Menyusuri Lorong Yang Berliku

By: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

       Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri peluncuran buku Pengembaraan 
Batin seorang santri Jawa di Lorong Kehidupan, tulisan sahabat saya Bambang 
Wiwoho, dengan kata pengantar Prof. K.H. Ali Yafie. Saya tertarik buku itu 
karena saya sering bersama beliau melalui lorong-lorong kehidupan, terkadang 
dalam satu lorong, terkadang harus berpisah karena lorongnya sempit. Kami 
berdua sama-sama murid Kyai AliYafie, yang berbeda, pak Wie,panggilan akrab Pak 
Bambang Wiwoho adalah orang Jawa santri, yang belajar agama Islam melalui 
tembang-tembang Jawa dan dari nasehat ibunya.  Sebaliknya saya meski orang Jawa 
tetapi terlebih dahulu menjadi santri,baru kemudian mengenal budaya Jawa.

       Panggung kehidupan memang memungkinkan orang berjalan di jalan raya. 
Jalan raya itu lebar,mulus dan  orang ramai melewatinya. Perjalanan di jalan 
raya kehidupan nampak terang, ada ukurannya,misalnya perjalanan seorang 
birokrat dalam menempuh karier, jelas pangkatnya, status sosialnya. Tetapi yang 
nampak itu belum tentu yang sebenarnya. Orang yang sukses dalam karier 
formal,belum tentu ia sukses dalam kehidupan. Yang dihormati dalam upacara 
belum tentu orangnya terhormat. Yang tinggi pangkatnya belum tentu tinggi 
martabatnya.Namanya juga panggung, hebat di mata penonton dalam peran yang 
dimainkan, tetapi yang sesungguhnya berperan belum tentu dia.

         Terkadang orang sumpek, tidak nyaman dan bahkan muak berjalan di jalan 
raya karena terlalu banyak sampah dan  polusi udara ,maka ada orang yang 
memilih jalan alternatip. Jalan alternatip biasanya melingkar lebih jauh dan 
sempit. Begitupun jalan kehidupan, ada loringnya. Ada lorong politik,lorong 
ekonomi, lorong budaya,lorong seni, lorong spiritual dan sebagainya.

Lorong Yang Berliku

        Manusia memiliki tabiat kerjasama dan bersaing sekaligus. Ada yang 
bersaing secara fair,ada juga yang tidak fair. Persaingan politik cenderung 
tidak fair, karena politik lebih dekat ke syahwat dibanding nurani,bahkan meski 
partainya sudah dinamakan partai nurani. Secara teori , politik itu 
netral,tidak mesti kotor.  Jika anda studi di Internasional Islamic University 
Malaysia (IIUM), jika anda ambil mayor program teologi (ilmu ushuluddin) , maka 
program minor yang harus anda ambil adalah ilmu politik (`ilm assiyasah). Jadi 
politik ada dibawah payung ilmu ketuhanan. Alur pikirnya adalah sebagai 
berikut. Politik adalah kendaraan untukmencapai kekuasaan, sementara pemilik 
kekuasaan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka bagaimana politisi berkuasa harus 
meniru cara Tuhan berkuasa, takhallaqu bi akhlaqillah, kata ilmu tasauf. Disatu 
sisi Tuhan adalah Maha Kuasa yang kekuasaan Nya tak terbatas, tetapi di sisi 
yang lain, Tuhan itu Maha Pengasih
 lagi Maha Penyayang. Nah menejemen kontrolnya adalah sifat adil,dan Tuhan 
adalah Maha Adil. Jadi seorang penguasa yang benar adalah yang menggunakan 
kekuasaanya untuk menyebarkan kasih sayang kepada rakyat dengan seadil-adilnya. 
Problemnya, kekuasaan cenderung korup, bertindak adil bagi penguasa juga sangat 
berat karena sering harus berperang dengan kepentingan sendiri (konflik 
interest)

        Dalam usia 19 tahun saya menjabat sebagai sekretaruis Partai NU tingkat 
kecamatan, pada tahun 1965.Pemahaman saya pada politik dalam usia muda dan pada 
masa tahun itu masih sangat bias. Pasca G.30 S, dunia politik saya tinggalkan 
untuk kemudian masuk dunia keilmuan, kuliah dan mengajar.  Setelah seluruh 
jenjang keguruan saya lalui, dari guru SD hingga guru besar,bersamaan dengan 
era reformasi saya terseret lagi ke dunia politik,menjadi pendiri hingga 
akhirnya menjadi Wakil Ketua Umum Partai The rulling party. Menjabat sebagai 
ketua partai adalah berjalan di jalan raya politik. Tujuan kebanyakan orang 
berpartai adalah menjadi anggauta parlemen atau menjadi eksekutip. Ternyata 
politik dalam praktek itu menyenangkan sekaligus menyebalkan. Mestinya politik 
itu memiliki tiga sisi, ilmu, game dan seni. Dengan ilmu politik, konstitusi, 
peraturan dan struktur organisasi jadi logis. Dengan game, politik menjadi 
meriah,kalah ataupun memang tetap
 mendapat applouse. Politik sebagai seni membuat perkelahian sekalipun indah 
ditonton dan indah dirasa. Partai saya menggariskan politikcerdas,santun,bersih 
dan demokratis. Di jalan raya politik ternyata tidak mudah untuk konsisten 
menjalankan politik cerdas,santun,bersih dan demokratis, karena sering bersaing 
dengan kepentingan jangka pendek.

          Politik itu power. Dalam dunia mesin, mesin mobil atau kapal 
misalnya,ukuran kekuatan itu diukur dengan tenaga kuda (HP). Politik itu 
fungsinya sama seperti kuda, yakni bisa mengantar orang bahkan membawa kereta 
ke tujuan tertentu. Tetapi watak kuda itu liar,oleh karena itu seorang kusir 
sado atau penunggang kuda harus memasang kacamata kuda agar power itu 
terkendali tidak liar. Politik pun tidak boleh terbuka telanjang bulat, ada 
wilayah-wilayah tertentu yang harus tertutup untuk umum. Yang menarik,orang 
Betawi menamakan kusir delman dengan nama sais. Sais adalah kata dalam bahasa 
Arab, bentuk isim fail dari kata siyasah yang artinya politik. Politisi adalah 
tak ubahnya sais yang harus pandai-pandai mengendalikan powernya. Salah kendali 
bisa disepak .

         Saya ingat ajaran empat kebenaran dari agama Budha; (1)hidup adalah 
penderitaan (2) penderitaan disebabkan karena adanya keinginan,(3) untuk 
menghilangkan penderitaan caranya dengan menghilangkan keinginan,(4) untuk 
menghilangkan keinginan caranya dengan melakukan delapan jalan, yaitu berkata 
benar, berfikir benar, berbuat benar dan seterusnya. Saya juga ingat nasehat 
Abuzar al Ghifari,bahwa barang siapa mengejar dunia ia akan kehilangan makna 
dunia,barang siapa meninggalkan dunia,ia akan menggenggam dunia, penguasaan 
dunia caranya dengan meninggalkannya, dan orang yang kehilangan makna dunia itu 
disebabkan karena mengejar-ngejarnya.

        Dari renungan di jalan raya itu menuntun  saya ke jalan alternatip, 
saya mencoba memasuki lorong-lorong politik, saya tidak mau menjadi caleg .Di 
tengah masyarakat yang mengenali saya sebagai petinggi partai politik, saya 
justeru aktip di bidang konseling keluarga, tetap disiplin mengajar di 
pascasarjana, mengakrabi bidang sosial keagamaan,dan pergaulan lintas agama. 
Disitu ternyata sarat dengan nilai-nilai politik dalam perspektip lorong. 
Lorong politik yang sempit itu terkadang saya jumpai tempat becek, bahkan 
berlumpur, tetapi ternyata di dalam lumpur bisa dijumpai mutiara,dan meski 
sudah terendam lama di kubangan lumpur, mutiara tetap mutiara, oleh karena itu 
di dalam lorong yang sempit itu juga terkadang ada ruang yang terang benderang, 
bersih dan sehat. Disitulah keindahan berpolitik dapat dirasakan, meski tidak 
nampak karena tidak diliput pers. Anda sedang menyusuri lorong apa?

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Wassalam,
agussyafii




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke