Kaum Perempuan di Negara-Negara Muslim Menuntut Pembaruan Lebih Besar oleh Basma Al-Mutlaq 23 Maret 2007 Cetak Email London Pada sebuah pertemuan yang diselenggarakan di Chatham House, London pada tanggal 14 Februari, Sheikha Mozah Al-Mesned, istri emir Qatar, mengatakan bahwa harus ada kebangkitan besar-besaran di kedua pihak agar dapat mencapai pemahaman yang lebih baik antara masyarakat Muslim dan Barat.
Sheikha yang merupakan pendamping hidup emir Qatar, Ketua Yayasan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Pengembangan Masyarakat Qatar, Presiden Dewan Tertinggi Urusan Keluarga dan Wakil Ketua Dewan Pendidikan Tertinggi mengawali pidatonya dengan menolak "terminologi keliru" yang menggambarkan hubungan Muslim- Barat, dan menyatakan tujuannya untuk meruntuhkan paradigma benturan peradaban yang berkembang dengan menekankan tujuan-tujuan bersama dan kesadaran akan pentingnya persekutuan. Ia juga menggarisbawahi arti penting penyelesaian politik maupun kebudayaan untuk ketegangan-ketegangan yang sedang terjadi dan memperingatkan bahwa agar dapat membangun sebuah kenyataan alternatif, perlu keterlibatan pemikiran kritis. Sheikha Mozah menyoroti pertukaran positif yang terjadi antara peradaban Muslim dan Eropa di masa lalu, selain konflik-konflik yang berlangsung. "Tantangan pada masa kini", ia berkata, "adalah untuk membentuk sebuah "etika global" dan menghadapi masalah ketidakpuasan politis, khususnya di kalangan orang muda." Ia menambahkan bahwa jawabannya terletak pada pembaruan pendidikan, walaupun pendidikan yang terbebas dari mobilisasi politik tidak akan menjamin hilangnya kekerasan. Ia juga mengatakan bahwa media sangat bersalah karena telah memprioritaskan kekerasan. Penghargaan harus diberikan kepada Sheikha Mozah atas kehadirannya yang karismatis dan semangatnya untuk mewakili negaranya dengan cara yang positif. Ketika ditanya tentang keadaan kaum perempuan di Qatar, ia sekedar menjawab dengan menunjuk dua orang perempuan muda yang duduk di barisan depan dan berkata, "Kedua perempuan ini menduduki jabatan menteri di Qatar. Saya tidak perlu berkata apa-apa lagi." Emansipasi dan pemberdayaan perempuan di Qatar tidak akan pernah tercapai tanpa, pertama, peran filantropis dan efektif Sheikha Mozah dalam mendorong kaum perempuan Qatar maju, dan kedua, kesiapan rakyat Qatar dan kerelaan mereka mengikuti berbagai perubahan ini. Contoh Qatar belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah tersebut mengingat waktu dan skala perubahan yang begitu mendalam dan keberhasilan terbesarnya terletak terutama dalam pencapaian sebuah keseimbangan antara perlindungan terhadap identitas Muslimnya dan penerapan kebijakan yang progresif sebuah kebijakan yang menjamin kesetaraan hak sebagai warga negara bagi kaum perempuan. Keberhasilan kaum perempuan di negara-negara seperti Kuwait, Bahrain, UEA, dan Qatar membuat banyak perempuan di sekitar wilayah Arab Saudi melihat pencapaian-pencapaian mereka sendiri yang tidak seberapa, khususnya di ruang publik. Kaum perempuan di Arab Saudi, yang telah memberikan sumbangan berarti dalam bidang bisnis, pendidikan, dan kebudayaan, masih belum memperoleh pengakuan dan kesetaraan upah, serta perjuangan agar dapat diperhatikan. Bahkan dalam bidang-bidang kedokteran, di mana para perempuan Saudi biasanya meruak, mereka tetap gagal meraih kedudukan kekuasaan. Seperti yang sering diberitakan, agama mendominasi hampir segala aspek kehidupan di Arab Saudi, yang menyulitkan bagi perempuan untuk menanyakan hak-hak mereka karena takut dicap, diasingkan, dan "dituduh" liberal dan sekuler. Namun, kita dapat mempertanyakan sebagian representasi-representasi Islam yang keliru dan praktik sosial umum yang telah diserap seluruh masyarakat, seperti kawin paksa, cerai paksa, kekerasan terhadap perempuan, perwalian (seorang perempuan harus didampingi seorang kerabat laki-laki dan memperlihatkan izin yang ditandatangani walinya di setiap pelabuhan), serta undang-undangan perceraian dan perwalian anak yang berat sebelah. Penting artinya untuk mengubah pola-pola sosial dan budaya dengan cara menarik sebuah garis pembatas antara praktik-praktik agama dan sosial; antara suatu penafsiran Islam yang meningkatkan kedudukan perempuan dalam masyarakat dan praktik-praktik sosial yang membatasi dan menindas. Apa yang dituntut kaum perempuan di kebanyakan negara Muslim adalah pemikiran kembali tentang kedudukan mereka dalam masyarakat dan pelaksanaan hak maupun kewajiban laki-laki dan perempuan dalam Islam secara tepat. Namun dasar pemikiran dari perubahan yang terukur dan penuh kehati- hatian yang diambil oleh kebanyakan negara Muslim mungkin disebabkan oleh ketakutan mereka terhadap neo-kolonialisme. Fokus internasional terhadap "isu perempuan" telah diakui oleh banyak negara Muslim sebagai tantangan pasca kolonial yang sesungguhnya. Karena bagaimana kita dapat melakukan perubahan progresif tanpa mengikuti hukum Barat yang dicontohkan dalam Convention on the Elimination of Discrimination Against Women, dan tetap memelihara identitas kebudayaan kita yang selalu ingin dihancurkan oleh kolonialisme? Saat ini vital rasanya untuk meneliti latar belakang radikalisme Islam yang telah hidup di Kerajaan Arab Saudi selama beberapa dekade terakhir dan menciptakan sebuah masyarakat patriarkat murni yang melihat perempuan sebagai sebuah simbol Islam yang harus diasingkan dan dilindungi dari dunia yang keji. Sebagai sebuah bangsa, kita cenderung untuk memandang diri kita sendiri seperti oposisi biner: laki-laki/perempuan, baik/buruk, lebih/kurang. Dengan kata lain, orang telah terjerat ke dalam pemikiran biner. Karena itu Hukum Tenaga Kerja di Arab Saudi sebagai cerminan dari hati masyarakat telah menentukan ruang dan pekerjaan tertentu bagi perempuan. Ayat 150 mencegah perempuan bekerja pada malam hari dan Ayat 149 memberdayakan menteri tenaga kerja untuk menyatakan bahwa industri tertentu "berbahaya" dan oleh karean itu tidak sesuai bagi kaum perempuan. Hasil-hasil sederhana telah dicapai oleh Kementerian Tenaga Kerja Arab saudi dalam sebuah upaya untuk menegosiasikan ruang-ruang baru bagi kaum perempuan di negara tersebut seperti mengizinkan pengacara-pengacara perempuan untuk bekerja di kantor-kantor hukum. Pembaruan di Arab Saudi mungkin sedang berlangsung, dan kecaman keras terhadap perempuan telah berkurang dalam beberapa hal, tetapi sisa- sisa radikalisme masih ngotot bertahan. Kerajaan Saudi harus menginternalisasikan kemoderatan dan menormalkan kehidupan bagi generasi sekarang dan masa depan dengan mencurahkan lebih banyak energi mewujudkan pembaruan nyata dan penting. ### * Basma A. Al Mutlaq memiliki gelar Ph.D dalam Sastra Perbandingan dan Sastra Feminis di Timur Tengah dari SOAS, London University. Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org. Sumber: Arab News, 14 Maret 2007, www.arabnews.org Telah memperoleh hak cipta.