http://www.korantempo.com/korantempo/2007/03/09/Opini/krn,20070309,61.id.html

Opini Pelangi Tipologi Jilbab

Mohamad Guntur Romli, aktivis Jaringan Islam Liberal

Jilbab, secarik kain untuk menutupi kepala dan rambut perempuan, tak 
lagi menjadi masalah sederhana. Jilbab menyuguhkan kepada kita dua 
konteks yang berbeda dan saling bertentangan. Suatu waktu, mengenakan 
jilbab diperlukan usaha keras karena ada yang melarangnya. Namun, di 
sisi lain, pemakaian jilbab justru dipaksakan. Bila tak mengenakannya 
akan dijatuhi hukuman: cemeti hingga mati.

Contoh yang pertama, beberapa waktu lalu, beberapa pegawai perempuan di 
Sogo, Jakarta, mengalami kesulitan dengan pihak manajemen karena mereka 
memakai jilbab. Demikian juga di beberapa negara di Eropa, khususnya di 
Prancis, yang saat ini menerapkan pelarangan pemakaian simbol-simbol 
agama di tempat umum--tak hanya simbol Islam.

Di ranah lain, Menteri Sosial Pakistan Zill-e Huma, 20 Februari lalu, 
ditembak mati oleh kelompok Islam garis keras di Pakistan gara-gara tak 
mengenakan jilbab. Demikian juga perempuan-perempuan di Aceh yang 
tertangkap basah tidak mengenakan jilbab akan dicambuk di muka umum 
selepas salat Jumat. Di Padang, melalui surat keputusan wali kota, 
mengenakan jilbab menjadi kewajiban. Beberapa daerah lain di Indonesia 
juga mempraktekkan hal yang sama: bila ada itikad menerbitkan peraturan 
tentang moral ataupun syariah, mewajibkan perempuan berjilbab menjadi 
agenda utama.

Contoh-contoh di atas sengaja saya hadirkan untuk memperlihatkan betapa 
persoalan jilbab ini sudah dipandang secara hitam-putih. Lebih dari itu, 
ada semacam ketakutan yang berlebihan dari dua arus tersebut. Apabila 
hal ini sengaja didiamkan, jilbab akan dimusuhi dan akan terus-menerus 
dilarang oleh mereka yang membenci. Sebaliknya, mereka yang mendukung 
jilbab akan terus memperjuangkannya.

Saya kira, di sinilah letak pentingnya mendiskusikan kembali fenomena 
jilbab. Pihak yang setuju ataupun menolak harus menyadari bahwa jilbab, 
sebagai fenomena, membawa pesan yang beragam. Menganut satu persepsi 
saja terhadap fenomena jilbab ini akan menjerumuskan kita pada bentuk 
penghakiman yang sewenang-wenang. Keputusan apa pun yang diambil, bila 
berasal dari asumsi yang salah, tak akan pernah bisa menyelesaikan 
masalah, malah akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar.

Pada hemat saya, paling tidak ada empat tipologi yang bisa dipakai saat 
melihat fenomena jilbab. Tipologi ini berhubungan dengan motif, bentuk 
jilbab, dan gaya hidup yang mengenakannya.

Pertama, jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang 
mengenakan jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa 
ditinggalkan. Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, 
tak hanya menutup rambut dan kepala, tapi juga--menurut sebagian dari 
mereka--hingga sampai ke dada. Jilbab yang lebar, bila perlu menutupi 
seluruh tubuh. Perempuan yang mengenakan jilbab seperti ini juga akan 
berhati-hati bergaul di ruang publik.

Kedua, alasan psikologis. Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah 
tidak memandang lagi jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya 
dan kebiasaan yang bila ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak 
tenang. Kita bisa menemukan muslimah yang progresif dan liberal masih 
mengenakan jilbab karena motif kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk 
jilbab yang dikenakan berbeda dengan model pertama, dan disesuaikan 
dengan konteks dan fungsinya. Demikian juga dengan gaya hidup yang 
memakainya, jauh lebih terbuka, dan pergaulan mereka sangat luas, 
berbeda dengan model pertama.
Ketiga, jilbab modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang 
jilbab model ini sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang 
sangat akrab dengan perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai 
agama yang berusaha dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya 
outlet-outlet dan acara-acara peragaan busana muslimah mampu 
menghadirkan model jilbab dan busana muslimah yang telah melampaui 
persoalan agama.

Dua bulan lalu, di harian Al-Hayat, saya membaca laporan jurnalistik 
dari Maroko dan Aljazair bahwa para ulama agama di dua negara itu 
mengecam munculnya jilbab-jilbab modis. Menurut mereka, bentuk-bentuk 
jilbab tersebut tidak sesuai dengan standar syariat, demikian pula 
perilaku yang memakainya. Kata seorang ulama di antara mereka, bagaimana 
mungkin seorang muslimah bisa mengenakan jilbab yang mini dan 
transparan, kadang rambut dan lehernya terlihat, dan dipadukan dengan 
kaus yang ketat dan celana jins?

Fenomena ketiga ini sangat menarik saat ini untuk dikaji lebih lanjut. 
Arus modernisasi dan fashion tak bisa dibendung oleh apa pun. Ia bisa 
menciptakan fenomena baru. Dan asumsi-asumsi yang dipakai untuk 
memandangnya pun tak bisa seperti yang ditunjukkan oleh para ulama itu.
Sedangkan di Indonesia, jilbab modis sangat menjamur, sangat digemari 
kawula muda dan kalangan selebritas. Salah satu simbol yang bisa saya 
sebutkan adalah Gita KDI, penyanyi dangdut yang fasih bergoyang, yang 
mengenakan pakaian ketat namun tetap setia berjilbab. Jilbab dan busana 
Gita tak bisa lagi dilihat melalui model pertama, teologis, karena dalam 
aturan syariat yang jumud, perempuan jangankan bergoyang, menyanyi saja 
akan menyulut masalah.

Keempat, jilbab politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok 
Islam yang menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. 
Dalam konteks ini, jilbab tidak lagi menjadi persoalan keimanan, 
kesalehan, dan kesadaran pribadi, namun akan dipaksakan ke ruang publik. 
Inilah fenomena yang sebenarnya terjadi di Pakistan, di Aceh, dan di 
beberapa daerah di Indonesia yang berdalih ingin menerapkan syariat Islam.
Saya pribadi bisa menghormati apabila ada muslimah yang ingin mengenakan 
jilbab sebagai bentuk keyakinan pribadi, tanpa harus memakai standar 
pribadi tersebut terhadap orang lain. Misalnya pandangan bahwa yang 
memakai jilbab lebih soleh dan terhormat dari yang tidak memakai. Di 
sinilah pihak yang selama ini mencurigai jilbab perlu melihatnya secara 
cermat. Jilbab sebagai keyakinan pribadi tak perlu dimusuhi. Bila hal 
ini terjadi, akan menjadi senjata bagi varian keempat untuk 
mempolitisasi peristiwa tersebut.
Bila benar jilbab berhubungan dengan masalah keyakinan dan kesadaran, ia 
tak perlu peraturan. Di sini, jilbab akan dipakai dan dipahami secara 
sehat karena merupakan bentuk ekspresi keyakinan dan kebebasan. Jilbab 
dipakai sebagai model yang bisa memperkaya khazanah busana. Terserah 
apakah ia dipandang sebagai pakaian agama atau pakaian adat-istiadat.

Namun, yang pasti dan perlu disadari adalah jilbab tetaplah merupakan 
pakaian individu, yang tidak bisa dijadikan sebagai pakaian publik. 
Jilbab sebagai produk budaya akan senantiasa berubah. Apabila jilbab 
dijadikan pakaian publik atas dasar motif agama, namun orang yang tidak 
meyakini agama itu tetap saja diwajibkan memakai jilbab, sama saja 
dengan mewajibkan non-muslim untuk salat. Tidak lucu, bukan?

Kirim email ke