http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008101922533632

      Senin, 20 Oktober 2008 
     
      OPINI 
     
     
     
Minggirlah Wahai Para Politisi Busuk! 

      Oyos Saroso H.N.

      Jurnalis, Koordinator GNJPPB Lampung 2003-2004

      Bersamaan dengan pendaftaran dan pengumuman daftar calon sementara (DCS) 
anggota legislatif, gerakan masyarakat sipil menolak hadirnya politisi busuk 
dalam panggung legislatif mulai menguat. Di Jakarta dan beberapa daerah di 
Indonesia, Gerakan Nasional Jangan Pilih Politisi Busuk (GNJPPB) yang 
melibatkan pelbagai elemen masyarakat sipil dan dirintis pada 2004 mulai 
mendapat sambutan masyarakat. Di sisi lain, pro-kontra, sinisme, dan skeptis 
juga mengiringi gerakan ini.

      Pengalaman 2004 menunjukkan bersamaan terkuaknya borok para politisi 
busuk--sehingga mereka gagal masuk saringan calon politisi penghuni gedung 
Dewan nan suejuk--menjadi berkah bagi politisi lain yang relatif lebih bersih. 
Artinya, GNJPPB ada pengaruh positif bagi para politisi yang memang selama ini 
tidak bermasalah karena jumlah pesaingnya jadi berkurang.

      Maka, wajarlah gerakan ini pada 2004 juga banyak mendapat dukungan para 
politisi. Mungkin mereka berprinsip: Kalau bersih, kenapa takut?

      Ya, para politisi memang tidak perlu takut atau khawatir dengan GNJPPB. 
Selain memang tidak untuk menakut-nakuti, gerakan ini tidak akan mengambil alih 
tugas KPU/KPUD, polisi, atau jaksa. GNJPPB bukanlah gerakan balas dendam atau 
permainan broker politik untuk menangguk keuntungan finansial.

      Tujuannya pokoknya adalah bersama-sama konstituen dan masyarakat luas 
menjaring politisi busuk untuk tidak masuk ke lembaga-lembaga terhormat. 
Caranya, antara lain, dengan menelusuri rekam jejak (track record) calon 
anggota legislatif yang kini sedang berlomba menjadi anggota legislatif. 
Setelah calon-calon yang bermasalah dengan data valid ditemukan, selanjutnya 
diumumkan kepada publik agar para konstituen tidak memilih calon bermasalah 
tersebut.

      Tidak lolosnya politisi busuk akan memberikan harapan kita bisa menunda 
pembusukan atau kerusakan politik (political decay), meminjam istilah Samuel 
Huntington, di lembaga legislatif dan lembaga pemerintah. Sebaliknya, lolosnya 
para politisi busuk ke gedung parlemen akan mempercepat terjadinya pembusukan 
politik. Pembusukan, perusakan, atau peluruhan politik sebagai sebuah gejala 
rusaknya sistem politik, menurut Huntington, terjadi karena tindakan-tindakan 
negatif para aktor politik.

      Pembusukan politik bukan hanya menyebabkan lembaga itu tidak sehat, 
melainkan juga akan merugikan kepentingan rakyat. Dengan argumen ini, GNJPPB 
mestinya tidak hanya menjadi gerakan moral yang elitis. GNJJPPB mestinya juga 
harus menjadi gerakan bersama yang melibatkan masyarakat luas.

      Secara legal-formal, saringan utama bagi para calon legislator seharusnya 
adalah partai politik itu sendiri dan KPU/KPUD. Namun, kita semua mafhum, 
selama ini pengurus parpol dan KPU/KPUD juga bekerja berdasar pada unsur 
legal-formal semata.

      Bahkan, banyak contoh membuktikan sikap tutup mata para pengurus parpol 
acap menjadi pintu masuk paling yahud menuju sukses jadi legislatif. 
Orang-orang kampung di pucuk-pucuk gunung pun tahu, biaanya mereka yang 
menyetor uang paling besar ke parpol dengan mudah akan lolos jadi caleg.

      Kita pun patut meragukan KPU/KPUD akan punya kemauan dan upaya untuk 
mengecek apakah calon anggota legislatif A, B, dan C bermasalah atau tidak. 
Asal bisa memenuhi syarat formal, loloslah calon legislatif itu. Itulah 
sebabnya, di Aceh ada anggota jaringan pencuri kendaraan bermotor yang lolos 
sebagai caleg. Si caleg bermasalah itu dicoret dari DCS setelah ditangkap 
polisi.

      Fakta seperti itu juga menjadi alasan lain kenapa GNJPPB atau 
antipolitisi busuk harus melibatkan banyak orang dan menjadi gerakan yang 
masif. Sudah saatnya masyarakat sipil menyadari bahwa politik bukan hanya 
urusan para fungsionaris partai. Rakyat harus selalu diingatkan bahwa mereka 
juga makhluk politik.

      Dalam kehidupannya rakyat tidak akan lepas dari urusan politik. 
Lebih-lebih setelah kita memasuki era reformasi dan UUD 1945 diamendemen.

      Ya, kini beberapa lembaga negara--seperti Bank Indonesia, Komisi 
Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 
Komnas HAM, KPU, dan sejumlah lembaga di daerah--rekrutmen para anggotanya 
harus melalui lembaga legislatif. Para calon anggota lembaga tersebut harus 
diuji kelayakan dan kepatutannya oleh lembaga legislatif. Bagaimana mungkin 
orang-orang yang hobi korupsi, pelanggar HAM, penjahat lingkungan, pelaku 
amoral, broker proyek, serta pemakai dan pengedar narkoba bisa menguji 
orang-orang yang akan mengisi lembaga-lembaga terhormat?

      Memang, sampah busuk kini sudah bisa didaur ulang menjadi barang bernilai 
lagi. Sampah juga bisa dijadikan biogas sehingga bermanfaat bagi orang banyak.

      Namun, politisi busuk sulit "didaur ulang" atau "direparasi" agar tercium 
"wangi" dan mengilat. Kalau mereka lolos saringan dan terpilih menjadi anggota 
legislatif mereka akan mempercepat proses pembusukan lembaga legislatif. Kalau 
mereka nanti menjadi legislator dan diberi wewenang lebih, mereka akan 
menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

      Skandal suap di DPR yang akhir-akhir ini merebak menunjukkan proses 
pembusukan oleh para politisi busuk hasil yang lalu sedang terjadi di lembaga 
terhormat itu. Untuk konteks Lampung, publik tentu bisa menilai sendiri siapa 
saja anggota legislatif yang masuk kategori busuk (dan kini mencalonkan 
kembali). Alat ukurnya tidak harus politisi yang sudah pernah dipenjara atau 
divonis pengadilan dengan kekuatan hukum tetap. Alat ukur itu mungkin pas 
dipakai KPU.

      Bagi publik, untuk menilai seorang politisi itu busuk atau tidak bisa 
dengan cara melihat dan menelusuri rekam jejaknya selama ini. Selain kriteria 
di atas (pelanggar HAM, perusak lingkungan, koruptor, dll.), mereka yang selama 
ini tersangkut kasus narkoba, politisi yang melakukan tindakan amoral/asusila, 
politisi yang memakai gelar akademis dan ijazah palsu tentu juga pantas disebut 
politisi busuk.

      Politisi yang sekarang menjadi anggota Dewan, tetapi dengan cara membeli 
suara kepada oknum anggota PPK atau KPUD juga termasuk busuk. Para anggota 
Dewan yang selama ini kerjanya molor (tidur) melulu saat membahas nasib rakyat, 
menjadi broker proyek, suka minta uang fee kepada eksekutif untuk meloloskan 
RAPBD, dan minta tunjangan rumah sewa rumah (padahal mereka sudah punya rumah) 
yang nilainya tidak wajar juga termasuk politisi busuk. Mereka tidak perlu 
dipilih lagi untuk mewakili rakyat.

      Ya, GNJPPB boleh bubar, tetapi rakyat harus selalau disadarkan bahwa 
kepedulian mereka hari ini terhadap sepak terjang politisi busuk akan 
menentukan nasib mereka pada masa-masa mendatang. Jadi, memang, ada atau tidak 
ada GJPPB, para politisi busuk harus kita tolak menjadi wakil rakyat. Jangan 
pilih politisi busuk!
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke