Surat  Jembatan Sembilan:
   
  SOLUSI DEKONSTRUKSI 
   
   
  Polemik demi polemik dalam pengertian debat ide dalam dunia sastra-seni 
Perancis agaknya sudah mentradisi  dan untuk tradisi begini, orang-orang di 
sini   mengenang selalu  jasa Emile Zola yang dengan segala resiko, 
sampai-sampai ia terpaksa untuk sementara  Perancis lari ke Inggris, yang 
sering menganggap dirinya lain dari ‘benua tua’ Eropa,  guna membela Kapten 
Dreyfus yang dituduh oleh pemerintah – terutama kalangan militer – sebagai 
pengkhianat bangsa.  Kasus ini dikenal kemudian sebagai l’Affaire de Dreyfus  
dan Zola keluar sebagai pemenang. Dreyfus Affair kemudian dipandang sebagai 
lambang kebebasan berpikir dan bertindak cendekiawan dan sastrwan serta 
kedaulatan republik sastra-seni hingga sanggup hadap-hadapan dengan republik 
politik. Kukira ide penyair-cerpenis Harsanti dari Balikpapan tentang 
’sastra-seni murni’ , kalau sastra-seni murni itu ada, tidak lain dari 
kedaulatan sastra-seni sebagai sebuah republik mandiri.
   
  Dalam polemik yang diperdebatkan adalah masalah-masalah prinsipil hakiki dan 
bukan masalah-masalah pribadi yang menjadi urusan pribadi sebagaimana tercermin 
dari sikap media massa Perancis yang mengkritik  majalah Paris Match [1994] 
ketika membuka kasus Presiden Mitterrand dengan sejarawan  Pingeot hingga 
melahirkan seorang puteri bernama Mazarine. 
   
  Polemik prinsipil hakiki adalah suatu debat argumentatif mengenai substansi 
esensil, bukan merembet ke soal pribadi, dalam usaha mencari kebenaran serta  
memahami benar duduk masalah, sesuai dengan epistemilogi pengetahuan. Adanya 
tradisi debat ini oleh Prof.Dr. Moh. Arkoun dari Universitas Sorbonne, justru 
dipandang sebagai rahasia kemajuan Barat . Adanya debat hakiki, menurut Arkoun, 
memberikan ruang besar bagi anak manusia guna mencari kebenaran lain di luar 
‘wahyu’ atau ‘divine truth’ yang sering tidak tanggap lagi alias kadaluwarsa 
sebagaimana halnya dogma.
   
  Untuk bisa berpolemik,  tentu saja para polemikus selayaknya melengkapi diri 
dengan lumbung data dan pengetahuan  yang padan sehingga debat bisa berlangsung 
sehat, dalam pengertian menyediakan ruang bagi kebenaran pihak lain, tidak 
melihat masalah secara hitam-putih belaka – ujud dari simplistisisme . Dalam 
polemik begini dari para pesertanya terdapat kesanggupan mengakui argumen orang 
lain. Kalau di sini adalah masalah muka, martabat dan harga diri, justru ia 
terdapat pada kesanggupan demikian. Kesanggupan untuk bersepakat menyatakan 
bahwa putih adalah putih , hitam adalah hitam, sebagaimana yang pernah ditulis 
oleh penyair Malaysia, sekarang  pengajar pada Universitas Kebangsaaan Malaysia 
[UKM] di Kuala Lumpur, Sitti Zainun.
   
  ‘putih adalah putih
  hitam adalah hitam’
   
  ucap Zainun ketika membacakan sanjak ini di apartemen Montmatre, Parisku yang 
kecil, puluhan tahun silam. 
   
  Baris-baris Zainun ini sering mengiang di telinga jiwaku saban melihat 
Indonesia di mana yang hitam disebut putih  dan putih disebut hitam.Untuk 
membenarkannya dilakukan suatu komplotan membangun mayoritas pembenar. 
Mayoritas pembenar bukanlah kebenaran yang dicari dan tentu saja tidak tanggap, 
tidak aspiratif kecuali tanggap dan aspiratif pada kepentingan politis. Apalagi 
mayoritas di zaman ini bisa dibeli. Kukira ini bukan kebenaran yang diperlukan 
Indonesia. 
   
  Metode komplotan membangun mayoritas ‘kebenaran’ ini masih berlaku baik di 
kalangan partai politik dan kalangan-kalangan lain dalam masyarakat dengan 
menggunakan berbagai bentuk – tanda dari kemalasan berpikir, mencari kebenaran 
dari kenyataan dan keogahan memahami manusia dan masyarakat yang tidak pernah 
sederhana. Tidakkah komplotan begini pada hakekatnya sama dengan 
otoritarianisme dalam bidang pemikiran dan mentalitas – varian dari 
militerisme,paternalisme dan neo-feodalisme dan tercermin pada etos kerja? 
Maki-maki, sektarianisme , baik dari segi ide atau pun usia,  adalah bagian 
dari kemalasan berpikir dan mentalitas kadaluwarsa ini. Aku tidak yakin, 
Indonesia akan bisa berkembang maju dan bisa keluar dari permsalahan majemuk 
sekarang jika tidak mengikis metode dan pola mentalitas begini. Pemeceahannya, 
kukira bukan dengan membudak Barat atau masa silam,` tapi bagaimana dengan 
‘berdiri di kampung halaman memandang tanahair merangkul bumi’,  bahwa 
‘kebudayaan itu majemuk
 sedangkan kemanusiaan itu tunggal’, jika menggunakan ungkapan Paul Ricoeur, 
filosof terkemuka Perancis yang meninggal Mei 2005 lalu.
   
  Berhadapan dengan keadaan begini maka apa yang dikemukakan oleh Thierry 
Erhman, seorang hartawan dari Lyon dalam polemik hukum dan budaya yang sekarang 
berlangsung di Perancis, bahwa  ‘dekonstruksi mempunyai makna, cara untuk 
mempertanyakan dunia, memperbaharuinya dengan utopia’ bagiku menjadi sangat 
menarik [Lihat: Majalah Le Monde2,  No. 99, Paris, 7 Januari 2006].
   
  Thierry Erhman, seorang hartawan dari Lyon , telah dituntut oleh walikota 
Lyon karena telah mengobah rumah pribadinya , bangunan abad ke –17, di 
Saint-Romain –au-Mont-d’Or,  menjadi sebua museum dan memberikan kepada para 
seniman untuk membangunnya sebagai sebuah museum seni abad ke-21. Walikota St 
Romain menentang ide Thierry Ehrman dan mengajukan permasalah ke pengadilan 
negeri.
   
  Tentangan walikota ini, kupahami sebagai usaha melindungi peninggalan 
kebudayaan. Sebab di Perancis, segala apa yang dikategorikan sebagai warisan 
kebudayaan, tidak bisa dirobah semau sendiri.  Dalam kasus Ehrman nampak adanya 
kontradiksi antara keinginan-hak milik pribadi dan perlindungan atas warisan 
kebudayaan yang dilindungi hokum atas nama kepentingan umum dari segi budaya 
dan sejarah.
   
  Di sini yang menarik perhatianku adalah argumen Ehrman tentang ‘‘dekonstruksi 
mempunyai makna, cara untuk mempertanyakan dunia, memperbaharuinya dengan 
utopia’. Tentu saja dalam soal ini aku tidak memandangnya dari segi hukum dan 
perlindungan warisan  budaya, tapi dari sudut pandang pencarian nilai, 
pendobrakan untuk kemajuan dan usaha memanuiwaikan manusia, kehidupan dan 
masyakat yang bersifat spiral sekaligus  dengan penghargaan kepada Ehrman dan 
Bill Gate [ dipilih oleh Majalah The Times sebagai ‘Man of the Year 2005], yang 
menganugerahkan secara sadar kekayaan mereka untuk usaha manusiawi. 
   
  Dari dasar alasan Ehrman di atas, aku melihat kesejajaran pandangan` Ehrman 
dengan pandangan Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraannya berjudul ‘Rebuild 
A Wold A New’ dan memang perlu selalu di ‘rebuild’ [ditata ulang] dan 
‘ditanya’.  Untuk bertanya dan menata ulang dunia, kukira tidak akan mungkin 
dilakukan tanpa ‘dekonstruksi’ yang dalam istilah Bung Karno perlu dilakukan 
penghancuran dan pembangunan ulang. Revolusi adalah penghancuran dan 
pembangunan ulang. Usaha ini tidak mungkin dilalakuan tanpa utopia yang tidak 
berkelebihan di dunia kita sekarang dan kapan pun . 
   
  Revolusi, dalam artian ini, dan utopia,  aku lihat paralelisme dengan ide 
‘sastra-seni sebagai republik berdaulat’, ‘free thinker’, ‘semangat 
avant-gardist’ [pembidas] dalam sastra-seni, ‘puisi tanpa tabu’ dari Yves 
Mazagre [lihat Majalah Poesi, Paris, September 2005, hlm.77-83] atau Chairil 
Anwar, dalam usaha memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat, serta 
‘ketunggalan manusia’ Paul Ricoeur. ‘Dekonstruksi’ atas dasar suatu ‘utopia’ 
baru, kukira sangat mendesak kepentingannya bagi Indonesia hari ini. 
Dekonstruksi adalah solusi mendesak bagi Indonesia dan dunia hari ini. 
   
  Apa yang diajukan oleh Ehrman bahwa ‘dekonstruksi’  merupakan ‘cara untuk 
mempertanyakan dunia, memperbaharui’, kulihat  berlaku untuk semua negeri dan 
sebagai solusi untuk keluarn dari kemelut , dan  solusi dekonstruksi ini  tentu 
saja paralel dengan solusi pemberontakan manusiawi. Dalam situasi tanahair dan 
dunia sekarang, aku melihat jalan sastra-seni kita sangat dekat mpada solusi 
pemberontakan dan dekonstruksi ini. Inilah kukira jalan sastra-seni murni itu 
jika mau menggunakan istilah  penyair-cerpenis Harsanti [Shantined] dari 
Balikpapan. Ketika Harsanti berbicara tentang lesbianisme, kukira inti masalah 
yang ia ketengahkan tidak lain dari ‘pemberontakan’ dan ‘dekonstruksi’ ini 
juga, sama halnya ketika ia berbicara tentang ‘sastra murni’. Menafsirkan 
cerpen-cerpen Harsanti sebatas lesbianisme kukira suatu keterbatasan tafisran 
pada permukaan tuturan atau cerita. 
   
  Aku berhipotesa bahwa jalan pemberontakan dan dekonstruksi tidak lain dari 
jalan pemanusiawian manusia, masyarakat dan  kehidupan  Karenanya aku merasa 
terilham oleh alasan hartawan Erhman ketika menjelaskan dasar alasan  pikiran 
dan tindakannya.
   
  Tak ada perkembangan maju dan pemanusiawian tanpa solusi pemberontakan dan 
solusi dekonstruksi berbentuk spiral.  Dan dalam hal ini, aku  kembali melihat 
peran penting sumbangan sastrawan sebagai free thinker warga republik berdaulat 
sastra-seni.
   
  Seksisme atau erotisme yang laris secara finansil di Indonesia sekarang,  
barangkali suatu arus eogistik menarik perhatian tapi tidak dibarengi oleh 
jawaban pada pertanyaan mau apa dan kemana dari selapisan penulis ‘asing’ dari 
kehidupan atau hanya lukisan dari kemuafikan elitis  daerah perkotaan di Jawa 
terutama di mana sambil mengutuk pelacuran, hidup bersama, hubungan intim di 
luar nikah tapi motel , karaoke  dan disko berkembang subur. Di hadapan gejala 
ini  kaum ;oralis dan dogmatis bungkam ketika mendapat setumpuk gumpalan uang.  
Karena itu secara ringan, sering kukatakan Indonesia hari ini ada di motel di 
gedung-gedung karaoke [yang oleh orang Yogya dikatakan secara kocak sinis tapi 
mendasar, sebagai ‘karo aku’] dan disko. Indonesia hari ini selain bangsa 
‘koeli’ adalah negeri ‘pelacuran diri’. Karena itu aku melihat solusi 
pemberontakan dan dekonstruksi , menjadi urgen [mendesak], sama mendesaknya 
dengan ide ‘sastra murni’  Harsanti, penyair dan cerpenis Balikpapan. Dengan
 solusi pemberontakan, dekonstruksi, sastra-seni murni [dalam pengertian bahwa 
sastra-seni adalah republik berdaulat],  kita bisa menyelamatkan Indonesia 
ketika kehancuran menunggu di kepala tangga dan tepian. Jika penglihatanku 
benar, tidakkah Indonesia sedang memanggil para sastrawan-seniman dan 
putera-puterinya yang tahu makna Indonesia dan kemanusiaan? 
   
  Di tengah deras gaung seruan dan himbauan begini, tentunya orang sempat atau 
meluangkan sedikit waktu untuk  merenung apa arti aku dan makna hari ini dan 
esok. ‘Siapa diriku? Pertanyaan Lao Tze kembali jadi sangat relevan.
   
  Nectar, 
  Begitulah aku sobatmu yang kau setiai dan sayangi sangat dengan segala 
boroknya, ketika melihat Indonesia, dunia, dan sastra-seni berbagai negeri. 
Hanya kaulah saja yang menerimaku secara utuh dengan segala kebusukanku atas 
dasar prinsip prosentase hakiki dan masih mengatakan tentang wangi kembang 
kemuning di teratak kita tanam bersama, ujud keanggungan dari seorang realis 
manusiawi yang bisa bangkit dari kejatuhan dan kekalahan, tekad menampik ajal 
kesia-siaan, percuma. Utopi, mimpi dan kenyataan memang tak terpisahkan. Di 
sini kita bertemu tak terpisahkan, membuat kembang wangi tetap wangi sekalipun 
ada putiknya yang rontok! Kita mencari manusia dan mau jadi manusia di bumi. 
Haruskah kita menyulut kandil di siang hari mencarinya? *** 
   
  Paris, Januari 2006.
  JJ.Kusni

                
---------------------------------
Yahoo! Mail - now with Autocomplete that helps fill email addresses. 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke