http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=5138

2009-02-20 
Mengawal Program Pendidikan Gratis


Wim Tangkilisan



Selama hampir lima tahun masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono secara konsisten memberikan perhatian pada dunia pendidikan. Wujud 
konkretnya lewat peningkatan anggaran pendidikan, khususnya yang dikelola 
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dalam anggaran pendapatan dan 
belanja negara (APBN). 

Dalam APBN 2009, Depdiknas memperoleh anggaran sekitar Rp 60 triliun atau 
meningkat 20 persen dibanding anggaran tahun sebelumnya. Peningkatan itu 
terkait langsung dengan amanat UUD 1945 yang mematok anggaran pendidikan 
minimal 20 persen dari APBN. Sampai saat ini, memang masih ada perdebatan 
tentang apakah pemerintah telah memenuhi kewajiban itu, karena volume APBN 2009 
mencapai Rp 1.000 triliun. Artinya, anggaran pendidikan minimal Rp 200 triliun. 
Pemerintah mengklaim amanat UUD 1945 sudah dipenuhi. Alasannya, anggaran 
pendidikan tidak hanya dikelola Depdiknas, tetapi juga departemen lain dan 
dana-dana dekonsentrasi. 

Terlepas dari persoalan itu, kita melihat pemerintah sudah on the track dalam 
hal anggaran pendidikan. Lalu, bagaimana pemanfaatannya?

Secara umum, Depdiknas memiliki sejumlah program untuk pemerataan dan 
peningkatan kualitas pen- didikan. Salah satu program yang diprioritaskan 
adalah pendidikan gratis untuk pendidikan dasar sembilan tahun (SD dan SMP). 

Belum lama ini, Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan, mulai 2009, semua sekolah 
dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) negeri harus membebaskan siswa 
dari biaya operasional dan pungutan lainnya. Sebab, pemerintah telah 
meningkatkan kesejahteraan guru dan menaikkan dana bantuan operasional sekolah 
(BOS) 2009. 

Biaya satuan BOS per siswa per tahun mulai Januari 2009 naik sekitar 50 persen 
dibanding tahun sebelumnya. Untuk SD negeri di kabupaten, BOS yang diberikan Rp 
397.000 per anak dan SD di kota Rp 400.000 per anak. Sebelumnya, BOS untuk SD 
hanya Rp 254.000 per tahun. Sedangkan, dana BOS untuk siswa SMP di kabupaten Rp 
570.000 dan di kota Rp 575.000 per anak. Tahun 2008, BOS untuk SMP Rp 354.000 
per anak.

Pendidikan gratis sebetulnya bukan program baru. Sebelum pemerintah pusat 
melalui Mendiknas Bambang Sudibyo mendeklarasikan pendidikan gratis mulai 2009, 
sejumlah pemerintah daerah telah melaksanakannya. Seperti yang diberitakan 
harian ini, Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, telah menggratiskan biaya di 
1.102 sekolah, terdiri dari 800 SD dan 250 SMP negeri dan swasta, serta 52 SMA 
negeri. Hal itu bisa dilaksanakan karena Dinas Pendidikan setempat mendapat 
anggaran Rp 1,56 triliun atau meningkat hampir 50 persen dibanding tahun 
sebelumnya.


Kualitas SDM

Di Kabupaten Seluma, Bengkulu, dengan anggaran Rp 126 miliar atau meningkat 30 
persen dari tahun sebelumnya, biaya pendidikan SD dan SMP pun digratiskan. 
Kebijakan serupa juga ditempuh Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. 
Pendidikan gratis di provinsi ini berlaku mulai SD hingga SMA negeri. Gubernur 
Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo pun memiliki kebijakan serupa. 

Menurutnya, kalau masih ada bupati atau wali kota yang enggan menggratiskan 
biaya pendidikan tingkat dasar, keberpihakannya kepada rakyat patut 
dipertanyakan.

Pemerintah Kota Yogyakarta juga melarang SD dan SMP negeri memungut biaya apa 
pun dari orangtua siswa, kecuali untuk sekolah berstandar internasional (SBI) 
dan rintisan SBI. Tak hanya itu, Pemkot juga menambah bantuan bagi siswa, yakni 
Rp 250.000 untuk siswa SD dan Rp 625.000 untuk siswa SMP, di samping bantuan 
operasional sekolah dari APBN.

Sungguh luar biasa memang respons sejumlah pemerintah daerah. Hal itu 
menunjukkan para pemimpin di daerah telah menyadari betapa pentingnya upaya 
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) pada era persaingan global ini. 
Pendidikan berkualitas merupakan jawaban atas tantangan global dan Depdiknas 
berupaya mewujudkannya.

Dalam Pasal 34 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 
disebutkan,"Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib 
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya." 
Kemudian,"Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan 
oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat." 

Pendidikan gratis ini tidak berlaku untuk SBI, rintisan SBI, dan 
sekolah-sekolah yang dikelola pihak swasta.

Berdasarkan ketentuan itu, ungkapan bahwa pendidikan mahal, masih tak dapat 
dimungkiri. Pemerintah memiliki keterbatasan dana, sehingga pada tahap awal 
hanya menggratiskan pendidikan dasar di sekolah-sekolah negeri. Dengan 
demikian, pendidikan yang dikelola pihak swasta masih tetap harus diperhatikan.

Sejauh ini, memang pemerintah cukup banyak memberikan bantuan kepada 
sekolah-sekolah swasta, di antaranya melalui BOS. Tetapi, ada juga sekolah yang 
menolak bantuan itu karena khawatir akan ada intervensi pemerintah. 
Sekolah-sekolah ini umumnya memiliki dukungan dana yang kuat, karena disponsori 
konglomerat. 

Kita tentu tak boleh menutup mata terhadap peran swasta dalam mendidik anak 
bangsa. Tidak semua yayasan swasta mampu. Bagi yang kurang mampu, tentu bantuan 
pemerintah sangat diperlukan. Sedangkan, bagi yayasan-yayasan yang sudah bisa 
mandiri, pemerintah tak perlu banyak campur tangan lagi. Pemerintah bisa 
mendorong keberadaan mereka melalui legislasi yang propendidikan, bahkan lewat 
insentif pajak. Insentif pajak pendidikan perlu diperluas, seperti yang berlaku 
di Singapura, Filipina, Bangladesh, dan Korea.


Sosialisasi

Berdasarkan amanat UU Sisdiknas, muncul pemahaman umum tentang pendidikan 
gratis, yakni siswa tidak perlu lagi mengeluarkan uang sepeser pun untuk 
membayar uang sekolah (SPP), uang buku pelajaran, dan uang ujian. Bahkan, kalau 
dimungkinkan, siswa juga mendapat seragam dan sepatu gratis, buku dan alat 
tulis. Kalau biaya transpor dan uang jajan, biarlah menjadi tanggung jawab 
orangtua siswa.

Namun, masih ada persoalan mendasar terkait kebijakan ini, yakni menyangkut 
definisi pendidikan gratis. Kebijakan ini belum tersosialisasi dengan baik, 
sehingga menimbulkan banyak penafsiran. Meski Mendiknas menegaskan pungutan di 
SD dan SMP negeri diharamkan, tetap saja ada kepala sekolah dan guru yang 
mencoba mengakali perintah itu. Misalnya, dengan alasan untuk kegiatan 
ekstrakurikuler, pemberian pelajaran tambahan, atau pembelian lembaran kerja 
siswa (LKS), pungutan dihidupkan lagi. Bahkan, penelitian Indonesia Corruption 
Watch (ICW) menunjukkan pungutan liar (pungli) tetap marak, meski pemerintah 
telah mengucurkan BOS sejak 2005. 

Di sinilah fungsi pengawasan menjadi penting. Pengawasan harus dilakukan 
pemangku kepentingan pendidikan, seperti orangtua, komite sekolah, penilik 
sekolah, dinas pendidikan tingkat kabupaten/kota, hingga inspektorat jenderal. 
Bahkan, tak tertutup kemungkinan kepolisian dan kejaksaan juga terlibat dalam 
pengawasan. Perlu ada efek jera bagi penilep dana BOS, dengan sanksi pemecatan 
dari PNS hingga denda dan pidana penjara. Jangan biarkan sepeser pun dana BOS 
dikorupsi!

Dengan demikian, harapan Presiden Yudhyono melalui program pendidikan 3M (mutu, 
murah, dan merata), yakni pembangunan pendidikan yang bermutu, murah, dan 
gratis bagi orang miskin, serta pendidikan yang merata dan menjangkau seluruh 
lapisan masyarakat di Tanah Air, bisa segera terwujud.


Pemimpin Umum "Suara Pembaruan"




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke