Hari Minggu lalu saya hadir di TK (youchien) tempat anak saya 
Sarah gsekolahh. Ada kegiatan pertandingan olah raga, yang disebut 
undoukai. Di Jepang tanggal 10 Oktober adalah Hari Olah Raga, 
karenanya di sekolah-sekolah dan tempat-tempat lain banyak 
diselenggarakan pertandingan olah raga.
           Dalam acara itu hadir para orang tua murid. Juga hadir 
kakak-kakak dan adik-adik mereka. Lomba memang diselenggarakan tidak 
hanya untuk para murid, tapi juga untuk orang tua, kakak, serta adik 
mereka. Sedikit berbeda dengan perlombaan di Indonesia, setiap 
peserta lomba mendapat hadiah yang sama. Jadi tidak ada juara. 
Mungkin karena lomba ini dilakukan di TK. Tapi mungkin juga ini 
memang kebiasaan di Jepang, di mana anak-anak diperlakukan sama, dan 
nyaris tak ada iklim kompetisi.
Banyak hal mengalir dalam fikiran saya selama mengikuti kegiatan 
itu. Salah satunya adalah tersadarnya saya akan cepatnya waktu 
berlalu. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana saya dulu ikut 
dalam berbagai perlombaan 17 Agustusan di sekolah. Kini saya sudah 
menjadi orang tua bagi anak-anak saya, mengantar mereka mengikuti 
perlombaan. 
         Saya juga merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajah 
anak saya. Dia dengan ceria memperkenalkan saya kepada teman-
temannya. gOtousan dayo (Ini ayah saya)!h katanya dengan wajah 
sumringah. Keceriaan itu untuk kesekian kali menyadarkan saya betapa 
pentingnya kehadiran kita pada acara-acara seperti itu. 
        Tapi ada lagi pengalaman yang tak kalah menarik. Dalam acara 
itu hadir sekitar 100 orang, termasuk anak-anak di bawah usia tiga 
tahun, yang sedang nakal-nakalnya. Tapi selama acara berlangsung, 
saya tidak melihat ada sampah di tempat acara. Tak ada satupun. 
Padahal anak-anak itu bermain bebas, juga makan dan minum selama 
acara berlangsung.
        Sebelum acara berlangsung memang sudah ada edaran dari TK 
agar para orang tua menyiapkan kantong sampah dan membawa sampah 
mereka pulang. Edaran itu dipatuhi. Para orang tua itu nampaknya 
sadar betul bahwa sikap mereka adalah bagian integral dari 
pendidikan anak-anaknya.
       Saya lantas teringat pada sebuah kejadian di Indonesia tahun 
lalu. Ketika itu saya sekeluarga sedang berada di kampung halaman 
saya, Pontianak. Menjelang awal tahun ajaran, saya berniat 
memasukkan Sarah ke TK. Atas anjuran Abang saya, saya memilih TK 
Pembina. Katanya TK itu bagus, dan murah, karena itu TK negeri. Dan 
karena itu peminatnya cukup banyak.
       Pada hari pembagian formulir pendaftaran, saya datang pagi-
pagi ke TK tersebut. Pengalaman tahun lalu kata Abang saya, banyak 
yang tak kebagian formulir. Sykurlah ketika saya tiba, TK masih 
sepi. Saya yang pertama tiba di situ. Kemudian orang tua para calon 
siswa lain pun mulai berdatangan.
        Setelah menunggu cukup lama akhirnya pengelola TK 
mengumumkan bahwa formulir segera dibagikan. Karena merasa telah 
datang paling awal, saya langsung berdiri di dekat meja pembagian 
formulir, sambil berharap orang yang datang kemudian akan antri di 
belakang saya. Ternyata harapan saya meleset. Mereka berlomba-lomba 
berdiri paling dekat ke meja, saling dorong dan saling himpit. 
Kepala TK berkali-kali mengingatkan bahwa tidak perlu berebutan, 
karena formulir disediakan dalam jumlah cukup. Tapi tetap saja 
mereka berdesakan.
        Karena merasa batin saya tak nyaman, saya mundur dari 
kerumunan itu. Dari belakang saya berteriak, gBapak-bapak dan Ibu-
ibu, kita di sini untuk memberi pendidikan kepada anak-anak kita. 
Tapi kita justru memamerkan perilaku orang tak terdidik, disuruh 
tertib saja tidak bisa.h Sebagian orang tersentak dengan ucapan 
saya, berhenti sejenak dari aktivitas berebut tadi sambil tersenyum 
malu, tapi tak lama kemudian kembali berebutan.
         Saya memutuskan untuk menunggu hingga acara rebutan itu 
selesai. Alhamdulillah saya tetap kebagian formulir seperti 
dijanjikan oleh Kepala TK tadi. 
         Begitulah. Kita sering lupa tujuan menyekolahkan anak, 
yaitu mendidik mereka. Kita juga sering lupa bahwa kita adalah 
pendidik utama bagi anak-anak kita. Bahwa perilaku kita lebih 
membekas di benak mereka ketimbang kata-kata. Karenanya sering 
muncul hal-hal yang bersifat antagonis, seperti yang saya saksikan 
di TK tadi.
        Kita sering salah mengira sehingga menyekolahkan anak kita 
anggap sebagai transfer tanggung jawab mendidik anak, dari kita ke 
sekolah/guru. Padahal, sekali lagi, sekolah dan guru hanyalah 
pembantu kita dalam mendidik anak. Pendidik utamanya tetap kita 
sendiri. Maka sebagai pendidik kita tidak boleh melupakan pepatah, 
gGuru kencing berdiri, murid kencing berlari.h


Sendai, 18 Oktober 2006
Hasanudin Abdurakhman
http://abdurakhman.com/joomblog/104.html




=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke