http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=147588

[ Kamis, 29 Juli 2010 ] 


Nikah Siri dan Perlindungan Negara 
Oleh Abu Rokhmad



MEMBACA berita Jawa Pos (27/7) yang berjudul Eks Istri Siri Moerdiono Gugat UU 
Perkawinan menggelitik untuk diulas lebih dalam. Berita itu menyebutkan, 
Machica Mochtar (seorang artis penyanyi yang populer pada masanya) yang telah 
menikah siri dengan Moerdiono (seorang menteri pada era pemerintahan Soeharto) 
menggugat UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. 

Materi yang dimohonkan mencakup pasal 2 (2) yang mengatur pencatatan nikah dan 
pasal 43 tentang anak di luar perkawinan yang hanya memiliki hubungan dengan 
ibunya. Dua pasal yang digugat dianggap merugikan dirinya dan bertentangan 
dengan UUD.

Pertanyaan yang segera muncul adalah bukankah Machica dan ribuan perempuan 
pelaku nikah siri sudah mengerti dan memahami risiko nikah di bawah tangan? 
Lalu, bukankah hukum sudah mengatur bahwa pernikahan harus dicatatkan dan anak 
hasil nikah siri tidak memiliki hak-hak sebagaimana anak pada umumnya, mengapa 
UU-nya yang digugat bukan pelanggar hukum (pelaku nikah siri) yang dipenjara? 
Apakah negara berkewajiban melindungi hak-hak pelaku nikah siri yang notabene 
adalah pelanggar hukum?

Catatan Nikah 

Hukum perkawinan di Indonesia masih menimbulkan problem yang pelik. Salah satu 
di antaranya adalah dualisme payung hukum perkawinan (hukum Islam dan hukum 
nasional). Sebagai bangsa dengan penduduk mayoritas memeluk Islam, positivisasi 
hukum perkawinan Islam tidak tuntas karena masih muncul pertentangan hukum di 
antara keduanya. 

Soal pencatatan nikah, misalnya, masih menjadi pro-kontra di masyarakat. Sering 
masalah nikah siri dipandang sebagai masalah fiqh biasa. Begitu banyak ulama 
yang membolehkan atau bahkan menikahkan pasangan nikah siri. Padahal, hukum 
perkawinan sudah sangat gamblang menjelaskan risiko yang bakal dihadapi. 
Berlindung di balik hukum perkawinan Islam yang membolehkan nikah siri adalah 
argumentasi yang lemah, cupet, dan tidak kontekstual.

Tidak mungkin Islam membiarkan pemeluknya berada dalam suatu ikatan yang rapuh, 
mudah patah, dan berisiko terjadi ketidakadilan. Dalam masalah utang saja 
(perdata), Alquran menyuruh umatnya untuk mencatat semua transaksi yang pernah 
dilakukan. Tujuannya, debitor maupun kreditor tidak lupa dan kalau terjadi 
sengketa gampang dibuktikan dengan alat bukti yang otentik. 

Masalah perkawinan yang berimplikasi panjang itu tidakkah cukup meyakinkan 
untuk dicatatkan kepada pihak yang berwenang. Dengan melihat implikasi dan 
risiko yang mungkin dihadapi, bukankah perkawinan justru lebih kuat illat 
(ratio legis)-nya untuk diadministrasikan secara baik (qiyas aulawi). Selama 
ini pelaku sering menganggap enteng risiko nikah siri. Mereka seolah lupa bahwa 
anak hasil perkawinan siri akan menanggung aib seumur hidup akibat kelakuan 
bapak-ibunya. Belum lagi masalah akta kelahiran, hak waris, wali nikah, dan 
seterusnya.

Pendeknya, dari perkawinan siri akan lahir generasi yang terputus rantai 
silsilahnya dan beresiko menjadi masalah sosial di kemudian hari.

Selain nikah siri, faktor-faktor pemicu seseorang nikah siri harus segera 
dihentikan. Nikah siri umumnya muncul karena poligami yang tidak jantan dari 
pelakunya. Pelaku poligami tidak perlu lagi membawa-bawa kitab suci untuk 
bertindak tidak adil kepada istri-istrinya. Ada mekanisme hukum untuk memohon 
dispensasi poligami. Jangan berpoligami dengan cara sembunyi. Sebab, cara itu 
hanya akan melahirkan generasi yang minder sejak lahir. Apalagi, suatu saat 
nanti anak hasil perkawinan poligami dan nikah siri akan membutuhkan kehadiran 
ayahnya secara fisik. 

Perlindungan Negara 

Apakah pencatatan nikah bertentangan dengan hak asasi seseorang (HAM) sehingga 
harus dihapuskan dari UU perkawinan? Hemat saya, tidaklah demikian. Pemenuhan 
dan perlindungan HAM seseorang harus tunduk kepada hukum yang berlaku. Sebab, 
HAM tanpa hukum akan mengacaukan tatanan kehidupan. Anarkisme dan perilaku 
semau gue bakal menciptakan hukum rimba di masyarakat. Negara berkewajiban 
mengatur kehidupan masyarakat agar menjadi tertib.

Negara pula yang menetapkan aturan bahwa siapa pun yang melanggar hukum harus 
menerima sanksi. Sebab, hakikat pelanggaran adalah penyelewengan dan 
pengingkaran terhadap suatu tertib hukum yang telah disepakati. Oleh karena 
itu, sudah sewajarnya bila negara membedakan perlakuan kepada seseorang yang 
taat hukum (baca: nikah resmi) dengan pelanggar hukum (baca: nika siri). Bila 
yang patuh hukum dan melanggar hukum disamakan, itu berarti negara telah 
bertindak tidak adil kepada warganya.

Betul, negara memang wajib melindungi setiap warga negara, termasuk mereka yang 
nikah siri dan anak-anak yang dilahirkannya. Bukahkah negara juga sudah 
memberikan hak-hak hidup bagi para narapidana yang telah terbukti kesalahannya. 
Memberikan hukuman bagi setiap orang yang melanggar adalah bagian dari tugas 
negara untuk melindungi warga negara lainnya. Perlindungan negara diberikan 
kepada setiap warganya sebatas dibolehkan UU.

Kasus Machica Mochtar bisa menjadi cermin bagi kita bahwa nikah siri biresiko 
besar bagi anak-anak yang tidak berdosa. Mereka terancam tidak diakui sebagai 
keturunan ayahnya, tidak menerima warisan, tidak memiliki wali saat menikah, 
dan seterusnya. 

Negara sudah mengatur, perkawinan harus dicatatkan. Kalau ayah dan ibu tidak 
mau mencatatkan perkawinannya, itu berarti kesalahan dan dosa terbesar berada 
di pundak mereka.

Perkawinan bukan sekadar kontrak sosial biasa. Perkawinan merupakan mitsaqan 
gholidan (perjanjian yang suci dan kukuh) antara seorang laki-laki dan 
perempuan untuk membina bahtera rumah tangga. Setiap terjadi akad nikah, 
sejatinya Tuhanlah saksinya. Acara resepsi perkawinan sesungguhnya merupakan 
persaksian dari masyarakat bahwa seseorang telah sah menjadi pasangan suami 
istri. 

Seseorang yang menikah hanya untuk main-main atau motif nikmat sesaat sama 
sekali tidak bisa dibenarkan oleh nalar apa pun. Sebab, dasar pernikahan adalah 
kejujuran. Rumah tangga tidak akan sakinah, mawaddah, dan rahmah bila salah 
satu pasangan telah berbohong. 

Saya kira, nikah siri adalah bagian dari ketidakseriusan pasangan untuk 
menjalani dunia perkawinan secara lahir dan batin. Siapa pun yang menikah, tapi 
tidak mau dicatatkan kepada pihak berwenang, berarti sedang mempermainkan 
ikatan suci perkawinan. Seharusnya, tidak ada kasus Machica bila setiap orang 
paham hakikat perkawinan. (*)

Dr Abu Rokhmad MA, dosen IAIN Walisongo, Semarang 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke