Jurnal Toddopuli: ULTA KE-26 KOPERASI RESTORAN INDONESIA PARIS Patrick Blanche & Luna Vidya dari Makassar Bermonolog 15 Desember 2008 1. Peringatan ulang tahun ke- 26 Koperasi Restoran Indonesia SCOP Fraternité Paris kali ini diselangsungkan jauh lebih sederhana. Ulta seperempat abad berdirinya Koperasi tahun lalu, diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut. Acara hari pertama khusus untuk para anggota Koperasi dan para anggota keluarga, serta teman-teman terdekat. Sedangkan hari kedua disediakan khusus untuk teman-teman yang berjasa membantu pembangunan Koperasi, dari berbagai kalangan resmi atau pun swastra. Sedangkan hari terakhir digunakan untuk mengkonsolidasi langganan-langganan lama yang setia, lembaga swasta, resmi dan LSM-LSM. Di tembok Restoran dipajangkan sejarah Koperasi berupa foto- foto, teks-teks kliping koran dari berbagai negeri, terutama koran dan majalah Perancis serta dokumen-dokumen tentang koperasi. Mengenal sejarah koperasi merupakan keniscayaan bagi semua pekerja restoran ini.Untuk itu maka kepada mereka diberikan secara cuma-cuma buku riwayat restoran yang saya tulis: "Membela Martabat Diri Dan Indonesia. Koperasi Restoran Indonesia di Paris " [Penerbit Ombak Yogyakarta, Juni 2005, 275 hlm.], dengan Kata Pengantar dari Arief Budiman. Pembagian buku ini dimaksudkan agar semua pekerja di mana mereka bekerja, apa- siapa mereka, apa misi dan visi koperasi sehingga mereka bekerja dengan sadar, mempunyai rasa memiliki, tanggungjawab dan prakarsa. Dengan cara ini, pekerja koperasi bisa menjadi suatu tim kolektif yang solid. Rasa kebersamaan dan kekeluargaan serta saling bantu tergalang.Suasana kerja menjadi nyaman. 2. Ulta ke-26 yang berlangsung pada tanggal 15 Desember lalu, dihadiri antara lain oleh penanggungjawab bagian ekonomi, pendidikan dan kebudayaan dari KBRI Paris, Louis Joinet, mantan penasehat hukum lima Perdana Menteri Perancis dan sekarang bekerja di urusan HAM PBB Jenewa, wakil Timor Lorosae di Paris, LSM-LSM, perwakilan dari beberapa tokobuku, wanggota-(anggota Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia "Pasar Malam", serta para langganan setia Restoran. Kehadiran penjabat--pejabat penting KBRI Paris: Sudradjad [Atase Perdagangan], Harry Poerwantoto [Atase Pendidikan], Ny. Kusuma [Atase Kebudayaan]], dalam acara ulta ini menggrasbawahi ulang hubungan baik dan kerjasama antara KBRI dan Koperasi Restoran Indonesia yang dirintis oleh diplomat-diplomat Indonesia pada masa Dubes Adian Silalahi. Sebelum meninggal, sepulang dari Belanda menghadiri acara peringatan 17 Agustus, Dubes RI untuk Perancis, Arizal Effendi pernah mengundang saya secara pribadi. Dalam pertemuan ini, Dubes mengatakan bahwa "jika Koperasi Restoran Indonesia mau menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kebudayaan, seminar dan lalin-lain, panggung rakyat KBRI selalu terbuka. Masalah konsumsi, ditanggung oleh KBRI. KBRI adalah rumah bersama kita". Untuk menyatakan belasungkawa atas meninggalnya Dubes Arizal Effendi, Koperasi mengirimkan wakl ke KBRI menyampaikan surat belasungkawa kepada Kuasa Usaha, Sagala. Ketika membuka acara "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia" 07 Desember 2008, Sagala selaku Kuasa Usaha menyatakan antara lain bahwa KBRI "akan selalu menyokong kegiatan-kegiatan seperti ini". Peraayaan ulta Ke-26 ini dilakukan oleh Koperasi hanya dengan menyelenggarakan pameran foto dan buku karya Patrick Blanche tentang Indonesia .Untuk menulis buku "L'Indonésie" berkulitmuka tebal, Patrick telah berkali-kali selama sepuluh tahun lebih berkunjung ke berbagai pulau Indonesia. Hampir semua pulau besar telah dikunjunginya, kecuali Kalimantan. Karena itu dalam buku "L'Indonésie", tak sebuah foto tentang Kalimantan pun termuat. Acara lain yang merupakan puncak perayaan ulta adalah acara yang dihidangkan oleh Luna Vidya, seorang artis dari Makassar, berupa monolog berjudul "Balada Sumarah". Sebelum bermonolog , Luna Vidya membacakan puisinya berjudul "Lebaran" yang disusul oleh pembacaan terjemahan puisi serupa di dalam bahasa Perancis. Sinopsis dari "Balada Sumarah" yang digelarkan oleh Luna Vidya adalah sebagai berikut: "Kisah ini diawali dari ruang pengadilan di mana Sumarah menjadi terdakwa kasus pembunuhan terhadap majikannya. Di ruang pengadilan itu Sumarah yang berani mengambil keputusan menjadi babu, menjadi manusia dibawah manusia, meminta agar ia boleh berbicara, berbicara untuk terakhir kalinya sebelum menjalani hukuman mati. Dibangku pesakitan Sumarah bercerita tentang kehidupannya. Kehidupan sebagai sebagai anak seorang pembuat gula yang kena ciduk karena dianggap anggota PKI. Sulaiman ayah Sumarah, ditangkap karena menjual gulanya kepada koperasi yang dibentuk oleh PKI. Sumarah masih dalam kandungan, ketika ayahnya di tangkap dan seumur hidupnya ia tidak pernah bertemu dengan sang ayah, yang meninggalkan jejak bayang hitam di sepanjang hidupnya. Sejak masih kecil, Sumarah tidak berani mengangkat kepala dan tidak berani bicara. Karena bicara berarti bencana. Bencana buat ibunya, kakaknya, semua orang yang terkait dengan nama ayahnya. Sumarah percaya bahwa pendidikan bisa mengubah nasib, karena itu dengan gigih ia berusaha untuk terus sekolah. Tapi kemudian, ternyata karena bayang-bayang hitam ayahnya, Sumarah meski lulus dengan nilai tertinggi tidak punya kesempatan untuk menjadi pegawai negeri. Ijazahnya tidak berbunyi apa-apa. Tidak bisa membuka pintu kesempatan. Bayang-bayang hitam nama ayahnya yang terkait PKI membuat Sumarah kehilangan cintanya. Sumarah bercerita tentang bagaimana ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika hak-haknya diselewengkan, tidak berani bicara apa-apa, lagi-lagi karena nama ayahnya yang masuk daftar hitam. Sumarah bercerita tentang betapa mudahnya urusan apa saja jika urusan-urusan itu dibungkus dalam amplop berisi lembaran rupiah. Sumarah bercerita tentang harapannya untuk mengubah nasib keluarga dengan menjadi tenaga kerja wanita di negeri orang. Harapan yang kandas ketika ia mencoba mempertahankan -untuk pertama kalinya- haknya, ketika hendak diperkosa oleh majikannya. Ia membunuh majikannya. Sumarah juga memilih untuk tidak diadili di negerinya sendiri, negeri yang belum tentu akan membela hak-haknya." 3. Ruang restoran yang oleh Orba dikatakan sebagai restoran PKI penuh sesak. Para undangan ada yang berdiri,ada yang duduk di lantai yang dingin dengan santai. Di sini, café dan restoran , selain berfungsi sebagai tempat makan dan minum, sangat umum mempunyai fungsi lain yaitu sebagai panggung kesenian sehingga muncul istilah "café thêatre". Kegiatan kesenian di café-café dan restoran lebih marak terutama di akhir pekan. Di koperasi kami sering terjadi bahwa para pelanggan yang datang dalam grup, membawa kaset-kaset musik sendiri.Mereka lalu menari diiringi oleh musik yang mereka bawa dari rumah. Umumnya para pelanggan, merasa "at home" di koperasi yang dihiasi dengan dekor-dekor khas Indonesia dilengkapi dengan bendera Merah Putih, peta Indonesia dan emblem burung garuda. Karena makin banyaknya tamu-tamu dari negeri Muslim seperti Malaysia dan negeri-negeri Magrhebien [Afrika Utara], maka di tembok luar, kami pasang sertifikat dalam huruf Arab yang menyebutkan bahwa "makanan kami adalah makanan halal". Pekerja-pekerja Koperasi fasih mengucapkan "alhamdulilah" dalam menjawab pertanyaan halal tidaknya makanan kami. Cara menjawab pertanyaan ini kami tanyakan secara khusus pada mahasiswa-mahasiswa NU yang belajar di Kairo, Mesir. Para pekerja muda Koperasi sering bingung kalau penanya masih bertanya ini-itu tentang haram tidaknya makanan. "Wah Pak,wah Bu, khok ucapan "alhamdulilah khoq gak mempan, tuh", ujar Kadek , anak Bali yang bertanggungjawab soal pelayanan tamu di luar. Kami ketawa seperti paduan suara, seraya mencoletehkan komentar masing-masing. Saya menyukai cara Kadeg melayani para pelanggan. Sopan, tegas, dan berharga diri. Yuyus, anak Tanggerang ,mahasiswa komputer yang baru bergabung pada Koperasi, juga demikian. Seperti halnya dengan Nana, mahasiswi sebuah konservatori dan sering menggelarkan tari berbagai pulau di restoran. Tanpa kecuali, semua merasa bahwa dengan bekerja di restoran ini, mereka merasa mewakili bangsa Indonesia dengan segala percaya diri. dan kebanggaan. Sebelum Luna bermonolog, Anita Sobron Aidit menjelaskan secara singkat isi cerita dalam bahasa Perancis. Para pelanggan, sering tercengang-cengang ketika mendengar para pekerja melayani dan diskusi dengan tamu-tamu dalam berbagai bahasa Eropa dan Asia. Hal ini tidak mustahul karena yang bekerja di koperasi ini sebelum datang ke Paris, mereka yang pernah belajar dan tinggal untuk waktu tidak pendek di berbagai negeri. Berasal dari berbagai latar profesi. 4. "Maaf, saya pentas menggunakan bahasa Indonesia", ujar Luna Vidya yang mengenakan jilbab dua warna dalam kostum hitam-hitam. Mengingatkan saya akan perempuan-perempuan Perancis zaman Marcel Proust. Luna menyeret sebuah kursi kayu restoran dan mulai berakting. Dari aktingnya, mimiknya, saya melihat benar bahwa Luna, saya melihat benar bahwa ia menyatu dengan tokoh Sumarah. Saya tidak lagi melihat Luna tapi Sumarah 1], anak orang yang dituduh PKI yang sampai sekarang oleh sementara kalangan masih dipandang sebagai lambang dari segala kejahatan dan kekejaman seperti halnya "Dajakers" pada zaman kolonial Belanda. Bahkan dalam monolog "Balada Sumarah" ini pun, saya masih mendengar dialog: "Ma, apakah benar ayah seorang PKI?" "Ayahmu orang baik, Nak, tapi bodoh" Apa bodohnya menjadi PKI? Dialog ini masih mencerminkan citra yang diindoktrinasikan oleh Orba bahwa PKI adalah lambang segala kejahatan dan keburukan serta kekejaman. Demikian dalam dan kuatnya subyektivisme ini menancap di pikiran dan ingatan anak bangsa bernama Indonesia sehingga menghukum 1 di antara 10 warga negaranya. Berdampak sampai sekarang. Subyektivisme yang melahirkan dan menjelma jadi kejahatan baru tapi dipandang sebagai kebenaran dan keadilan. Sebelum bermonolog sambil lalu saya tanyakan Luna ketika memintanya untuk memilih buku-buku"second hand" yang cocok dibawa sebagai oleh-oleh bagi teman-teman di Makassar: "Apa kau pernah baca Stanislavky. Kalau belum, saya punya dua kopie di rumah". "Tentu saja", jawab Luna. Melihat akting Luna membawakan "Balada Sumarah" , saya teringat akan tekhnik dan metode akting Stanislavky. Barangkali suatu dugaan salah. Luna lebur dalam tokoh Sumarah. Yang tidak kurang mengesankan bahwa cerita yang ditulis oleh seorang TKW ini, oleh Luna dipertajam sedemikian rupa dengan merambah ke berbagai soal sampai ke soal korupsi, HAM, pengadilan,TKW/TKI, dan lain-lain.... Bahwa kemudian cerita ini, settingnya ia bawa ke suasana di Makassar, dengan menyelipkan beberapa dialek Makassar hanya membuat monolog Luna kian berwarna dan orisinal. Terasa kian indah. Menjadikan teks dan monolog orisinal dan sungguh suatu kreasi. Kenyataan ini membuat saya melihat bahwa "kemajemukan", "kebhinnekaan" memang merupakan suatu rakhmat bagi bangsa dan negeri ini. Bahwa kebhinnekaan itu indah. Bahwa budaya lokal merupakan suatu sumber bersastra dan berkesenian tanpa diartikan sebagai suatu penyempitan model sektrarisme atau dogmatisme. Kalau penglihatan saya tidak salah, sastra-seni kepulauan justru bergerak untuk mengeksplorasi makna hakiki kemajemukan ini guna menciptakan sesuatu yang baru dengan warna lokal dan nilai universal. Universalitas menunjuk pada nilai, sedangkan lokalitas merupakan rambu lalulintas pengungkapan sebagai "bahasa berdialog dengan budaya lain", jika menggunakan istilah filosof Perancis, Paul Ricoeur. "Balada Sumarah" juga pernah digelarkan oleh Luna dalam Festival Nasional Monolog di TIM Jakarta. Tema cerita memang masih sangat aktual dan kontekstual. Cerita ini bahkan boleh dikatakan sebagai salah satu cermin soal dari masyarakat kita dewasa ini. Dalam mengolah ulang dan mementaskan monolog ini , Luna tidak tergiring ke sloganisme dan atau pidato agitatif. Melalui aktingnya, Luna bahkan membuat pentasnya sangat komunikatif serta menyentuh sehingga pesan-pesan cerita jadi langsung menyusup ke hati penonton. Dialog-dialog tajam tentang keadaan masyarakat melalui tokoh Sumarah dan akting Luna, monolog berbicara langsung dengan hati penonton. Dari hati masuk ke renungan logika. Barangkali beginilah mungkin metode pendekatan , sekaligus kekuatan sastra-seni yang oleh Lekra dulu disebut "dua tinggi": tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik. Dengan dua tinggi ini maka sastra-seni menjadi menakutkan kekuatan hitam dan lalim sehingga tidak heran jika Cak Durasim langsung dibunuh oleh militeris Jepang atau Victor Jara , gitaris Chili dipotong jari-jarinya sebelum dibunuh oleh militeris Jenderal Pinochet. Tema aktual dan sangat kontekstual yang dibaakan oleh Luna sangat rasuk pula dengan latar orang-orang yang bekerja, terutama para pendiri Koperasi Restoran Indonesia Paris yang tidak lain adalah para suaka politik. Bagi mereka, apa yang diangkat oleh Luna dirasakan sebagai bertutur tentang kehidupan mereka sendiri dan keadaan mereka sampai hari ini. Karena itu tidak heran jika tidak sedikit dari penonton yang mengetahui apa bagaimana Koperasi ini dan keadaan Indonesia ketika menyaksikan pentas Luna, tak bisa menahan airmata mereka menetes. Klimaks perasaan Luna dan para penonton terjadi saat Sumarah yang diperankan oleh Luna dengan membongkokkan tubuh di lantai, sambil menghempas-hempaskan dua tangannya dan menjeritkan tangis yang menyayat hati :"Ayahhhhhhh, ayahhhhh..... ". Jerit yang menggaung jauh ke lubuk hati minta keadilan dan memprotes kelaliman. Tepuk-tangan tertunda oleh tetesan air mata haru, tercengkam oleh suasana yang ditampilkan oleh Luna dan soal yang dihadapkannya kepada penonton. Pejabat-pejabat tinggi KBRI yang didelegasi oleh Kuasa Usaha menghadiri acara ulta Koperasi mengikuti pertunjukan penuh perhatian dengan wajah hati orang yang tersentuh. Melalui pertunjukan Luna ini, saya kembali melihat peran edukatif sastra-seni, terutama teater. Ia makin diapresiasi ketika sastra-seni ini tidak terkucil dari kehidupan nyata. Ketika sastra-seni mengangkat masalah-masalah sosial. Kehidupan anak manusia. Kehidupan adalah ibu kandung inspirasi bersastra dan berkesenian. Dengan demikian masyarakat pun merasa sastra-seni merupakan sebagai suatu keperluan seperti halnya tanaman memerlukan siraman air ke akarnya. Sastra-seni, termasuk teater, mencoba menyerukan anak manusia untuk menjadi manusiawi. Demikianlah mengapa para penonton mengucurkan air mata secara tak tertahan. Airmata protes terhadap ketidakadilan. Terhadap perlakuan tidak manusiawi dan menghadapi tragedi orang-orang terpinggir sertai dipandang sebagai anak manusia. Kalau melihat para penonton menangis ada yang bertanya "Untuk apa menangis"? Pertanyaan ini bisa berbunyi "Ala untuk apa sih lu menangis? Begitu saja menangis?" atau "Untuk apa menangisi hal-hal silam dan sudah tak aktual?" atau "Untuk apa menangis buat para pembunuh dan penjahat seperti PKI?". "Untuk apa menangis dan berempati pada mereka? Sudah sewajarnya mereka dan turunan mereka mendapat ganjaran nasib demikian" . Pertanyaan "mengapa menangis" dan"untuk apa menangis" mempunyai isi dan jurusan yang berbeda. Berkelebihankah dan "mabukkah" membedakan dua jenis pertanyaan begini seperti yang sempat ditudingkan kepada saya? Pertanyaan mengandung sikap , pandangan dan analisa karena itu pertanyaan mempunyai nilai tersendiri. sama halnya dengan memilih tema untuk diolah dan dipentaskan selain memperlihatkan arah komitmen seniman tapi juga memperlihatkan tingkat analisa seniman terhadap lingkungan dan keadaan masyarakat. Saya tidak tahu, apakah Luna Vidya mengangkat tema monolognya secara sadar atau tidak. Tapi lepas dari sadar tidaknya Luna Vidya memilih dan mengangkat tema aktual dan kontekstual begini, penghargaan dari Koperasi pantas disampaikan kepada artis yang berdomisili di Makassar ini, karena sejak dini sudah menawarkan sumbangan guna turut menyemaraki acara ulta ke-26 Koperasi Restoran Indonesia SCOP Fraternité Paris. Tawaran ini saja sudah mempunyai nilai tersendiri. Paling tidak telah memperlihatkan simpati pada Koperasi dan kegiatannya. 5 Seekor camar putih Sungai Seine terbang menembus langit kelabu segala musim selama 26 tahun, seperti itulah perjalanan Koperasi Restoran Indonesia SCOP Fraternité di Paris, yang oleh Yuli Mumpuni, sekarang Dubes Republik Indonesia di Aljazair disebut sebagai "benar-benar duta bangsa", "sebuah rumah makan yang bersejarah dan menyentuh", menurut DR. Mudji Sutrisno, dan menurut Goenawan Mohamad, di mana "sejarah Indonesia tercatat .... dengan kerinduan , tapi juga kehangatan". Seekor camar putih terbang menembus langit kelabu dan cuaca segala musim... langit kelabu dan segala cuasca tak terduga menghadang musim demi musim kehidupan penuh misteri, penuh dadagan tak pernah terduga. Camar putih sungai itu masih mengepakkan sayap-sayapnya sekalipun penuh luka-luka sejarah dan peristiwa, menjelajah galaksi mimpi mencari esok menolak kalah untuk menjadi manusia bermartabat serta berharga diri . **** Perjalanan Kembali, Musim Dingin 2008 ------------------------------------------------------- JJ. Kusni. Keterangan foto: Luna Vidya sedang sedang berakting membawakan monolognya: "Balada Sumarah" dalam acara ulta ke-26 Koperasi Restoran Indonesia, SCOP Fraternité, Paris, pada 15 Desember 2008 [Foto dan Dok. JJ. Kusni] . 1]. Untuk melihat pertunjukan Luna Vidya lebih jauh, buka google dan click luna.
Happy Holidays from Yahoo! Messenger. Spread holiday cheers to your friends and loved ones today! Get started at http://emoticarolers.com/ [Non-text portions of this message have been removed]