http://www.indomedia.com/bpost/042007/23/opini/opini2.htm 



Perempuan Di Antara Hak Dan Politik

Oleh: Syahminan/Abau
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

RA Kartini memperjuangkan kesetaraan gender/emansipasi antara perempuan dan 
laki-laki, termasuk bidang politik. Tapi apakah hak kesetaraan gender itu 
berjalan sebagaimana mestinya?

Tinta emas sejarah Indonesia mencatat Cut Nyak Dien sebagai pahlawan nasional. 
Ia pantang menyerah dalam memimpin rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda. 
Kuatnya Ajaran Islam di Aceh, tidak menghalangi atau mengharamkannya untuk 
memimpin perjuangan.

Di era reformasi, Megawati Soekarnoputri menjadi perempuan pertama memimpin 
negeri ini sebagai Presiden RI. Awalnya, ia mendapat banyak halangan dan 
ganjalan dari kelompok yang menentangnya. Mereka menggunakan berbagai cara dan 
alasan untuk mencegalnya, termasuk dengan memasukkan isu agama yang melarang 
perempuan menjadi pemimpin.

Pandangan atau isu Ajaran Islam melarang perempuan menjadi pemimpim, menjadi 
terkikis. Ini dibuktikan dengan ikut sertanya Megawati yang berpasangan dengan 
tokoh utama NU, KH Hasyim Muzadi, pada pemilihan presiden langsung.

Prof Dr M Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Alquran menyatakan, 
pandangan yang membedakan laki-laki dan perempuan telah dikikis oleh Alquran. 
Menurut Quraish, Islam membenarkan perempuan melakukan segala aktivitas di 
dalam/luar rumah. Asalkan pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, 
sopan, dapat memelihara agamanya serta menghindari dampak negatif dari 
pekerjaan dan lingkungannya.

Hal itu juga ditemukan dalam UUD 1945 yang tidak memberikan larangan dan 
hambatan bagi perempuan untuk bekerja atau ikut berpolitik. Itu semua akan 
menjadi sangat jelas, jika kita baca semua pasal UUD tersebut. Jadi jelas bagi 
kita , UUD 1945 bahkan Ajaran Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan 
karena gender.

Namun kenyataan di masyarakat kita masih banyak orang yang 
berpandangan/persepsi keliru terhadap perempuan. Buktinya, ada yang memberikan 
label 3D pada perempuan yaitu: Di kasur, Di dapur dan Di sumur. Alangkah 
ekstrem dan kejamnya mereka yang menggunakan istilah ini untuk perempuan.

Tetapi perlu diketahui, pandangan seseorang terhadap perempuan bisa menyempit 
atau melebar tergantung tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Mereka yang 
berpandangan negatif terhadap perempuan, bisa dikategorikan kurang memahami dan 
mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

Melihat kenyataan itu, perlu sekali kita berikan pendidikan/penjelasan kepada 
masyarakat tentang kesetaraan gender. Ini dapat dimulai dengan sikap kita 
terhadap perempuan dalam bermasyarakat, serta melalui pendidikan formal di 
sekolah.

*****

Sekarang, politik di daerah menghangat terutama di daerah yang akan menggelar 
pilkada. Menjadi pokok perhatian adalah dari sekian banyak calon/kandidat 
bupati/wakilnya tidak terlihat nama perempuan. Padahal secara kuantitas mereka 
sangat banyak. Sebagai contoh, ini terlihat jelas di bursa cabup/cawabup 
Kabupaten Tabalong pada pilkada nanti.

Apakah kenyataan seperti ini mengikuti pilkada di berbagai daerah di Kalsel 
beberapa waktu lalu? Dalam pilkada lalu, keterwakilan perempuan sangat minim. 
Dari Pilkada gubernur, walikota/bupati atau delapan pilkada lalu, hanya ada dua 
perempuan dari 29 pasang (58 orang) atau hanya 3,4 persen.

Minimnya keterwakilan perempuan menjadi peserta pilkada, bukan berarti di 
daerah ini SDM mereka tidak memadai. Tapi disebabkan kondisi yang tidak 
memberikan kesempatan lebih luas kepada mereka. Dari mekanisme pencalonan masih 
ditentukan oleh segelintir elit partai di DPRD, yang notabene juga didominasi 
laki-laki. Alasan lain, tidak terbukanya kesempatan bagi calon independen 
terutama yang berasal perempuan. Kendalanya lebih bersifat di luar dari 
statusnya sebagai perempuan. Diharapkan, perempuan tetap mempersiapkan dirinya.

Mengingat jumlah perempuan yang menjadi pemilih sangat besar dalam pilkada 
nanti, tentu mereka akan menjadi sasaran kandidat untuk meraih dukungan. 
Kandidat tidak sungkan mengangkat isu perempuan/keterwakilannya demi 
meraih/mendongkrak popularitas dan dukungan. Namun itu semua perlu dicermati 
bersama terutama bagi perempuan, sebab jangan-jangan mereka dijadikan komoditas 
politik belaka.

Perempuan dengan hak politiknya (memilih) dalam pilkada. kita harapkan 
menggunakan hak pilihnya dengan tepat dan benar. Terutama memilih calon yang 
betul-betul menjunjung harkat dan martabat perempuan, serta tidak diskriminasi 
terhadap perempuan/kesetaraan gender.

Harapan kita, pilkada yang akan digelar di berbagai daerah nanti khususnya di 
Tabalong tidak menimbulkan perpecahan. Pilkada berjalan aman dan tertib 
sehingga masyarakat dan pemerintah kabupaten tetap dapat melakukan aktivitas 
dengan normal.

e-mail: [EMAIL PROTECTED]




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke