http://www.ambonekspres.com/index.php?act=news&newsid=25371

      Rabu, 21 Jan 2009, | 2 

      10 Tahun : 19 Januari 1999 

      Oleh: Almudatsir Z Sangadji, Direktur Eksekutif Vox Populi Institute
     
     
      Bila nanti siang kau sholat jum'at barangkali di mesjid Al-Fatah atau 
hari minggu nanti kau ikut kebaktian atau missa mungkin di gereja Maranatha 
mungkin di Keuskupan tolong tanyakan apakah mereka mengajarkan agama Tuhan agar 
kita saling membunuh?..........

      Puisi Dino Umahuk, sastrawan muda asal Maluku yang juga mantan program 
manager MMC ini, sengaja saya angkat sebagai refleksi awal. Judul puisi itu 
memang menampar kesadaran teologis kita, yakni agama bunuh diri. Saya ambil 
dari kumpulan ontologi puisinya, dalam buku Metafora Birahi Laut, 2008. Tidak 
persis kapan tanggal dan bulan puisi ini dibuat, namun dalam catatan kakinya, 
tertulis Ambon 1999. 

      Setelah bertanya demikian, Dino menutup puisinya dengan kalimat, "kalau 
memang demikian mengapa agama melarangku bunuh diri." Nakal dan berani, namun 
jika merenungi maknanya, semua orang pasti sadar, bahwa puisi ini sedang 
menggugat iman dan kemanusiaan kita. Karena di tahun itu, 1999, atas nama agama 
dan Tuhan, kita saling menyerang, membakar, dan membunuh. Kita melakukannya 
hingga letih dan berangsur-angsur mereda di awal tahun 2002, setelah pertemuan 
damai bersejarah di Malino, Sulawesi Selatan, 12 Februari 2002. 

      19 Januari 2009 ini, 10 tahun sudah kita melintas. Trauma, kesedihan dan 
penyesalan melintas bersamaan. Mereka, yang karena "membela agama" atau karena 
berbeda agamanya telah meninggalkan kita semua. Orang tua, anak-anak, kerabat, 
tetangga serta mereka yang tidak kita kenal sama sekali, telah menjadi martir 
karena amarah. Amarah sesaat yang dasyat, sehingga pela gandong, larvul ngabal 
atau yang lainnya, tidak mampu memadamkan api yang membakar gedung, hutan dan 
rumah hari itu juga. Juga yang tidak bisa menahan ledakan bom, letusan bedil, 
dan kalewang yang menebas. Hantu apa yang cukup punya otoritas merusak diri 
kita, melebihi agama dan adat yang selama ini telah menjaga diri kita. 

      Mungkin Dino benar, agama bunuh diri. Bukan saja untuk teologi kita, 
namun juga kemanuasiaan dan keadaban kita. Bagaimana bisa agama yang mulia dan 
mengajarkan damai dan selamat itu, bisa mengobarkan darah? Bagaimana bisa rasa 
damai dalam pela gandong, bisa berubah jadi marah-marah dengan cepat? Seperti 
juga Acang dan Obeth, dua idiom advertising perdamaian salam-sarani yang biasa 
saling masohi (baku bantu) bisa saling menghabisi? 

      Setelah 10 tahun berlalu, apa maknanya? Pertama, 19 Januari 1999 itu, 
adalah episode paling buruk bagi kita semua. Agama, budaya dan perubahan yang 
mengitarinya sudah seharusnya lebih dewasa untuk hari-hari kita kedepan. 
Konflik, tepatnya kekerasan yang kita alami, semoga bisa lebih mendewasakan 
kita untuk hidup dengan keterbukaan, kejujuran, sehingga bisa berbagi dalam 
kebaikan dan kedamaian. 

      Kedua, dalam konteks geopolitik dan sosio-ekonomi, konflik menghubungkan 
beberapa variabel eksternal yang non agama, namun hadir sebagai bingkai besar 
yang cukup dalam. 

      Dalam konteks geopolitik itu, adalah ekspresi dan ungkapan untuk 
kebebasan sebagai bangsa. Baik secara strategis maupun sebagai langkah taktis. 
Sedangkan dalam alur sosio-ekonomi, konsepsi dan perasaan tentang keadilan dan 
kesejahteraan, hadir menggugat, baik dari aspek ekonomi (penguasaan sumber 
daya) maupun aspek politik (melalui dominasi atas struktur kekuasaan). 

      Tafsir ruang dan pemihakan atas rasa keadilan itu menjadi eksklusif dan 
mudah pecah (fragile), sehingga sensitif dan mudah menjulur pada soal-soal 
dikotomis. Agama, etnis, dan negara mudah mengalami patahan maknanya. Biasanya, 
yang kecil mengeras dan yang besar retak-retak. 

      Dikotomi itu muncul sebagai simbol pertikaian, seperti Islam vs Kristen, 
pendatang (Bugis, Buton dan Makassar) vs pribumi atau pro NKRI vs RMS. Sesuatu 
yang kita dengar sebagai isu, sebagai kita dan mereka, lalu mengajak kita 
berkelahi. Simbol-simbol bertikai secara faktual, sebagai sebuah sikap 
intrinsik, sebenarnya binal dan liar. Terlalu sporadis dan meluas konflik itu 
terjadi, sehingga sulit menduga perasaan dikotomis itu bisa begitu cepat 
matang, dewasa, bergerombol untuk merusak secara kolosal. 

      Tapi selalu begitu kita percaya. Sebagian besar tersimpan dalam rekaan 
dan rekaman pikiran kita. Boleh jadi ini imaginasi paling buruk, karena suka 
cari musuh. Padahal nyiur yang melambai dengan indah, ombak yang malu-malu 
kucing dengan suara merdu, serta pala, sagu, dan cengkih yang menghidupi dengan 
syukur, telah mengantarkan orang Maluku sebagai penyanyi, pesepakbola, dan 
sarjana yang cukup dikenang. Bagi sebagian daerah, bukankah Maluku adalah guru? 
Guru akademis, sekaligus guru toleransi dan perdamaian. 

      Tanya Z A Palaguna, tanya Amien Syam, dan hingga hari ini Izhak 
Ngerjaratan dan Saleh Putuhena masih menabur tradisi dan kearifan itu di negeri 
Angin Mamiri, Makassar sana. Tanya Suharto di Orde Baru, atau siapapun menteri 
agamanya, bukankah Maluku jadi teladan bagi toleransi agama di Indonesia? Tanya 
Sukarno, siapa yang paling nasionalis? Tidak pernah terucap secara monumental 
untuk daerah lain, ketika Sukarno berkata," Indonesia tanpa Maluku bukanlah 
Indonesia....". 

      Betapa dikotomi sebagai simbol pertikaian itu sangat absurd. Sama 
absurdnya seperti racun yang menyerang sistem syaraf dan metabolisme tubuh dan 
jiwa kita. Kesadaran teologis kita, historis kita, nasionalisme dan simbiosis 
mutualisme kebudayaan kita, mengalami distorsi dan bias yang luar biasa. 
Menjawabnya pun susah. 

      Saya kira Dino harus buat satu puisi lagi untuk masa depan. Kematian, 
kekerasan, dan amarah telah berlalu. Saatnya menatap kedepan, menyusuri jalan 
setapak perdamaian. Meski lama merajut dan bangun kembali, namun setelah 
kegelapan berlalu, pastikan cahaya (nur) terang menerangi iman dan kemanusiaan 
kita. Dino gagal bunuh diri, karena menolak ajakan puisinya. Dia sekarang aktif 
jadi pekerja kemanusiaan di Aceh, setelah terusir dari Ambon tahun 2004 lalu. 
17 Mei 2008 lalu di Baguala Resort, Waitatiri, bersama kawan-kawan MMC-nya, dia 
masih tersenyum menyambut fajar perdamaian di negeri yang indah ini, Maluku. 
Negeri yang pernah dia lukiskan sebagai agama bunuh diri itu. (*)  




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke