http://www.equator-news.com/index.php?mib=berita.detail&id=7943

Senin, 19 Januari 2009 , 10:47:00


Arakan Naga Masih Pro Kontra



Pontianak. Rencana Pemerintah Kota Pontianak yang membolehkan kembali arakan 
Naga dilakukan dalam perayaan Imlek tahun ini mendapat tanggapan beragam. Ada 
yang setuju namun ada juga yang menolak.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Majelis Adat Budaya Melayu 
Kalbar (LBH MABM-KB), Zainuddin H Abdulkadir SH mengatakan, atraksi naga 
ataupun atraksi barongsai adalah kesenian tradisional etnis Tionghoa yang telah 
menjadi kesenian nasional dan bahkan internasional. 

"Bahkan negara kita termasuk negara yang diperhitungkan pada setiap perlombaan 
barongsai tingkat internasional, karena atraksi barongsainya selalu mengundang 
decak kagum para penonton. Namun mengapa aset budaya ini malah menjadi 
pertentangan dalam masyarakat kita?," tanyanya.

Menurutnya, Kalbar khususnya Kota Pontianak memiliki beragam kesenian dan 
kebudayaan yang bisa diandalkan untuk jadi aset wisata, baik itu dari etnis 
Melayu, etnis Dayak, etnis Bugis termasuk etnis Tionghoa. Semua kebudayaan tiap 
etnis ini bisa dimasukkan dalam paket kunjungan wisata ke Kota Pontianak, 
karena dapat dijadikan wisata budaya, wisata religi, dan wisata sejarah. "Ini 
seharusnya bisa dijadikan kekayaan wisata di Kalbar," tukasnya. 

Seharusnya menurut Zainuddin, semua harus bahu membahu untuk meningkatkan aset 
budaya di daerah. Malah ia berpikir mengapa tidak menyatukan budaya-budaya 
tersebut pada puncak perayaan Cap Go Meh mendatang. 
"Maksudnya adalah pada hari itu ada sajian atraksi naga yang diramu dengan 
atraksi budaya etnis lainnya yang ada di kota Pontianak," serunya.

Dalam puncak acara itu, masing-masing etnis dapat menunjukkan kelebihan 
budayanya dan bisa jadi hal tersebut dapat lebih fantastik untuk dijadikan 
agenda menarik wisatawan datang ke Pontianak sekaligus cara efektif untuk 
menghindari perpecahan yang seharusnya tidak perlu terjadi.

"Kota Pontianak seperti kita ketahui adalah kota pluralis, jadi kenapa kita 
tidak tetap saja dengan pluralis tersebut. Bukankah perbedaan juga bisa indah 
asalkan kita bisa menerima perbedaan tersebut. Paling tidak, mari kita saling 
menghargai hak-hak asasi setiap manusia untuk berkreasi selama tidak 
bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat," imbaunya.
Sementara itu menurut Ketua Nahdatul Ulama (NU) Kota Pontianak, Nuralam Sag, 
arak-arakan naga yang biasa dilakukan etnis Tionghoa menjelang perayaan Imlek 
merupakan budaya masyarakat setempat yang patut dilestarikan. Yang terpenting 
katanya adalah bagaimana penataan yang baik dan dibenarkan. 

"Persoalannya bukan dibubarkan atau ditiadakan, bagaimanapun ini budaya dan 
asset pariwisata yang patu dilestarikan. Ini tugas Pemkot bagaimana jika budaya 
seperti ini di tata sedemikian rupa oleh dan disediakan tempat dan penataan 
yang lain," jelas Nuralam dihubungi via telepon, kemarin malam. Nuralam yang 
saat dihubungi sedang berada di luar kota menjelaskan kalau arak-arakan 
tersebut mesti di tata dan disediakan tempat khusus. "Jangan sampai kebebasan 
yang diberikan Pemkot justru mengganggu kelancaran arus lalu lintas dan 
sebagaimana," tukasnya dengan suara terputus-putus. 

Tantangan dilaksanakan arakan Naga datang dari Gerakan Barisan Melayu Bersatu 
(GBMB). Mereka meminta kegiatan itu tidak dilaksanakan seperti tahun 
sebelumnya. "Menanggapi rencana pemerintah untuk membolehkan arakan naga dalam 
perayaan Imlek tahun ini, kami tetap tidak terima," kata Erwan Irawan, ketua 
GBMB didampingi sekretarisnya Iskandar SH kepada wartawan belum lama ini di 
Pontianak. Alasan pertama yang dikemukakan Erwan adalah karena pada kegiatan 
hari raya satu Syawal silam, pemerintah tidak membolehkan diadakannya takbir 
keliling. "Itu kan kegiatan keagamaan dan sudah rutin diadakan setiap tahun, 
kenapa dilarang. Sementara untuk arakan naga tahun ini dibolehkan. Jelas ini 
kita pertanyakan, sementara SK Walikota yang mengatur itu pun belum ada 
informasi kalau sudah dicabut," tukasnya.

Alasan lainnya, lanjut dia adalah sangat berpotensi terjadinya kemacetan di 
ruas jalan yang telah ditentukan dalam waktu lama seperti yang terjadi pada 
kegiatan  serupa sebelumnya. "Kegiatan seperti itu dulu kan cukup menimbulkan 
kemacetan. Kalau tetap dilaksanakan kami siap untuk menghambat atau membubarkan 
apa pun risikonya," timpalnya.

Ia mengatakan terhadap penolakan itu bukan berarti membedakan suku dan agama, 
namun harus tetap pada aturan yang ada karena tak ada sedikit pun informasi 
kalau SK yang lama telah dicabut. "Lebih baik laksanakan SK sebelumnya yang 
mengatur tempat untuk atraksi Naga sehingga tidak mengganggu ketertiban umum. 
SK itu kami anggap masih berlaku dan belum ada pencabutan. Mestinya pemerintah 
dalam hal ini dapat melakukan sosialisasi kepada stakeholder sebelum membuat 
kebijakan," pungkasnya. (her/lil) 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke