Refleksi : Mengapa prestasi kwalitif di daerah-daerah tertentu menurun? Apakah 
disebabkan kurang rajin membaca?

http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=17287

2010-04-26

Kelulusan UN Turun Bali Terbaik, NTT Terburuk 




[JAKARTA] Tingkat kelulusan ujian nasiona (UN) tahun 2010 untuk SMA, SMK, dan 
madrasah aliyah (MA), hanya 89,61 %. Tingkat kelulusan UN, yang diumumkan 
serentak secara nasional pada Senin (26/4) ini, merupakan yang terburuk dalam 
lima tahun terakhir. Sejak tahun ajaran 2005/2006, tingkat kelulusan UN selalu 
lebih dari 90%. Angka itu merupakan pencapaian yang buruk dan harus disikapi 
sebagai sebuah bentuk kegagalan yang harus dievaluasi. 


Target kelulusan UN 2010 untuk SMA, SMK, MA, yakni 95 persen, tidak tercapai 
dan malah melorot. Dari total peserta 1,52 juta peserta UN, yang lulus hanya 
mencapai 89,61%, sementara 154.079 siswa lainnya gagal, sehingga harus 
mengikuti UN ulang 10-14 Mei 2010. Sementara itu, tingkat kelulusan terendah 
ada di wilayah Indonesia bagian Timur. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan 
Nasional, tingkat kelulusan terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), 
yakni 47,5% dengan nilai rata-rata 5,65. Dan yang terbaik adalah Bali dengan 
persentase kelulusan 97,18%.


Pengamat sekaligus guru besar Universitas Sarjana Wiyata Yogyakarta, Prof Dr Ki 
Supriyoko berpendapat melencengnya target kelulusan UN 2010 harus disikapi 
sebagai kegagalan dalam bidang pendidikan. Persoalan prestasi sekolah-sekolah 
di daerah tertentu yang merosot tajam merupakan bukti bahwa sampai saat ini 
perputaran alokasi dana pendidikan yang mencapai 20 persen dari APBN, masih 
berpusat di kota-kota besar. 


Kesenjangan mutu pendidik, fasilitas pembelajaran hingga metode pengajaran, 
harus lebih dicermati sebagai dasar permasalahan. 
"Mengapa pemerintah ngotot menyelenggarakan UN? Padahal faktanya standar 
pendidikan kita belum merata. Dengan melihat kenyataan ini, seharusnya 
pemerintah berpikir ulang dan tidak terburu-buru menentukan UN," katanya.


Senada dengan Supriyoko, pakar pendidikan, HAR Tilaar, mengatakan pemerintah 
seharusnya memenuhi delapan standar nasional pendidikan terlebih dahulu sebelum 
melaksanakan UN. Tingkat kelulusan terendah di Indonesia Timur merupakan bukti 
dari pelaksanaan standar layanan pendidikan yang belum merata. Hal ini menjadi 
sinyal agar pendidikan di wilayah-wiayah tertentu itu ditingkatkan.


Dia menyesalkan pemerintah menyamaratakan standar UN kepada setiap anak bangsa. 
Dengan keluarnya nilai UN maka terjadi penghakiman terhadap kemampuan anak di 
tiap provinsi. "Anak-anak menjadi korban tidak lulus ujian, meski ada ujian 
ulangan hal itu tidak akan memberikan dampak positif atau keuntungan bagi 
mereka. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda, tidak bisa disamaratakan dan 
distandarisasi," katanya, Minggu (25/4). 


Menurut Ki Supriyoko, bila yang menjadi permasalahan adalah sistem atau metode 
pembelajaran maka pemerintah berwenang dan wajib menyelenggarakan sistem 
rolling para guru. "Guru-guru di Jawa diekspor ke daerah lain, sedang guru di 
daerah yang dianggap jeblok, ditarik untuk perbaikan mutu mengajar. Teknisnya, 
harus ada tunjangan lebih bagi guru yang di-rolling tersebut," katanya.
Hal lain, lanjut Ki Supriyoko, fasilitas yang minim. Tidak bisa dipungkiri, 
ketertarikan siswa untuk belajar dengan lebih giat, juga bergantung dari 
fasilitas. Sekolah di kota besar, memberikan berlimpah fasilitas, sedang di 
daerah pinggiran dan terpencil hanya gigit jari. "Ini yang saya katakan, dana 
pendidikan itu masih berputar di pusat," tegasnya.


Sementara itu, anggota Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian menuturkan, hasil UN 
yang menunjukkan kesenjangan kualitas pendidikan di daerah harus menjadi 
evaluasi pemerintah dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan.Sedangkan 
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyatakan, hasil UN menjadi bahan 
evaluasi dan pemetaan kualitas pendidikan nasional. Bagi daerah dan 
sekolah-sekolah yang memiliki hasil UN rendah, Kemdiknas berjanji akan 
melakukan intervensi kebijakan untuk memberikan penguatan kepada kabupaten kota 
ke sekolah-sekolah yang tingkat kelulusannya rendah. 


"Dari hasil UN ini kami akan evaluasi dan melakukan melakukan penguatan mulai 
dari guru sampai dukungan fasilitas kepada sekolah sekolah yang tingkat 
kelulusannya rendah," tandasnya. Meski tingkat kelulusan hasil UN utama 89,61, 
dibawah target Mendiknas sebelumnya 95%, Mendiknas mengharapkan dengan adanya 
ujian UN ulangan tingkat kelulusan akan terdongkrak. 

Khawatir 
Tingkat kelulusan yang tak sesuai target ini dikomentari beragam. Pelaksanaan 
UN yang lebih baik dari tahun sebelumnya membuat tingkat kebocoran bahan ujian 
lebih kecil sehingga nilai ujian tidak terdongkrak oleh bocoran soal. "Mungkin 
juga mereka (peserta UN) lebih jujur dari pada daerah lain yang punya tingkat 
kelulusan lebih baik," katanya di Jakarta, Minggu (25/4). 
Sedangkan menurut orangtua siswa di NTT, UN seperti momok menakutkan sehingga 
secara psikologis menekan para siswa sebelum UN berlangsung. David Wungubelen 
dan Suleman Amheka, orang tua siswa salah satu SMA negeri di Kupang, Senin 
(26/4) pagi, mengungkapkan hal itu ketika dimintai pendapat tentang rendahnya 
presentasi kelulusan UN 2010.


Keduanya menilai, kebijakan yang terus berubah-ubah dalam penetapan pemerintah 
tentang standar kelulusan dari tahun ke tahun, jelas mempengaruhi kesiapan para 
siswa dalam menghadapi UN serta mempengaruhi para guru dalam menyesuaikan 
materi pelajaran yang diberikan saat proses belajar mengajar menjelang UN.


Wakil Gubernur NTT, Esthon Leyloh Foenay secara terpisah mengatakan, yang bisa 
dilakukan pemerintah daerah sekarang ini adalah pemerataan kualitas pendidikan 
sampai ke daerah terpencil. Pada tataran SD-SMP, pemerataan mulai terlihat, di 
mana hampir di tiap kecamatan sudah terdapat antara satu atau dua SMP negeri. 
Sedangkan untuk pembukaan SMA, perlu didukung minimal tiga SMP. 


Sedangkan untuk pembukaan sebuah SMA yang representatif, risiko ikutan adalah 
menyediakan tenaga guru, mess guru, laboratorium dan perpusatakaan. Kini 
Pemprov NTT mendorong peranan sekolah-sekolah swasta dengan memberikan subsidi 
silang agar kualitas pendidikan dapat tercapai. Antara lain, tenaga guru 
bersertifikat diperbantukan pada sekolah-sekolah swasta yang ada. Selain itu, 
Pemprov NTT memberikan bea siswa bagi pelajar berprestasi, terutama dari 
kalangan keluarga ekonomi lemah. Program bea siswa itu difokuskan pada 
daerah-daerah pemekaran, daerah pertumbuhan, dan daerah perbatasan. 


Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdiknas Mansyur Ramly menambahkan, 
tingkat kelulusan di daerah Indonesia Timur rendah karena faktor kualitas guru, 
sarana dan prasarana pendidikan dan budaya belajar peserta didik yang masih 
rendah. "Minat baca dan belajar peserta didik di Indonesia Timur lebih rendah 
dibanding dengan di perkotaan," katanya. [120/D-11/152]


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke