http://www.hidayatullah.com/opini/opini/11003-menjustifikasi-kematian-teroris

Menjustifikasi Kematian “Teroris”       


        
                        
                        Wednesday, 10 March 2010 10:18          
                
                
                

                
                                                                
                        
                        
                                                
        
        




Amerika bisa menangkap Hambali dan Umar Al Faruq tanpa harus menewaskan mereka. 
Mengapa di tempat kita selalu mati?Oleh: Heru Susetyo*



Ada
fenomena aneh di balik kisah sukses Detasemen Khusus 88 membekuk para
"teroris" dua bulan terakhir ini. Yaitu, hampir semua"teroris"-nya mati
tertembak ataupun terbunuh dengan cara lain. Pasca peledakan hotel J.W.
Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17 Juli 2009, tak kurang dari
sembilan"teroris" yang dianggap berperan langsung dan tidak langsung
telah terbunuh.

Ibrohim, florist hotel Ritz Carlton
terbunuh pada 8 Agustus 2009 di Temanggung, dalam drama pengepungan
yang diliput banyak media massa. Pada hari yang sama Air Setiawan dan
Eko Sarjono juga ditembak hingga tewas di Bekasi. Pada 16 September
2009, masih di bulan Ramadhan, empat ‘teroris’ termasuk buruan nomor
wahid, Noordin M. Top, terbunuh dalam drama baku tembak di Solo.
Kemudian, yang masih gres, dua buronan utama, kakak beradik
Syaifuddin Zuhri dan Mohammad Syahrir, menjemput ajal di ujung senapan
Densus 88 di Ciputat. Persis menjelang shalat Jum’at 9 Oktober 2009.

Banyak
pihak mengacungkan jempol terhadap ‘prestasi’ Densus 88. Memang, dari
sisi produktivitas pemburuan "teroris", Densus 88 amat sangat
produktif. Sembilan buron tewas hanya dalam kurun waktu dua bulan.
Buronan nomor wahid pula.

Permasalahannya adalah, haruskah
mereka dibunuh? Layakkah mereka dibunuh? Tak ada cara lainkah untuk
mengakhiri perburuan dan mengungkap misteri terorisme ini selain dengan
pembunuhan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertanyaan
yang lebih mendasar adalah, benarkah mereka yang terbunuh itu
benar-benar "teroris"? Kalaupun benar "teroris" apakah mereka memang
harus dibunuh? 

Tanpa berpretensi untuk membela terorisme,
sistem peradilan pidana Indonesia, dan juga hampir semua sistem
peradilan di negara yang sehat demokrasinya, dan tegak rule of law-nya, 
memegang teguh asas ‘presumption of innocence’ alias ‘praduga tak bersalah.

Seseorang
bisa jadi mencurigakan, bisa jadi tertangkap basah, bisa jadi memiliki
ciri dan identitas yang cocok dengan pelaku kejahatan tertentu, ataupun
menjadi buron karena alat-alat bukti dan saksi mengarah padanya, namun
tetap saja ia tak dapat disebut sebagai bersalah sebelum pengadilan
menyidanginya dan hakim menyatakan bersalah dan kemudian menghukumnya.
Dan ini pun belum akhir perjalanan. Sang terhukum masih berpeluang
mengajukan banding ke pengadilan tinggi, Kasasi dan Pengajuan Kembali
ke Mahkamah Agung, hingga permohonan grasi ke Presiden.

Tidak
semua saksi adalah tersangka. Tidak semua tersangka kemudian berkembang
menjadi terdakwa. Tidak semua terdakwa menjadi terpidana. Dan tidak
semua terpidana benar-benar menjalani hukuman sesuai yang dijatuhkan.
Termasuk, tidak semua terpidana benar-benar melakukan tindak pidana
yang dituduhkan terhadapnya. Banyak kasus salah tangkap, salah tahan,
salah mendakwa, bahkan sampai salah menghukum.

Kendati demikian,
proses peradilan harus dihormati. Karena di forum tersebutlah alat-alat
bukti dan saksi diuji dan dipertukarkan keterangannya. Di majelis yang
mulia itulah informasi dan keterangan terdakwa, saksi maupun korban dan
ahli diperdengarkan.

Apabila para"teroris" telah menjemput
ajalnya, instrumen dan media seperti apa yang dapat membuktikan bahwa
mereka benar-benar "teroris"? Apalagi definisi tentang terorisme
sendiri begitu banyak dan sangat bias. Ditingkahi pula oleh
Undang-Undang Anti Teroris yang menyimpangi asas keadilan, utamanya
dalam penangkapan dan proses penahanan yang berlangsung di luar
kelaziman dalam hukum acara pidana dan nyata-nyata melanggar HAM.

Kalaupun
benar mereka adalah teroris, maka pengadilan pun bisa mengungkap lebih
jauh tentang motif, tujuan, peta jaringan, peran yang dimainkan, hingga
unsur kesalahan masing-masing individu. Hukuman dapat dijatuhkan sesuai
dengan peran dan derajat kesalahan serta tanggungjawab yang diemban
setiap individu. Tentunya, hukuman untuk mastermind amat
berbeda dengan mereka yang hanya ikut-ikutan. Hukuman bagi perencana,
pemberi order, ataupun pelaku utama amat berbeda dengan mereka yang
terseret karena keliru memilih teman dan berada di tempat dan waktu
yang salah. Palu hakim masih memberikan beberapa pilihan. Sangat
berbeda dengan laras senapan senapan polisi yang seringkali tanpa
kompromi dan tak pula bertelinga.

Publik pun mengakui hal ini.
Jasad dari Dani Dwi Permana dan Nana Ikhwan Maulana, keduanya dituding
sebagai pelaku pemboman di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada 17
Juli 2009, tak ditolak warga untuk dimakamkan di daerah tempat
tinggalnya, karena beranggapan mereka hanyalah korban indoktrinasi dan
bukannya perencana utama. Amat berbeda dengan reaksi warga setempat
yang menolak pemakaman para ‘senior’ mereka di kediamannya
masing-masing.

Mengapa Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas, dan Ali
Imron dapat tertangkap tanpa harus terbunuh? Mengapa dua buronan besar
seperti Hambali (tertangkap di Ayutthaya Thailand tahun 2003) dan Umar
Al Faruq (tertangkap di Bogor tahun 2002) dapat diciduk oleh pasukan
Amerika Serikat dan Indonesia tanpa harus membunuh mereka?

Dalam kasus lain, dua pemimpin Serbia dan jagal perang Balkan (1992–1996) yang 
bertanggungjawab atas genocide dan crime against humanity di
Bosnia, Serbia dan Croatia, masing-masing adalah Slobodan Milosevic dan
Radovan Karadzic, dapat ditangkap kemudian diadili pengadilan khusus di
The Hague tanpa harus membunuh mereka. Ketika divonis pun,
Milosevic ‘hanya’ mendapatkan hukuman seumur hidup, bukannya hukuman
mati. Ia sendiri yang menjemput ajal di penjara karena sakit. Bukan
atas peran fire squad, lethal injection, ataupun tiang gantungan.

Timothy
McVeigh, "teroris" berkulit putih asli Amerika yang terbukti membom
gedung federal (FBI) di Oklahoma City pada tahun 19 April 1995 dan
menewaskan 168 rakyat tak berdosa, dapat ditangkap polisi Amerika tanpa
harus membunuhnya. Padahal, ia memiliki kemampuan yang menakutkan,
karena merupakan veteran tentara yang pernah terjun di Perang Teluk.
Kendati kemudian ia dihukum mati pada tahun 2001, uniknya, banyak
keluarga korban yang justru tak rela ia dihukum mati. Mereka
mengatakan, apabila Tim Mc Veigh dihukum mati adalah sama artinya
dengan mengulang kesalahan yang sama. Yaitu kembali mengulang kejahatan
pembunuhan yang tak perlu, namun kali ini pelakunya adalah negara.

Maka,
mengapa Ibrohim, Eko Joko Sarjono, Air Setiawan, Bagus Budi Pranoto,
Hadi Susilo, Ario Sudarso, Noordin M. Top, Syaifuddin Zuhri dan
Muhammad Syahrir harus dibunuh? Tak dapatkah polisi mengulang kisah
‘sukses’penangkapan Amrozi dkk? Pengadilan terhadap Amrozi dkk, sedikit
banyak dapat mengungkap unsur pertanggungjawaban pidana setiap
tersangka, derajat keterlibatan dan kebersalahannya, peran yang
dimainkan dan seterusnya.

Anehnya, baik aparat, birokrat, maupun
masyarakat cenderung menjustifikasi kematian para "teroris" tersebut.
Tak ada reaksi luar biasa yang menentang ‘pembunuhan’ tersebut.
Seolah-olah mereka memang layak untuk ditewaskan dengan cara demikian.
Padahal, dengan tewasnya para tersangka "teroris" tersebut, maka sekian
istri telah menjadi janda, sekian anak telah menjadi anak-anak yatim,
sekian banyak orangtua tak percaya telah kehilangan anak tercintanya
yang susah payah dibesarkan sejak bayi.

Yang lebih mengerikan,
bagi keluarga, stigma sebagai "keluarga teroris"  akan menghantui
mereka seumur hidup. Bentuk hukuman sosial dari masyarakat yang tak
dapat diklarifikasi karena aktor utamanya telah tewas. Maka, sang istri
akan menyandang predikat istri teroris. Sang anak sebagai anak teroris.
Ayah dan Ibu sebagai orangtua teroris. Paman dan Bibi menyandang
predikat paman dan bibi teroris. Kampung yang didiami akan berpredikat
kampung teroris. Luka sosial yang mesti diemban seumur hidupnya tanpa
ada kemampuan membela diri.

Bila demikian halnya, tipis saja
perbedaan antara negara, masyarakat, dan Noordin M. Top dkk. Ketiganya
adalah sama-sama ‘teroris’, namun memainkan peran yang berbeda. Negara
berpotensi menjadi ‘teroris’ karena menjalankan praktik ‘state terrorism’ . 
Antara lain dengan sewenang-wenang mengangkangi proses hukum dan ‘rule of law’ 
dalam proses penangkapan dan pelumpuhan tersangka "teroris".

Masyarakat
pun berpotensi menjadi "teroris" apabila begitu saja menjatuhkan stigma
"teroris" dan menjatuhkan penghukuman sosial kepada para ‘tersangka
teroris’ dan keluarganya, tanpa ingin mengklarifikasi lebih jauh dan
memberikan kesempatan kepada "keluarga teroris" untuk membela diri dan
memperbaiki hidupnya.

*)Penulis adalah Staf Pengajar FHUI–Depok, Executive Committee World Society of 
Victimology  ps.Artikel ini pernah diterbitkan pada 20 October 2009, 
diterbitkan ulang atas kepentingan aktual



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke