MEMPERJUANGKAN RUANG PEREMPUAN dalam PERKAWINAN

oleh : Ayu Ratih*


"Marriage as a long conversation. When marrying, one should ask oneself this
question: Do you believe that you will be able to converse well with this
woman into your old age? Everything else in marriage is transitory, but the
most time during the association belongs to conversation." Friedrich
Nietzsche


Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang
upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Kegiatan yang
dibayangkan, bahkan dipercayai, sebagai perwujudan ideal hubungan cinta
antara dua individu belaka telah menjadi urusan banyak orang atau institusi,
mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai negara. Orang
bisa tidak punya pandangan sendiri tentang soal-soal politik atau ekonomi,
tetapi hampir dapat dipastikan ia berani ungkapkan pendapatnya tentang
perkawinan, sekaligus menilai apakah sebuah perkawinan pantas dilaksanakan
atau tidak. Namun, pandangan pribadi ini pada saatnya akan terpangkas oleh
batas-batas yang ditetapkan keluarga, masyarakat, maupun ajaran agama dan
hukum negara sehingga niat tulus menjalin ikatan hati, membangun kedirian
masing-masing dalam ruang bersama, tak pelak lagi tersendat, atau seringkali
terkalahkan.

Kamus pun sebagai buku acuan publik yang paling sederhana tak lepas dari
kepungan wacana dominan, sambil berusaha memberi tempat pada beragam praktek
perkawinan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer, misalnya, mencantumkan 3 padanan kata untuk "kawin", yaitu
"menikah, bersetubuh (dalam ragam cakapan), berkelamin (untuk hewan)", yang
diikuti dengan deretan istilah kawin, mulai dari "kawin acak" sampai "kawin
suntik". Sedangkan definisi perkawinan sendiri ditegaskan kemudian melalui
kata "nikah", yaitu "perjanjian resmi antara pria dan wanita untuk membentuk
keluarga". Dalam kamus bahasa Inggris "marriage" [perkawinan] ditegaskan
sebagai: "the union of a man and woman by a ceremony in law" [persatuan
seorang laki-laki dan perempuan melalui sebuah upacara menurut hukum] dan
"the state of being so united" [keadaan sedemikian bersatunya].

Walaupun dalam kenyataannya ada berbagai praktek perkawinan sepanjang
sejarah berbagai komunitas, gagasan tentang perkawinan yang terpelihara kuat
justru bertumpu pada kepercayaan bahwa tugas utama manusia adalah
berkembangbiak demi kelestarian umat manusia secara umum. Tugas ini kemudian
dilembagakan melalui peresmian hubungan laki-laki dan perempuan oleh
institusi agama dan negara untuk mendirikan keluarga. Lebih jauh lagi, demi
keteraturan sistem pewarisan dan keamanan kekayaan keluarga menurut garis
ayah dari generasi ke generasi, makna keluarga pun semakin dipersempit
menjadi pembentukan keluarga batih dengan laki-laki sebagai pemimpinnya.
Gagasan dominan tentang perkawinan dan keluarga ini kemudian melahirkan
kaidah-kaidah keramat yang mencegah orang punya bayangan lain tentang bentuk
perhubungan akrab antar manusia. Dan, aturan main itu menyiratkan paradoks.
Di satu sisi, perkawinan dianggap sebagai satu tahapan memanusia yang
melambangkan kedewasaan dan kewarasan. Di lain sisi, tugas-tugas yang
dibebankan ke lembaga ini seringkali demikian menjerat sehingga mengancam
kewarasan dan kedewasaan individu-individu yang terlibat di dalamnya. Lebih
jauh lagi, tumbuh di tengah masyarakat yang mengunggulkan laki-laki sebagai
pemimpin kehidupan, kaidah-kaidah perkawinan secara khusus dipakai untuk
mengendalikan gerak perempuan. Dua pokok perkara yang akan disoroti dalam
tulisan ini: pertama, dengan penunjukan laki-laki sebagai pencari nafkah
utama dan perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga terjadilah
pembagian ruang bergerak yang membuat perempuan terperangkap di rumah untuk
waktu tak terbatas; kedua, segregasi ruang secara seksual ini berpengaruh
terhadap pola komunikasi antara suami-istri dan cara pandang terhadap
hubungan antar manusia pada umumnya.

Bertahan sambil Memperluas Ruang Gerak

Begitu perempuan masuk dalam lembaga perkawinan deretan pekerjaan yang
berjudul "melahirkan, mengurus anak, suami dan rumah tangga" sudah menanti.
Jenis pekerjaan yang terkandung dalam kata "mengurus" bisa bervariasi,
tergantung dari jumlah pembantu yang disewa oleh sebuah rumah tangga. Tetapi
pada pokoknya tugas-tugas tersebut akan mengikat badan, hati dan pikiran
perempuan ke rumah sejak ia bangun pagi hingga malam hari, bahkan mungkin
menerobos mimpinya pula. Walaupun sebagian kerja fisik, seperti berbelanja,
membersihkan rumah, atau memasak kebanyakan didelegasikan ke pembantu,
tujuan akhir seluruh pekerjaan ini, yaitu menciptakan suasana rumah tangga
yang tenang, tentram dan penuh cinta kasih demi kesehatan fisik dan mental
suami, menuntut kesigapan dan kesiagaan istri sepanjang waktu. Semua
berlangsung teratur dengan asumsi beginilah seharusnya kehidupan berkeluarga
yang normal dan alamiah.

Keteraturan ini pada saatnya mencapai titik jenuh. Dengan tanggung jawab
sebagai perawat kesejahteraan keluarga, pengalaman dan pengetahuan
kebanyakan istri terbatas pada masalah kerumahtanggaan dan keluarga. Maka,
muncullah stereotip bahwa perempuan gemar bergunjing, hanya peduli soal-soal
"kecil", dan yang paling telak, tidak rasional. Sang suami yang sudah lelah
seharian mengurus soal-soal "besar" tak tertarik pada cerita tentang tukang
sayur yang menipu, suami tetangga main gila, atau anak ketahuan menyontek.
Ia pilih bergunjing dengan kawanannya atau bercengkerama dengan perempuan
yang lebih "berpengalaman". Memang kadangkala karena desakan kebutuhan
ekonomi istri diperbolehkan bekerja di luar rumah. Tapi ini tidak
membebaskannya dari kewajiban yang utama. Selain itu, kalau sampai terjadi
ketidakberesan di rumah, kesalahan ditimpakan pada sang istri.

Banyak perempuan yang merasa tersiksa dengan pembatasan peran mereka. Namun,
kebanyakan istri mencoba menyelami makna pelayanan dan melacak kiat hidup
berumahtangga, apakah itu dari ibunya, konsultan pernikahan di media massa,
atau pendakwah berbagai agama yang semakin mereproduksi gagasan konservatif
tentang perkawinan dan keluarga. Perempuan tidak selalu punya tempat
berlari. Perceraian tidak selalu dilihat sebagai pilihan terbaik, apalagi
kalau suami tidak melakukan kesalahan fatal, seperti menyeleweng atau main
pukul, dan mereka secara finansial tergantung pada suami.

Ulasan di bawah ini menggambarkan upaya beberapa perempuan memperluas ruang
geraknya dan memberi makna berbeda pada perkawinan mereka. Awalnya mereka
adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah dan merasa bahwa
kehidupan perkawinan mereka baik-baik saja. Namun, seiring dengan perubahan
politik di negeri ini, mereka terlibat dalam kegiatan sosial sejumlah
organisasi kemanusiaan dan mulai mengalami hambatan bergerak dari para suami
mereka. Para suami ini melihat bahwa kegiatan mereka di luar rumah tidak
berguna bagi keluarga terutama karena kegiatan itu tidak menghasilkan uang
dan membuat para istri "berani melawan suami". Suami merasa perlu
menertibkan tingkah laku si istri dengan menetapkan berbagai aturan yang
mengubah rumah menjadi penjara, seperti digambarkan dalam cerita berikut ini
:

"Aku boleh pergi setelah dia berangkat ke kantor. Tapi jam 4 sore, aku harus
ada di rumah. Setelah suamiku pulang, aku temani dia makan malam dan
dengarkan dia bicara. Kalau aku coba ceritakan pengalamanku hari itu, atau
share pikiranku, dia tidak dengarkan, dan pergi begitu saja, nonton tivi.
Kalau sudah malam, bahkan untuk telpon atau terima telpon dari temanku
seorganisasi sulit."

Ketika 'jam malam' dilanggar, muncul keributan-keributan kecil yang
berbuntut penutupan akses ke fasilitas yang memungkinkan sang istri
berhubungan dengan dunia luar:

"Gara-gara dia marah aku sering ke kantor organisasi, aku ngga boleh keluar
lagi. HPku diambil dan diumpetin. Padahal aku beli HP itu dari hasil
menabung honorariumku yang tidak banyak jumlahnya."

"Sebelum aku ada masalah dengan dia, uang semua dikasih ke aku dan aku yang
mengelola. Tapi setelah aku pergi seminggu ikut training di Jogja, uang ngga
lagi dikasih ke aku. Aku ngga tahu lagi soal uang, dan pernah suatu kali aku
 ngga punya uang sama sekali."

Keberanian istri untuk mengajukan pendapat, berdebat, atau sekedar
mempertahankan posisi rupanya menimbulkan rasa terancam di pihak suami dan
mereka berbalik mengancam:

Kalau dia lagi waras, aku ceritain apa yang aku lakukan di luar rumah. Tapi,
kalau warasnya hilang, ditanya lagi walaupun sudah diceritain berkali-kali.
"Ngapain aja sih loe? Kok bisa sampai malam begini". Aku pikir satu soalnya:
ngga ada uangnya. "Loe itu ngapain ngabisin waktu. Loe juga susah, dan duit
loe juga ngga banyak. Hasilnya cuma berani ngelawan, protes sama suami.
Kalau kerja itu ada uangnya, loe kejer, boleh". "Kalau kamu masih tetap
ngelawan begitu, kamu ngga boleh keluar. Kamu ngga boleh ke organisasimu.
Kamu harus keluar dari organisasi itu, kalau ngga kita cerai aja".

Suamiku juga bilang, "Aku bisa gerakin kawan-kawanku. Aku bisa hadapkan
mereka dengan perempuan-perempuan. Gampanglah yang kayak begitu. Apalagi
kita semua juga sebel sama aktifis-aktifis". Sikap polisional yang dilakukan
suami didasari oleh kecemasan akan perubahan, bukan hanya dalam diri si
istri, tetapi juga dalam tatanan rumah. Ada rasa terganggu dengan munculnya
ketegangan di rumah. Bagi suami rumah merupakan suaka dari dunia yang tidak
bersahabat. Ia harapkan kenyamanan dan kehangatan, sedangkan bagi istri
rumah sudah menjadi penjara. Mereka berbagi ruang yang sama, namun
sebetulnya belum tentu mereka berbagi makna yang sama atas ruang tsb. Yang
menarik, di kalangan istri tercetus keinginan memiliki ruang pribadi di
dalam rumah:

Hal yang termewah itu! Kalau bisa punya ruangan sendiri dan orang lain ngga
boleh masuk, aduh enak sekali. Mereka kan menganggap apa pun sama-sama kalau
sudah suami istri. Misalnya aku sedang jengkel sama dia, aku di dalam kamar
kunci pintu saja dia marah kok. "Kamu ngapain sih di kamar? Tuh lihatin tuh
anakmu!" Terus aja pintu diketok-ketok, pokoknya ngga dibiarkan aku untuk
sendiri. Kalau aku sampai punya ruangan sendiri, wah bisa ribut. Pasti itu.
Perubahan-perubahan kecil aja marah, apalagi buat ruang sendiri.
Bayangannya, kalau kita pengen sendiri, pasti kita punya pacar, atau punya
simpenan lain. Sampai situ aja pikirannya.. Jadi, harus kelihatan gitu lho
gerak-gerik kita, kita ngapain.

Suami tidak sendirian dalam usahanya menertibkan sang istri dan
mengembalikan ketentraman rumah tangganya, tidak pula ia bebas dari tekanan.
Keluarga besar dan masyarakat akan terus-menerus mengingatkan tugasnya
sebagai "kepala keluarga" yang punya wewenang penuh mengatur tata laku sang
istri. Sementara si istri pun terombang-ambing antara keyakinan akan
hak-haknya sebagai manusia dan ketakutan berhadapan dengan gugatan keluarga
dan masyarakat: "Kadang-kadang kalau aku pulang sudah agak malam, aku mulai
deg-degan. Aduh, mudah- mudahan tetanggaku jangan ada yang keluar. Kalau ada
yang keluar, duh ngga enak ya nanti diomongin, terus suamiku denger. Jadi
aku buka pagarnya pelan-pelan. Kadang-kadang aku jahat juga, berdoa
mudah-mudahan hujan, jadi ngga ada orang di luar."

Di tengah kepungan aturan, para istri yang mulai menikmati kekayaan
pengalamannya tidak menyerah begitu saja. Mereka ambil langkah-langkah
taktis laiknya seorang narapidana yang mencoba membujuk sang sipir untuk
perjuangkan akses ke luar penjara. "Siasat" seperti ini kadangkala dianggap
gerak mundur dan mencemarkan gambaran ideal perkawinan, tapi istri tak punya
pilihan lain: "Tapi entar ya kita baik-baik, peluk-peluk dikit, lihat
situasi, biarpun di dalam sini rasanya sudah muak gitu ya, tapi aku butuh
untuk keluar, untuk eksistensi aku, kan? Yah, ada permainan yang
gitu-gitulah. Karena pikirannya cuma terbatas di situ-situ aja: seks dan
uang. Kalau kita seksnya baik, boleh keluar. Kalau kita keluar ada uangnya,
ok. Jadi standar aja. Kasihan sebetulnya cuma punya pikiran segitu. Tapi
mereka ngga mau sih ada perubahan."

Mencari Makna Baru Perkawinan

Para istri sebenarnya tidak menikmati 'permainan' narapidana dan sipir
penjara ini karena mereka tetap berharap bahwa perkawinan seharusnya
dilandasi cinta dan kepercayaan. Mereka mulai mencoba berbagai cara untuk
mendesakkan gagasan-gagasan yang lebih maju dalam rumah tangga mereka. Dan,
lambat laun mereka menyadari bahwa bagi mereka yang terpenting bukan sekedar
memperoleh kebebasan pribadi, tetapi lebih jauh lagi menumbuhkan kesadaran
akan kesetaraan hubungan suami-istri dan kedirian sebagai manusia:

Dia bersikap begitu lebih karena tuntutan keluarga dan masyarakat. Aku
berusaha ngomong ke dia, "Kamu itu kerja jangan hanya karena tuntutan
masyarakat, karena kamu merasa kepala keluarga, tapi kamu sebagai manusia
yang harus punya eksistensi". Itu dia ngga bisa terima. "Saya tetap kepala
keluarga". Padahal aku sudah bilang, "Kalau kamu tetap dengan pikiran
seperti itu, beban kamu berat sekali". Kita berstrategi. Kalau mukanya lagi
dilipet tujuh, ya kita baik-baik, sambil masukin pelan-pelan ide-ide baru.
Terus ada lagi nih, misalnya kita muncul di majalah atau di koran, sengaja
ditunjukin biar dia baca. Ada juga tuh buku-buku tentang gender atau hasil
pelatihan dari mana gitu, kita geletakin aja di atas meja. Ya, kadang
dibaca, kadang engga. Tapi nanti kita ajakin ngomong-ngomong soal itu, ya
cape sih sebenernya.

Dalam usahanya menghadapi gugatan suami terhadap pekerjaan yang tidak
menghasilkan uang, para istri ini kemudian mencoba memberi makna pada
kegiatan mereka. Mereka melihat arti penting solidaritas dan mendorong suami
untuk tidak memikirkan pemenuhan kebutuhan pribadi semata: "Aku kan waktu
itu seneng baca buku Tan Malaka. Aku geletakin, dia mulai baca dan dia
selesaikan 3 jilid. Kita jadi sering ngobrol soal Tan Malaka. Dan dia jadi
berubah, lebih care sama lingkungan. Tadinya dia tuh ngga mau bantu-bantuin
orang. Tapi kayak kemarin tuh ada korban banjir, dia sendiri yang udah mulai
buka posko-posko."

Membandingkan dengan pengalamannya bekerja di organisasi kemanusiaan, para
istri ini melihat bahwa dalam kesehariannya suami mereka tidak banyak
melakukan kegiatan yang menyenangkan dan terlalu berarti untuk pengembangan
intelektual dirinya. Mereka bekerja lebih banyak sebagai kewajiban. Ketika
pengetahuan dan pengalaman istri bertambah, dan mereka begitu menikmatinya,
mereka berharap agar sang suami pun akan tertarik untuk mengimbanginya,
bukannya merasa terancam. Mereka sangat menekankan keinginan untuk bisa
berhubungan dan "berbicara seperti teman" dengan suami mereka.

Ada dua hal yang tampaknya membuat para istri ini bersikukuh dengan posisi
mereka. Pertama, mereka melihat bahwa dalam kesehariannya para suami
sebenarnya tidak mengerjakan hal-hal yang terlalu berarti untuk pengembangan
dirinya sebagai manusia. Setelah usai bekerja, sehari-hari mereka hanya
duduk-duduk nonton televisi, main computer game, dan menjadi polisi rumah
tangga. Ketika mereka menyadari bahwa pengetahuan politik dan intelektual
para istri berkembang, mereka merasa tertinggal dan mulai mencegah gerak
kemajuan ini dengan menghindari percakapan yang akan menunjukkan
ketidaktahuan mereka. Hampir semua istri mengatakan bahwa ketika mereka
berhenti mendebat, kemarahan suami mereda.

Kedua, para istri juga melihat ada kontradiksi antara kekhawatiran para
suami akan pandangan keluarga dan masyarakat dengan ketidakpedulian para
suami terhadap masalah keluarga dan kemasyarakatan. Para suami keberatan
menangani pekerjaan mengurus anak dan rumah tangga dan menganggap kegiatan
istri dalam organisasi sosial sebagai pekerjaan yang sia-sia. Kalaupun para
suami akhirnya bersedia menangani pekerjaan rumah tangga dan mengijinkan
istri berkegiatan di luar rumah, mereka memperhitungkannya sebagai pemberian
kredit budi baik yang setiap saat bisa dituntut pengembaliannya.

Membayangkan Kebersamaan yang Berbeda

Pengalaman para istri berbenturan dengan batas-batas tradisional perkawinan
dengan sendirinya menimbulkan pikiran untuk melepaskan diri dari lembaga
tsb. Namun, bagi mereka perceraian bukan pilihan yang menjanjikan juga.
Kenyataan bahwa mereka mempunyai sejumlah anak dan secara ekonomi tergantung
pada suami membuat mereka berpikir ulang untuk mengambil langkah ini. Mereka
juga mengkhawatirkan bahwa perceraian akan memisahkan mereka dari anak-anak,
padahal mereka meragukan kemampuan para suami mendidik anak-anak dengan
nilai-nilai yang lebih demokratis dan manusiawi. Selain itu, ada ketakutan
bahwa kecaman dari keluarga besar dan masyarakat akan dilekatkan ke anak dan
berpengaruh pada perkembangan kemandirian anak itu sendiri, terutama anak
perempuan.

Keterlibatan mereka dalam organisasi yang menekankan kebersamaan dan
kesetaraan ternyata menumbuhkan bayangan yang berbeda tentang perkawinan pun
keluarga. Sekali lagi yang jadi idaman mereka bukanlah kebebasan pribadi
semata, melainkan kedirian sebagai manusia dalam ruang gerak yang disepakati
bersama. Selain itu, keprihatinan mereka terhadap nasib perempuan yang
terhimpit oleh kesulitan ekonomi dan tekanan suami mendorong mereka untuk
membangun kekuatan ekonomi bersama sambil membuka ruang perempuan yang lebih
leluasa, seperti yang digambarkan ibu di bawah ini:

"Setelah banjir, aku mulai buka catering sama temen-temen perempuan di
kampungku, untuk sama-sama cari rejeki lah. Sedikit demi sedikit aku
kumpulin, dan ibu-ibu itu juga menikmati. Kalau di sana suaminya rata-rata
ngga kerja. Kita suka sharing kalau sudah selesai masak tentang para suami
kita. Ibu-ibu ini sering mengeluhkan suaminya yang tidur melulu. Tapi gimana
anak mereka sudah besar-besar masa mau ditinggalin. Ya udah dijalanin aja
idup kaya' begini. Rata-rata semua bilang begitu. Aku sedih sebenernya. Aku
ingin menyadarkan mereka tapi aku juga ngga tahu kalau mereka sadar nanti
akibatnya kaya' gimana?"

Dilema serupa ini dialami bukan saja oleh para istri yang sedang
memperjuangkan ruang yang lebih demokratis dalam perhubungan suami-istri.
Perempuan yang sudah melalui perceraian pun masih kesulitan membayangkan
bentuk perhubungan seperti apa yang akan menjamin kedirian mereka sebagai
manusia perempuan. Simak penuturan dua ibu tunggal di bawah ini:

"Makanya aku suka berkhayal dan bercanda dengan teman-teman yang tahu
posisiku. Aku mau kawin dengan laki-laki yang mau terima diriku apa adanya,
baik, kaya, ngga' punya keluarga, beri banyak kebebasan buat aku untuk
melakukan apapun aktifitas yang aku mau, dan katanya itu mustahil. . Tapi
aku bisa terima bahwa cinta atas dua orang memang tak selalu harus diakhiri
dengan sebuah perkawinan. Karena sudah banyak yang mengalami hal itu. Aku
harap, aku bisa seperti itu." "Aku kebayang kawin tapi aku ngga mau
suaminya, mau anaknya, gitu lho. Gimana caranya? Kawinin orang, tapi hanya
kepengen punya keluarga tapi ngga pengen punya suami. Itu yang menarik.
Jadi, punya anak banyak, dekat dengan ibu, kakak, adik, tapi ngga harus
lengkap ada suami, istri, anak. Mungkin bukan kawinnya, ya. Pokoknya bisa
merasa nyaman di dalamnya."

Bayangan para perempuan ini sebenarnya bukan angan-angan belaka. Ada banyak
contoh kasus yang menunjukkan bahwa ketika laki-laki bersedia menjalankan
tugas-tugas rumah tangga, pertalian suami-istri justru memperkaya kemampuan
masing-masing individu yang berada di dalamnya. Lebih jauh lagi, perlu
dipertimbangkan beberapa pengalaman membangun keluarga yang lepas dari ide
atomisasi keluarga batih dan ketergantungan pada figur bapak sebagai kepala
keluarga. Apa pun pilihannya, usaha memperluas ruang perempuan dalam
perkawinan tidak bisa dipisahkan dari desakan terhadap laki-laki untuk
bersikap lebih fleksibel terhadap lembaga perkawinan dan keluarga itu
sendiri. Mereka menilai bahwa kalau memang pendapat masyarakat begitu
penting, seharusnya para suami tidak terlalu terobsesi dengan kesempurnaan
keluarganya sendiri, tetapi juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial
yang bermanfaat bagi masyarakat.

Penutup

Laiknya praktek-praktek kebudayaan lain, perkawinan sudah menjadi medan
pertarungan gagasan. Perkawinan, di luar makna persetubuhan itu sendiri,
tidak seperti lazim dipahami orang, bukanlah sesuatu yang biologis atau
alamiah, dan terbuka untuk dimaknai siapa pun. Masalahnya memang reproduksi
gagasan dominan tentang perkawinan dan kaitannya dengan pembentukan keluarga
begitu intensif dan menyeluruh. Ini membuat banyak pihak yang memilih untuk
larut dalam alur yang sudah jelas aturan mainnya atau menolak sama sekali
institusi yang ada dengan menciptakan ruang-ruang pribadi yang terjaga
kenyamanannya secara sosial dan ekonomi. Persoalan berikutnya, tidak semua
orang, terutama perempuan, berada dalam posisi sosial dan ekonomi yang
memungkinkannya untuk membuat pilihan kedua. Dalam posisi seperti ini
seringkali pilihan satu-satunya adalah terus memperjuangkan perluasan makna
dan ruang gerak bersama dengan kaumnya sambil mempersiapkan tatanan
alternatif yang bisa menjamin kediriannya sebagai manusia.

***


*Ayu Ratih menyelesaikan S2 di University of Wisconsin-Madison, USA, di
bidang Sejarah dan Perbandingan Sastra Asia Tenggara. Sehari-hari aktif di
Jaringan Kerja Budaya (JKB) dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK),
Jakarta.



Referensi:

Barret, Michèle, Women's Oppression Today: Problems in Marxist Feminist
Analysis (London: Verso, 1980)

Engels, Friedrich, The Origin of the Family, Private Property, and the State
(New York: Penguin Books, 1986)

Estés, Clarissa Pinkola, Women Who Run with the Wolves: Myths and Stories of
the Wild Woman Archetype (New York: Ballantine Books, 1992)

Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia, Peranan Keluarga
Kristiani (Jakarta: Penerbit Obor, 1994)

Mujtaba', Saifuddin, Isteri Menafkahi Keluarga? (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2001)

Schneir, Miriam, (ed.), Feminism: The Essential Historical Writings (New
York: Vintage Books, 1994)





Kirim email ke