BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM 
 
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU 
[Kolom Tetap Harian Fajar]
382. Lupa Sumpah dan Ingkar Sumpah

Dalam halaman opini harian FAJAR, edisi 23 Juli 1999, Ahkam Jayadi, yang 
mengaku dirinya pemerhati masalah ketatanegaraan, antara lain menulis: 
"Bahwasanya isu-isu agama Islam yang digulirkan oleh partai-partai Islam selama 
ini ternyata tidak didengar atau tidak diperdulikan oleh um(m)at Islam itu 
sendiri, sebuah ironi memang."

Pernyataan yang berwarna sindiran yang senada dengan Ahkam Jayadi tersebut 
sering saya jumpai. Maka sayapun merasa terpanggil untuk menyambut gayung 
sindiran itu.

Ummat Islam yang tidak pemah meninggalkan shalat wajib (termasuk Ahakam 
Jayadi?) dalam 24 jam sekurang-kuranguya 5 kali bersumpah:
-- AN SHLATY WNSKY WMhYAY WMMTY LLH RB AL'ALMYN, dihaca: inna shala-ti- 
wanusuki- wamahya-ya wamamati- lilla-hi rabbil 'a-lami-n, artinya: 
-- Sesungguhnya shalatku, persembahan pengorbananku, hidupku dan matiku adalah 
untuk Allah Pemelihara semesta alam.

La]u mengapa tidak kurang jumlahnya ummat Islam yang shalat melanggar 
sumpahnya, seperti mencuri, korupsi, merampok dan seribu satu jenis kekejian, 
yaitu lawan dari persembahan, pengorbanan hidup dan mati untuk Allah?!
Bukankah: 
-- AN ALSHLWT TNHY 'AN FHSYAa WALMNKR (S. AL'ANKBWT, 29:45), dihaca: Innash 
shah-ta tanha- 'anil fahsya-i wal ungkari (s. al'ankabu-t), artinya: 
-- Sesungguhnya shalat itu mencegah berbuat keji dan mungkar. 

Orang melanggar sumpah yang diucapkannya dalam shalat karena pekerjaan iblis 
dan bala-tenteranya yang disebut syaithan. Orang melanggar sumpah lalu berbuat 
keji karena setan membuat ia lupa akan sumpahnya. Adapun pcngaruh yang lebih 
hebat lagi jika orang melanggar sumpah karena ingkar. Ia bersumpah dalam 
shalatnya semua karena Allah, Allah yang diprioritaskan, akan tetapi ia ingkar, 
yaitu menempatkan nilai-nilai wahyu dan Allah di bawah nilai kebangsaan.

Apakah ada yang menempatkan nilai-nilai wahyu dibawah nilai kebangsaan? Bung 
Karno pada mulanya demikian. Pancasila menurut konsep Bung Karno pada 1 Juni 
1945 menempatkan substansi kebangsaan pada nomor satu, sedangkan substansi 
ketuhanan pada nomor lima. Boleh jadi Bung Karno menyadari akan sumpahnya di 
dalam shalat, sehingga pada waktu dirumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, 
ia menerima perubahan menempatkan substansi ketuhanan dalam nomor satu, 
kemudian substansi kemanusiaan, barulah substansi kebangsaan. Sayangnya dalam 
batang-tubuh UUD-1945, substansi kebangsaan masih dalam urutan nomor satu, 
mengikuti konsep Pancasila dari Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dari 
aspek asasi (baca: tidak memprioritaskan Allah) di samping aspek teknis dalam 
batang tubuh UUD-1945, maka perlu sekali mengadakan amandemen UUD-1945 baik 
dari segi substansi maupun urutan Bab-Bab dan Pasal-Pasalnya.

Apakab masih ada sekarang yang ingkar akan sumpahnya di dalam shalat dalam 
wujud menempatkan kebangsaan di atas nilai-nilai agama (baca: wahyu)? Saya 
pikir masih banyak, di antaranya ialah Ahkam Jayadi sendiri. Bacalah penutup 
artikelnya: "Bagi saya apapun yang kita lakukan harus senantiasa bersandar pada 
Pancasila dan UUD-1945 barulah kemudian kita beralih kepada tatanan nilai-nilai 
agama yang kita anut sebagai um(m)at beragama, bulkan sebaliknya yaitu 
bersandar kepada tatanan mlai-nilai agama yang kita anut dalam mengkaji 
permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dan negara ini".

Sudah berulang kali dikemukakan dalam kolom ini bahwa ada dua jenis nilai, 
yaitu yang mutlak dan relatif. Tatanan nilai agama yang bersumberkan wahyu 
kebenarannya adalab mutlak karena bersumber dari Maha Sumber Yang Maha Mutlak. 
Tatanan nilai budaya (antara lain Pancasila) adalah suatu kebenaran relatif. Ia 
diterima sebagai kebenaran budaya oleh bangsa Indonesia berdasar atas 
kesepakatan bersama. Demokrasi sebagai kebenaran budaya tidak mempunyai batasan 
yang tegas secara universal. Demokrasi di zaman Yunani Kuno hanya sebatas untuk 
yang bukan budak. Demokrasi barat adalah demokrasi sekuler (secula artinya 
dunia, bermakna pemisahan antara negara dengan agama, scheiding lussen kerk en 
staat). Demokrasi di Indonesia tentu saja adalah: Kerakyatan yang dipimpin oleh 
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ummat Islam di Indonesia 
dapat menerima demokrasi yang deniikian itu. Bukan hanya sekadar karena 
berdasar atas kesepakatan, namun lebih dari itu, kata kunci dalam "Kerakyatan 
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan", 
yakni musyawarah berasal dari bahasa Al Quran, yang dibentuk oleh akar: 
syin-waw-ra, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makanan lebah sari 
bunga yang bersih, madunyapun bersih dan bergizi. Demokrasi itu menurut tatanan 
nilai wahyu harus menghasilkan sesuatu yang seperti madu.

Kembali pada apa yang dikatakan Ahkam Jayadi bahwa ternyata isu-isu agama Islam 
yang digulirkan oleh partai-partai Islam selama ini ternyata tidak didengar 
atau tidak diperdulikan oleb um(m)at Islam itu sendiri, sebaiknya kita berkaca 
sejarah peta politik Pemilu yang jurdil tahun 1955. Parpol Islam Masyumi yang 
menempati posisi pertama berbasis massa di luar Jawa, Parpol kebangsaan PNI 
yang nomor dua herbasis massa di Jateng, Parpol Islam NU yang nomor tiga 
berbasis massa di Jatim dan Parpol kafir-marxisme PKI yang nomor empat berbasis 
massa di Jateng. (Jika kedua Parpol yang berbasis massa di Jateng ini 
digabungkan suaranya, maka akan herposisi nomor 1). Peta politik hasil Pemilu 
tahun 1955 itu tidak berbeda dengan peta politik hasil Pemilu tahun l999 kini. 
Walaupun Pak Habibie dihujat oleh lawan-lawan politlknya sebagai perpanjangan 
tangan Orde Baru, namun Partai Golkar dapat berposisi nomor 2 (22,4%), karena 
Pak Habibie, yang dijadikan calon tunggal oleh Partai Golkar, adalah mantan 
Ketua ICMI. Sedangkan Ibu Megawati, walaupun ia perpanjangan tangan ayah dan 
gurunya (baca: Soekano-Orde Lama), PDlP yang berbasis massa di Jateng berposisi 
nomor l(33,7%). Tidak berbeda dengan peta polilik 1955 kedua Parpol (PNI dan 
PKI) yang berbasis massa di Jateng berposisi nomor 1 jika digabungkan suaranya. 
Demikianlah kenyataan palu godam sejarah peta politik 1955 dengan l999 yang 
tidak berubah, alias status quo. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 25 Juli 1999
 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/1999/07/382-lupa-sumpah-dan-ingkar-sumpah.html
 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke