Beda Pemakaman Pak Harto dan BK 
Posted by: "listmanager 2" [EMAIL PROTECTED]   listmanager_2 
Mon Jan 28, 2008 1:15 am (PST) 
http://jawapos. com/index. php?act=detail_ c&id=323597
Senin, 28 Jan 2008,
Beda Pemakaman Pak Harto dan BK

Oleh Asvi Warman Adam *
Pada 27 Januari 2008 pukul 13.10, mantan Presiden
Soeharto wafat. Jenazahnya disemayamkan di
kediamannya, Jalan Cendana, dan dilayat pejabat tinggi
negara, mulai presiden, wakil presiden, sampai para
menteri. Masyarakat umum berjubel di sepanjang Jalan
Cendana menonton para tetamu. 

Senin pagi, 28 Januari 2008, ini jenazah mantan orang
nomor satu RI itu diterbangkan ke pemakaman keluarga
di Astana Giribangun. Ketua DPR Agung Laksono akan
bertindak secara resmi dalam pelepasan jenazah di
Jalan Cendana, Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin
pelepasan di Halim Perdanakusumah. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menjadi inspektur upacara di Astana
Giribangun. 

Astana Giribangun yang diperuntukkan keluarga Nyonya
Suhartinah Soeharto didirikan di Gunung Bangun yang
tingginya 666 meter di atas permukaan laut. Cangkulan
pertama dilakukan Tien Soeharto Rabu Kliwon, 13
Dulkangidah Jemakir 1905, bertepatan dengan 27
November 1974. 

Dengan menggunakan 700 pekerja, bangunan yang
merupakan gunung yang dipangkas tersebut diselesaikan
dan diresmikan pada Jumat Wage, 23 Juli 1976. Jadi 30
tahun sebelum meninggal, Soeharto telah mempersiapkan
tempat peristirahatan yang terakhir. Hal itu dilakukan
Soeharto agar "tidak menyusahkan orang lain". 

Soeharto memperoleh hak dan fasilitas sebagai seorang
mantan kepala negara. Namun, hal yang berbeda dialami
mantan Presiden Soekarno. Sewaktu mengalami semacam
tahanan rumah di Wisma Yaso (sekarang Gedung Museum
Satria Mandala Pusat Sejarah TNI) di Jalan Gatot
Subroto, Jakarta, Soekarno tidak boleh dikunjungi
masyarakat umum. 

Pangdam Siliwangi H.R. Dharsono mengeluarkan perintah
melarang rakyat Jawa Barat untuk mengunjungi dan
dikunjungi mantan Presiden Soekarno. Kita ketahui,
H.R. Dharsono kemudian juga menjadi kelompok Petisi 50
dan meminta maaf kepada keluarga Bung Karno atas
perlakuannya pada masa lalu itu. 

Putrinya sendiri, Rachmawati, hanya boleh besuk pada
jam tertentu. Pada 21 Juni 1970, Bung Karno wafat
setelah beberapa hari dirawat di RSPAD Gatot Subroto,
Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, Rachmawati
menanyakan kepada Brigjen Rubiono Kertapati, dokter
kepresidenan, kalau Soekarno menderita gagal ginjal,
kenapa tidak dilakukan cuci darah? Jawabannya, alat
itu sedang diupayakan untuk dipesan ke Inggris. 

Itu jelas sangat ironis. Pada masa revolusi pasca
kemerdekaan, Jenderal Sudirman menderita penyakit TBC.
Ketika itu, obatnya baru ditemukan di luar negeri,
yakni streptomycin. Pemerintah Indonesia dalam keadaan
yang sangat terbatas dan berperang menghadapi Belanda
berusaha mendapatkan obat tersebut ke mancanegara,
tetapi nyawa Panglima Sudirman tidak tertolong lagi.
Hal itu tidak dilakukan terhadap Ir Soekarno. 

Bung Karno dibaringkan di Wisma Yaso setelah wafat di
RSPAD Gatot Subroto dan di situ pula dia dilepas
Presiden Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto. Situasi
saat itu memang sangat tidak kondusif bagi Soekarno
dan keluarganya. Beberapa hari sebelumnya, yakni 1
Juni 1970, Pangkopkamtib mengeluarkan larangan
peringatan hari lahirnya Pancasila setiap 1 Juni.
Soekarno sedang diperiksa atas tuduhan terlibat dalam
percobaan kudeta untuk menggulingkan dirinya sendiri.
Pemeriksaan tersebut dihentikan setelah sakit Bung
Karno semakin parah. 

Pada 22 Juni 1970, jenazah sang proklamator dibawa ke
Halim Perdanakusumah menuju Malang. Di Malang
disediakan mobil jenazah yang sudah tua milik Angkatan
Darat, demikian pengamatan Rachmawati Soekarnoputri
(di dalam buku Bapakku Ibuku, 1984) yang membawanya ke
Blitar. 

Sepanjang jalan Malang-Blitar, rakyat melepas
kepergian sang proklamator di pinggir jalan. Di sini
Soekarno dimakamkan dengan Inspektur Upacara Panglima
ABRI Jenderal Panggabean pada sore hari. Sambutan
dibacakan sangat singkat. 

Soekarno hanya dimakamkan di pemakaman umum di samping
ibunya. Seusai acara resmi, rakyat ikut menabur bunga.
Karena banyaknya tanaman itu, sampai terbentuk gunung
kecil di atas pusara Sang Putra Fajar tersebut. Namun
tak lama kemudian, rakyat yang tidak kunjung beranjak
dari makam kemudian mengambil bunga-bunga itu sebagai
kenangan-kenangan. Dalam tempo singkat, makam Bung
Karno kembali rata sama dengan tanah. 

Pemakaman di Blitar itu berdasar Keputusan Presiden RI
No 44/1970 tertanggal 21 Juni 1970. Keputusan tersebut
diambil dengan berkonsultasi bersama pelbagai tokoh
masyarakat. Padahal, Masagung dalam buku Wasiat Bung
Karno (yang baru terbit pada 1998) mengungkapkan bahwa
sebetulnya Soekarno telah menulis semacam wasiat
masing-masing dua kali kepada Hartini (16 September
1964 dan 24 Mei 1965) dan Ratna Sari Dewi (20 Maret
1961 dan 6 Juni 1962). Di dalam salah satu wasiat itu
dicantumkan tempat makam Bung Karno, yakni di bawah
kebun nan rindang di Kebun Raya Bogor.

Di dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan bahwa
sebelum memutuskan tempat pemakaman Soekarno, dirinya
mengundang pemimpin partai. Jelas Soeharto menganggap
itu masalah politik yang cukup pelik. Jadi, pemakaman
tidak ditentukan keluarga, tetapi melalui pertimbangan
elite politik. 

Kemudian, Soeharto melalui keputusan presiden
menetapkan pemakaman di Blitar konon dengan alasan
tidak ada kesepakatan di antara keluarga. Apakah betul
demikian? Sebab, pendapat lain mengatakan bahwa hal
itu dilakukan Soeharto demi pertimbangan keamanan.
Jika dikuburkan di Kebun Raya, pendukung Bung Karno
akan berdatangan ke sana dalam rombongan yang sangat
banyak, sedangkan jarak Bogor dengan ibu kota Jakarta
tidak begitu jauh. Hal tersebut dianggap berbahaya,
apalagi saat itu menjelang Pemilu 1971. 

Pemugaran makam Bung Karno juga penuh kontroversi.
Pemugaran dilakukan pada 1978 dengan memindahkan
makam-makam orang lain itu. Menurut Ali Murtopo di
depan kader PDI se-Jawa Timur, ide tersebut berasal
dari Presiden Soeharto. Masyarakat tentu bisa menduga
bahwa itu dilakukan dalam rangka mengambil hati para
pendukung Bung Karno menjelang pemilu. Dalam pemugaran
tersebut, keluarga tidak diajak ikut serta. Bahkan,
dalam peresmian pemugaran itu, putra-putri Soekarno
tidak hadir. 

Dalam prosesi pemakaman di Blitar, Megawati tidak
hadir karena sedang berada di luar negeri. Namun,
kabarnya putra tertua Bung Karno, Guntur Sukarno
Putra, mewakili keluarga mantan Presiden Soekarno akan
datang ke Astana Giribangun. Ketika Soeharto di Rumah
Sakit Pertamina, Guruh juga berkunjung. Ini suatu
pelajaran sejarah berharga bagi bangsa kita. Jangan
lagi kesalahan masa lalu diulang dan marilah kita
berjiwa besar. 
* Dr Asvi Warman Adam, sejarawan, ahli peneliti utama
LIPI 


Kirim email ke