Sudah hampir sepuluh tahun saya bermukim dan melewatkan suasana 
bulan Ramadhan di Jepang. Sudah kurang lebih sepuluh kali bulan 
Ramadhan saya lalui sebagai bagian dari 100 ribu muslim di tengah 
120 juta penduduk Jepang. Itu berarti sudah selama itu pula saya 
menjalani kehidupan sebagai seorang muslim minoritas. Pengalaman 
beribadah dan berdakwah, khususnya suasana bulan Ramadhan, sungguh 
berbeda dengan yang sebelumnya saya alami di negeri sendiri, di mana 
Islam merupakan agama mayoritas. Perbedaan itu, untungnya, justru 
memberikan banyak pelajaran berharga untuk direfleksikan bagi 
kehidupan beragama di tanah air.
    Ramadhan di Jepang adalah Ramadhan yang hening. Di malam hari 
kita tak mendengar peningkatan volume keriuhan suara karena ada 
tambahan suara dari mesjid-mesjid. Pun tak ada suara dari ritual 
membangunkan orang untuk sahur. Setiap orang mengatur sendiri waktu 
shalat, sahur, atau berbuka puasa berdasarkan jadwal shalat yang 
informasinya dengan mudah diperoleh di internet.
       Kaum muslimin juga tidak mendapat gperlindunganh khusus 
dari pemerintah Jepang yang sekuler itu. Tidak ada anjuran untuk 
menghormati orang yang berpuasa, karena sebagian besar masyarakat 
Jepang bahkan tidak tahu bahwa kita sedang berpuasa. 
       Sake (minuman keras) memiliki tempat yang penting dalam 
budaya dan dunia bisnis Jepang. Karenanya di manapun kita akan 
dengan mudah menemukan kedai sake atau bar yang bergaya barat. Di 
kawasan tertentu tempat-tempat minum hadir bersama hiburan malam 
dengan wanita/pria penghibur. Jenis hiburan yang disediakan beragam, 
dari yang sekedar teman minum hingga teman tidur. 
       Semua tempat minum dan hiburan itu tentu saja tetap berbisnis 
seperti biasa sepanjang bulan Ramadhan. Tak ada peraturan yang 
membuat mereka harus menghentikan bisnis dalam rangka menghormati 
bulan Ramadhan atau orang-orang yang sedang berpuasa.
       Demikianlah, minoritas muslim di Jepang tetap khusuk 
menjalankan ibadah selama bulan Ramadhan meski tidak dibuat kondisi 
khusus untuk itu. Tempat-tempat ibadah berupa mesjid dan islamic 
center di beberapa kota tertentu, ruangan di kedutaan, kampus, atau 
ruangan apa saja yang disulap menjadi tempat ibadah sementara, 
dipenuhi hadirin untuk shalat berjamaah, tadarus, atau pengajian. 
Tidak diperlukan suara hiruk pikuk untuk membuat orang hadir di 
tempat ibadah.
        Kaum muslimin yang sedang berpuasa tidak merasa terganggu 
oleh aktivitas makan-minum orang-orang Jepang di tempat umum. Mereka 
bahkan tidak merasa terganggu dengan tetap beroperasinya tempat-
tempat hiburan malam. Alasannya sederhana, karena keseharian mereka 
memang tidak pernah bersinggungan dengan aktivitas di tempat-tempat 
tersebut.
       Singkat kata, kaum muslimin dapat beribadah dengan tenang dan 
khusuk tanpa memerlukan pengkondisian secara khusus. Karenanya 
berbagai pengkondisian menjelang dan selama bulan Ramadhan di tanah 
air patut dipertanyakan urgensinya.
       Seperti kita ketahui, banyak peraturan khusus yang 
dikeluarkan pemerintah daerah dalam rangka menghormati bulan 
Ramadhan dan orang yang berpuasa. Tempat-tempat hiburan malam harus 
ditutup selama bulan Ramadhan. Di beberapa daerah ada Perda yang 
melarang orang berjualan makanan atau makan di tempat umum di siang 
hari. Tujuannya adalah agar orang-orang tak terganggu puasanya.
       Saya masih sulit memahami kalau aktivitas makan-minum orang 
lain bisa mengganggu puasa kita. Demikian lemahkah iman kita 
sehingga kita bisa tergoda hanya dengan melihat orang lain makan? 
Demikian pula, mungkinkah kekhusukan ibadah kita terganggu dengan 
aktivitas di tempat hiburan malam kalau kita sama sekali tidak 
pernah mengunjungi tempat-tempat itu?
        Puasa adalah ekspresi ketundukan. Puasa adalah ekspresi 
hubungan khusus antara hamba dengan Khaliknya. Puasa semestinya 
dilakukan dalam kesunyian relung pribadi. Tapi yang kita lakukan 
justru sebaliknya. Kita mengumumkan puasa kita. Bahkan kita menuntut 
orang untuk menghormati kita. 
        Lalu, ibadah malam kita tak jarang riuh rendah, hampir 
semuanya kita lakukan dengan loud-speaker bertenaga besar. Mulai 
dari azan, shalat, ceramah, zikir, tadarus, hingga aktivitas 
membangunkan orang untuk sahur. Ramadhan, bagi sebagian non-muslim 
adalah bulan dengan peningkatan intensitas kebisingan.
       Masihkah tersisa ekspresi ketundukan dalam puasa yang 
demikian itu? Wallahu aflamu.

Sendai, 28 September 2006

http://abdurakhman.com/joomblog/79.html
 






=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke