marx adalah bentuk lain dari "despotisme Timur" 
karena keduanya sama-sama menganut pandangan bahwa politik negara di Timur 
bersewenang-sewenang dan tidak menentu. Akhirnya, penjelasan sosiologi weberian 
dan Marxisme strukturalis tidak mengembangkan tanggapan-tanggapan yang 
memuaskan terhadap prosedur-prosedur penjelasan mengenai orientalisme.  

Pembedaan antara Islam dan Barat sangat ditentukan oleh keberhasilan 
orientalisme dalam menancapkan wacana hegemoniknya pada masyarakat Barat. 
Politik penjajahan yang dilakukan Barat sangat berpengaruh kuat dalam membentuk 
citra Barat tentang Islam dan analitis mereka tentang masyarakat-masyarakat 
ketimuran atau oriental society. Dengan meminjam kerangka analisis Foucault, 
seperti diadopsi Said, kekuasaan dan pengetahuan ternyata saling mempengaruhi 
satu sama lain. Kekuasaan sebenarnya melekat dalam bahasa dan institusi yang 
kita gunakan untuk mendeskripsikan, memahami, dan mengotrol dunia. Dan Said 
berhasil menunjukkan bahwa sebagai sebuah wacana, dikotomi Timur/Barat yang 
secara sekilas tampak netral sebenarnya merupakan ekspresi dari suatu relasi 
kekuasaan tertentu (hal 64). Dan dengan jelas sekali orientalisme mengungkapkan 
ciri-ciri progresif Barat dan menunjukkan kemandekan sosial masyarakat Timur.

Ada sebuah paradoks membuat perbedaan antara Islam dan Barat. Turner mengklaim 
bahwa  Islam memiliki ikatan keagamaan yang kuat dengan Yahudi dan Kristen, 
tidak seperti Hinduisme dan Konfusianisme. "Mengkategorikan Islam dengan Timur 
(oriental religion) akan meinmbulkan kesulitan-kesulitan besar dalam wacana 
orientalis", kata Turner. Islam meberikan sumbangan kultural yang berharga bagi 
Barat dan menjadi kebudayaan dominan di beberapa masyarakat Mediteranian. 
Menurut Turner, Islam tidak selamanya Timur, Kristen pun sebenarnya tidak bisa 
dikategorikan begitu saja sebagai agama Barat. Apa alasan Turner? Ia melihatnya 
secara geografis dan kultural bahwa Kristen, sebagai kepercayaan Smitik yang 
berakar pada agama Abrahamik, bisa dipandang sebagai agama Timur. Sementara 
Islam yang menjadi bagian penting dari kebudayaan Spanyol, Sisilia, dan Eropa 
Timur, sebaliknya dapat dipandang sebagai agama Barat (hal 66). Jadi, 
pengertian Barat-Islam terasa ambigu sekali. Hal ini disebabkan karena wacana 
orientalisme yang membuat jurang pembedaan yang besat antara keduanya. Dan juga 
disebabkan karena analisa Weber yang menyebut Timur serba keterblakangan dan 
Barat serba rasional, bisa mengarah pada universalitas pandangan orientalis, 
dengan pijakan rasionalisme instrumentalnya.

Turner juga mencatat tentang problematika orientalisme yang menganggap 
ketiadaan masyarakat sipil (civil society) pada Islam, dan lemahnya kebudayaan 
borjuis dalam kaitannya dengan keterbelakangan ekonomi, namun juga dengan 
despotisme politik (hal 82). Dalam ungkapan yang sederhana, konsep "masyarakat 
sipil" selama ini telah digunakan sebagai dasar pemikiran bahwa Timur 
sesungguhnya adalah negara, bukan masyarakat. Konsep dalam masyarakat sipil 
mengandung pengertian bahwa individualitas dan hak-hak individu menjadi 
penyeimbang bagi kekuasaan despotisme mayoritas, yaitu asosiasi-asosiasi 
sukarela (masyarakat sipil itu sendiri) yang kuat yang menjaga individu dari 
kontrol mayoritas dan memelihara keanekaragaman kepentingan dan kebudayaan.  
Menurut Turner, pandangan orientalis yang menganggap tidak adanya masyarakat 
sipil dalam Islam sesungguhnya merupakan refleksi dari kegelisahan-kegelisahan 
politik yang mendasar tentang kondisi kebabasan politik di Barat (hal 90). 
Turner kembali menegaskan bahwa persoalan orientalisme sesungguhnya bukan 
persoalan Timur, melainkan persoalan masyarakat Barat sendiri. Kata Turner, 
"despotisme Timur sesungguhnya hanyalah penulisan ulang besar-besaran tentang 
monarkhi Barat", yang pendangannya "dilempar" ke dalam Islam. Entah, apa 
sebenarnya penjelasan kritis Turner mengenai hal ini.
 
Beberapa Pandangan Orientalis Mengenai Islam
Dalam tulisannya, Turner membedah beberapa orientalis yang mengkaji tentang 
masalah Islam. Kita mengenal Marshal Hodgson melalui karya monumentalnya tiga 
jilid berjudul The Venture of Islam (1974). Dalam buku itu, Hodgson berusaha 
melampaui pendekatan-pendekatan filosofis tradisional terhadap Islam dengan 
memberikan perhatian penuh terhadap sejumlah daerah yang di dalamnya Islam 
ditentukan oleh faktor-faktor sosiologis, ekonomis, dan geografis yang 
melingkupinya. Sebuah kajian sejarah tentang Islam yang sangat lengkap. Menurut 
Turner, pendekatan Turner ternyata masih gagal untuk melepaskan dirinya secara 
total dari asumsi-asumsi asosiologis orientalisme tradisional. Dalam pandangan 
Hodgson, Islam, sebagai agama maupun sistem sosial, diperlakukan sebagai 
perjalanan kesadaran nurani personal yang bersifat batin dalam menciptakan 
peradaban yang impersonal dan lahiriah. Hati nurani dianggap sebagai sebuah 
aktivitas kreatif paling kecil bagi seorang muslim ketika menghadapi realitas 
di luarnya.

Hodgson membedakan antara kajian-kajian tentang Islam an sich dan kajian-kajian 
tentang dunia Islam (Islamdom). Ia membedakan Islam sebagai ajaran (iman) 
dengan Islam sebagai sebuah konteks sejarah. Bagi Hodgson, kebutuhan untuk 
membedakan antara keduanya cukup mendesak karena, menurutnya, siapa saja sering 
terjebak untuk menyamakan antara Islam sebagai agama dan sebagai budaya. 
Istilah "Islamdom" dapat saja diperbandingkan dengan "Christendom". Menurut 
Hodgson, "Islamdom" adalah masyarakat di mana kaum muslimin dan kepercayaan 
yang diakuinya sebagai yang berlaku umum dan dominan secara sosial, dan menjadi 
sangat penting pada beberapa arti untuk membentuk kebudayaan bersama.[12] Dalam 
pandangan Hodgson, kesalehan spiritual (ketaatan spiritual seseorang) adalah 
"cara seseorang merespon ilahi", sedangkan agama mencangkup "percabangan yang 
bermacam-macam dari tradisi-tradisi yang dimaksudkan untuk mewadahi 
respon-respon semacam itu".  Jadi, agama adalah kulit luar yang dapat 
dijelaskan secara sosiologis, sedangkan kesalehan adalah bagian dalam, inti 
yang tak dapat dijelaskan secara sosiologis.

Turner menyimpulkan pendekatan Hodgson terhadap kesalehan/agama memunculkan apa 
yang disebut "kekebalan" (imunitas) sosiologis bagi keimanan. Pendapat Hodgson 
memisahkan mana yang merupakan ruang privat (keimanan) dan mana ruang publik 
(agama yang membudaya dalam konteks sosial). Seperti kata Hodgson : "Pada 
akhirnya seluruh kepercayaan adalah hal privat.Kita terutama adalah anak 
manusia, dan secara sekunder saja kita kita berpartisipasi dalam tradisi ini 
atau tradisi itu". Tapi, menurut Turner, penjelasan Hodgson terhadap bagaimana 
memahami sistem kepercayaan asing tampak tidak memuaskan, karena jawabannya 
tidak meyakinkan (hal 135). Alasannya, karena Hodgson sendiri adalah pemeluk 
Kristen yang kuat sehingga dia menolak setiap usaha untuk memilih elemen 
tertentu dari Kristen dan Islam yang dapat dianggap sama dan dapat 
diperbandingkan. Menurut Turner, setiap usaha ke arah sinkretis, atau setiap 
pandangan yang menganggap bahwa semua agama adalah sama karena semuanya 
berpijak pada suatu respon kemanusiaan terhadap yang ilahi ditolak oleh 
Hodgson. Kritik minor terhadap Hodgson adalah bahwa dia tidak mengemukakan 
komitmennya sendiri secara tepat dan sistematik. Dia adalah penganut Kristen 
yang yakin dan mengikuti ajakan Quaker, tapi dalam analisis sejarah kegamaan 
banyak berhutang budi pada Rudolf Otto dan Mircea Eliade.

Setelah membedah Hodgson, Turner kemudian mengkaji pemikiran Von Grunebaum, 
seorang sejarahwan tentang dekadensi dan kemunduran Islam. Menurut Von 
Grunebaum, kemunduran Islam dari perwujudan kebajikan agama yang ideal 
diperparah dengan masalah-masalah yang ada dalam tradisi hukum sucinya yang 
tidak dapat dikembangkan untuk memberikan kondisi baru bagi perkembangan sosial 
(hal 163). Baginya, kekakuan hukum dan gap atau ruang kosong antara ideal 
keagamaan (secara normatif) dan praktik politik kekuasaan (secara empirik) 
dalam Islam, menunjukkan kegagalan teologis Islam. Islam gagal disebabkan 
karena konservatisme dan tidak adanya integrasi kultural. Dia memandang bahwa 
umat Islam hanya melakukan pengulangan sejarah, atau bisa disebut dengan 
"romantisme historis", sehingga hakikat realitas Islam adalah tidak berubah. 

Bagi Grunebaum, sifat terus-menerus mengulang dari sejarah Islam menunjukkan 
sisi lebih lanjut dari daya memiliki kultural dan imitasi sosial Islam 
(cultural mimicry social imitation). Islam kemudian dipandang sebagai barang 
pinjaman yang tak ada habisnya dari masa lalu pagan Arab, dari teologi 
monotheistik Yahudi-Kristen, dari logika Hellenistik, dan dari teknologi Cina. 
Hampir secara keseluruhan masyarakat Islam dianggap tidak kreatif dan tidak 
memiliki pengaruh sama sekali, dan aturan-aturan komposisi puisi Arab dianggap 
hanya membuat pengulangan-pengulangan dan tidak adanya penemuan baru (hal 164). 
Ketika Grunebaum beralih kepada permasalahan-permasalahan tentang kepercayaan 
dan praktik peribadatan dalam Islam, dia sekali lagi menuduh bahwa Islam itu 
gersang, sederhana, dan secara emosional tidak memuaskan.  Secara singkat, 
Grunebaum memberikan kepada kita sebuah tesis bahwa kegagalan Islam pada 
akhirnya adalah kegagalan pemikiran dan keinginan. Jika di Islam sikap 
kesalehan ritual diorientasikan untuk mencari kehidupan yang damai dan tenang 
sehingga meminimalisir kegiatan berfikir dan etos kerja, sedangkan di Barat, 
munculnya dunia modern ditandai dengan deklarasi tentang pikiran aktif mencari, 
yakni I think, therefore I am (aku berfikir maka aku ada). Filsafat Cartesian 
membuka jalan bagi modernisasi yang didasarkan pada nilai-nilai pencapaian dan 
tindakan. Fenomena modernitas juga pernah ditunjukkan oleh Weber tentang etos 
kapitalisme Barat yang berasal dari doktrin Protestanisme.

Turner kemudian mengkritik pendapat Grunebaum dengan dua catatan. Pertama, 
Turner menganggap Grunebaum mengkaji Islam dari luar dan benar-benar 
menganggapnya sebagai tugas akademik untuk ikut memberikan penilaian atas 
Islam. Pernyataannya tentang gap antara cita dan realitas dalam Islam tidak 
berimbang dengan yang terjadi Kristen, yang seharusnya mendapat sorotan pula. 
Dengan mengutip Edward Said, Turner menganggap bahwa pespektif Grunebaum penuh 
dengan "sikap tidak suka yang jahat terhadap Islam" (hal 169). Kedua, soal 
pernyatan Grunebaum tentang romantisme atau pengulangan sejarah dalam Islam. 
Wacana yang dikemukan dibumbui dengan keanehan literatur, di mana ia 
menggambungkan antara antropologi dan filologi. Ia juga melakukan pengulangan 
dengan mereproduksi seluruh tema mimetik orientalisme.

Sebagai catatan akhir untuk mengakhiri tulisan ini, dapat penulis kemukakan 
bahwa sudah saatnya sosiologi menjadi sebuah kajian yang terbuka bagi 
keseragaman pandangan dalam menilai masyarakat-masyarakat, baik di Timur maupun 
Barat. Di zaman postmodern ini maka kajian mengenai sebuah persoalan, misalnya 
tentang orientalisme, tidak bisa lagi dianggap sebagai sebuah pengamatan yang 
final, universal, dan menjadi satu-satunya kebenaran. Dalam buku ini Turner 
mengajukan sebuah pandaagan sosiologi yang multi-paradigmatik, hampir mirip 
dengan gagasannya George Ritzer yang menulis buku Sociology : A Multiple 
Paradigm Science (1980) --walaupun dalam buku ini Turner tidak menyebut satupun 
nama Ritzer. Wacana orientalisme yang telah mengakar kuat pada masyarakat Barat 
menjadi kajian sosiologi yang sangat hegemonik, dan kini layak untuk 
"dibongkar" kembali untuk mebuat keseimbangan pandangan tentang Islam dan Barat 
yang obyektif. Kemunculan oksidentalisme menjadi penting untuk dihadirkan. 

Buku ini terasa sulit untuk dibaca secara lengkap dan tuntas karena kerumitan 
yang suguhkan oleh Turner sendiri, di samping kurang halusnya bahasa 
terjemahannya. Dengan keluasan wawasan dan literatur yang sangat dalam, Turner 
berupaya mengkaji secara kritis beberapa pemikir ilmu-ilmu sosial modern dengan 
amat komprehensif dan berimbang. Hanya saja, Turner kurang mampu membuat 
tulisannya itu secara sistematis untuk membidik mana saja persoalan yang layak 
dikritisi. Sikap kritisnya pun belum begitu mampu menjatuhkan analisa-analisa 
dari obyek kritikannya. Tapi, dalam persoalan orientalisme, Turner cukup 
berhasil dalam menghadirkan analisa Foucault dan Edward Said untuk "menghabisi" 
kerancuan-kerancuan kalangan orientalis yang memahami Timur dan Islam secara 
tidak adil. Apapun yang dilakukannya, buku ini adalah sebuah "karya agung" 
untuk memunculkan bagi kajian sosiologi alternatif yang bisa mengajukan 
analisa-analisa baru secara obyektif, plural, dan penuh keterbukaan. 

Saduran dari judul buku : Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar 
Wacana atas Islam vis a vis   Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan 
Globalisme; Penulis : Bryan S. Turner; Penerbit : Ar-Ruzz Press Yogyakarta; 
Cetakan I Tahun : Agustus 2002; Penerjemah : Sirojuddin Arif, Inyiak Ridwan 
Muzir, dan Muhammad Syukri; Tebal : 453 halaman.
 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke