http://www.ambonekspres.com/index.php?act=news&newsid=25600

      Senin, 16 Feb 2009, | 1 


      Laporan: Sukriansyah S. Latief, Missouri, Amerika Serikat
      Sheila Coronel dan Etika 'Investigative Journalism'  
     
      TAK sah rasanya seorang jurnalis mengaku sebagai 'wartawan paripurna', 
bila tak mengenal Sheila Soto Coronel dan sepak terjangnya. 
      Dialah perempuan jurnalis asal Filipina, yang tidak bisa dipisahkan dari 
perkembangan jurnalisme di Asia, bahkan di belahan dunia ini, khususnya dalam 
perkembangan 'investigative journalism'. 

      Dia kini memang tak muda lagi. Di usianya yang ke-50 tahun, Sheila tidak 
lagi turun ke lapangan mencari fakta dan 'membongkar' dokumen. Sekarang dia 
lebih banyak 'bergaul' dengan buku dan mahasiswa pascasarjana di Universitas 
Columbia, New York, Amerika Serikat. Sejak 26 Desember 2006, dia diangkat 
menjadi Director of The Stabile Center for Investigative Journalism di kampus 
tersebut. Dia pun sudah bergelar Professor of Professional Practice. Saya 
pertama kali bertemu Sheila di Malaysia ketika mengikuti 'course on advantage 
reporting' yang diadakan SEAPA, 18-20 Juli 2002. 

      Ketika itu, dia masih amat bersemangat memberikan materi tentang 
'investigative reporting' kepada puluhan jurnalis dari Asia Tenggara. 
Menurutnya, ketika itu, bukan sebuah karya jurnalistik 'investigative 
reporting' bila jurnalis tidak mengungkap fakta yang disembunyikan atau 
'membongkar' dokumen dan hasilnya bisa mengubah pandangan masyarakat, misalnya 
yang benar adalah A, bukan B seperti yang selama ini umum diketahui. Dan yang 
lebih penting adalah, liputan itu mempunyai dampak atau pengaruh yang lebih 
baik bagi masyakarat.

      Begitulah Sheila. Ketika bertemu kembali Jumat, dua pekan lalu, di tempat 
kerjanya 604F, sebuah ruangan yang tak begitu luas di kampus Univeristas 
Columbia, dia tampak sedikit lebih tua, tapi tetap semangat menerima saya dan 
jurnalis dari TV One, Metro TV, serta Batam News. Sheila kembali bercerita 
tentang 'investigative journalism', tapi lebih banyak di ranah akademik, dan 
masalah etika yang sering diabaikan jurnalis. Dia juga mengenang ketika 
beberapa tahun lalu ke Makassar. Masih kuat dalam ingatannya, pisang epe di 
sepanjang Pantai Losari, dan nikmatnya makan ikan bakar di Makassar. 

      Sheila memulai karir jurnalistiknya sebagai reporter di Philipine 
Panorama pada tahun 1982, sebuah majalah yang punya banyak pembaca. Dia juga 
pernah bergabung sebagai reporter politik di Manila Times, dan menulis dengan 
sangat baik untuk The Manila Chronicle. Sheila juga pernah menjadi 'stringer' 
untuk The New York Times di Amerika dan The Guardian di Inggris. Di bidang 
akademik, Sheila lulus strata 1 di bidang ilmu politik di Univeritas Filipina 
dan masternya tentang sosiologi politik di London School of Economics.

      Sepanjang perjalanannya sebagai jurnalis, Sheila telah menghasilkan 
banyak liputan-liputan investigasi, termasuk pelanggaran hak asasi manusia di 
Filipina. Baik itu ketika secara politik pemerintahan Ferdinand Marcos 
kehilangan kekuatan, maupun di masa pemilihan pemerintahan Corazon Aquino. 
Dalam pemerintahan Aquino, Sheila menulis sedikitnya tujuh laporan investigasi 
tentang upaya kudeta. Tulisannya tidak hanya tentang kudeta, korupsi, dan 
militer, tapi juga tentang rakyat yang miskin sementara penguasa bisa 
berfoya-foya. 

      Misalnya tentang istri Ferdinand, Imelda Marcos yang punya begitu banyak 
koleksi sepatu dan perhiasan. Juga tentang yayasan milik keluarga Marcos, yang 
ketika itu, Imelda memberikan 10 juta peso per tahun kepada yayasan, lantas 
dari mana uang sebanyak itu?
      Pada tahun 1989, bersama beberapa temannya, Sheila mendirikan Philippine 
Center for Investigative Journalism (PCIJ). Organisasi ini banyak memberikan 
pelatihan kepada jurnalis di Filipina, bahkan di Asia, tentang keterampilan 
melakukan pelaporan investigasi dan penulisan mendalam. Di masa kepemimpinan 
Sheila, PCIJ berkembang pesat memberikan pelatihan-pelatihan investigasi, 
termasuk yang bekerjasama dengan SEAPA, yang memberikan pelatihan kepada 
wartawan di Malaysia itu. Sheila makin dikenal karena menjadi editor dan 
menulis banyak buku tentang 'investigative reporting'. Dia pun mendapatkan 
banyak penghargaan, salah satunya adalah Magsaysay Award for Journalism, 
Literature, and The Creative Communication Arts, pada tahun 2003. Kini Sheila 
juga tercatat sebagai Board of Directors pada The Center for Public Integrity, 
sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mendedikasikan diri untuk pembuatan 
laporan-laporan investigasi, yang berkantor di Washington DC. 

      Menurut Sheila, bagi seorang jurnalis, harus selalu peka terhadap sebuah 
laporan yang kelihatannya terlalu sempurna atau benar atau 'too good to be 
true'. Karena, kata Sheila, tidak ada yang sempurna di dunia ini, pasti ada 
kekurangannya. Maka, kalau ada laporan peristiwa atau dokumen laporan keuangan 
yang terlalu rapi atau sempurna, tanpa cacat, maka sebagai jurnalis mestinya 
harus peka dan berpikir skeptis. ''Lihat dokumen per dokumen, siapa di belakang 
pembuat dokumen, lihat apa yang ada dalam dokumen. Ini memang butuh waktu yang 
lama dan juga biaya yang besar,'' kata Sheila. 

      Bagi Sheila, dalam melakukan liputan investigasi, soal etika menjadi hal 
yang utama. Dua hal yang sering diabaikan jurnalis adalah soal cara mendapatkan 
informasi dan yang kedua soal proses mendapatkan informasi. Menurutnya, seorang 
jurnalis tidak boleh membeli informasi atau membayar sumber informasi atau 
berita. Sebab, bila ini dilakukan dan diketahui oleh masyarakat, maka 
kredibilitas jurnalis dan medianya akan diragukan. Bukan tidak mungkin nara 
sumber itu tidak memberikan informasi yang akurat atau benar, karena didasari 
atas keinginan mendapatkan uang. Tapi, kalau data atau informasinya benar, maka 
sesungguhnya bila dia menginginkan uang, maka akan lebih banyak bisa dia 
dapatkan bila ditawari untuk membuat buku atau film dari informasi yang 
dimiliki. ''Jadi tidak boleh membeli atau membayar narasumber,'' tegas Sheila.

      Hal yang kedua adalah soal proses mendapatkan informasi. Menurut Sheila, 
dia tidak sependapat bila jurnalis mendapatkan informasi dengan 
sembunyi-sembunyi atau tidak mengaku sebagai jurnalis. Baginya, jurnalis tidak 
boleh merekam atau mengambil gambar nara sumber dengan sembunyi-sembunyi 
(hidden camera), seperti yang kini banyak dilakukan jurnalis. Pada saat 
wawancara, lanjutnya, kita harus mengaku sebagai wartawan dan meminta izin 
untuk melakukan rekaman. '' Tapi ini dalam keadaan normal, kecuali kalau ada 
hal-hal yang memang sangat terpaksa, tak ada jalan lain dan demi kepentingan 
umum atau masyarakat,'' tambah Sheila.

      Soal membeli informasi atau data, juga ditentang Gene P. Mater, konsultan 
media Freedom Forum, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang 
kebebasan pers dan kebebasan berbicara. Menurut mantan wartawan beberapa media 
cetak dan elektronik di Amerika ini, membeli atau membayar sumber berita 
melanggar kode etik. ''Juga karena akan membuat orang akan terbiasa dengan 
menjual informasi, dan ini bisa membuat mereka mengarang-ngarang cerita.'' kata 
Mater ketika ditemui di Newseum, Washington DC. Freedom Forum menjadi pengelola 
Newseum, tempat pameran media yang sangat canggih Amerika. 

      Hal sama dikemukakan Bill Buzenber, Direktur Eksekutif Center for Public 
Integrity. Di tempatnya, yang mempekerjakan beberapa jurnalis investigator, 
pelanggaran etika tidak dapat ditolerir. Pernah ada jurnalis yang dikeluarkan, 
karena pelanggaran etika. Bagi dia, jurnalis investigator memang harus mencari 
dan mengungkap fakta yang disembunyikan, tidak dengan membeli atau membayar 
narasumber. Memang LSM yang didirikan tahun 1990 di Washington itu, senantiasa 
menjada integritas jurnalisnya dengan memperhatikan masalah-masalah etika. 
Hasilnya, kata Buzenber, dapat dilihat dari banyaknya buku yang mereka 
terbitkan, tentang 'investigative reporting' masalah-masalah publik, di antara 
korupsi dan tentang tanggungjawab pemerintah. 
      (***)  


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke