Nursyahbani Katjasungkana: 

-- tidak ada penjelasan rinci mengenai apa yang
dianggap melanggar kesopanan. Akibatnya, terbuka
peluang interpretasi ”pelanggaran kesopanan” secara
subyektif sehingga jika ini diterapkan justru
memunculkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.

-- Bukan hanya konstitusi negara, RUU APP juga
melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM)
dalam hukum dan kesepakatan internasional yang sudah
diratifikasi dan ditandatangani oleh Indonesia
sendiri. Seperti Piagam PBB 1945, Pembukaan Deklarasi
HAM 1948, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan, Deklarasi Wina, Deklarasi Beijing,
Deklarasi Beijing Plus Five (Juni 2000), Konvensi Hak
Anak, dan Deklarasi Kairo.

-- ”Akan menjadi perdebatan, siapa yang berhak
menentukan bahwa bagian tubuh tertentu seseorang itu
memiliki daya tarik seksual? Bukankah sensualitas itu
adanya pada pikiran orang dan bukan pada obyek atau
bagian tubuh orang? Apakah bagian tubuh yang punya
daya tarik itu hanya vagina, paha atau payudara?” 

-- pornografi harus diatur (terutama untuk penyiaran,
akses dan distribusinya), dan bukannya dilarang. Di
negara yang keras menindas seksualitas perempuan,
seperti Arab Saudi dan Iran, kekerasan terhadap
perempuan justru sangat tinggi, termasuk kekerasan
terhadap para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang
bekerja di sana.

Sebaliknya, di negara-negara yang lebih liberal,
seperti Denmark dan Jerman, di mana pornografi lebih
mudah diakses oleh orang dewasa, kekerasan terhadap
perempuan (termasuk aborsi) justru relatif rendah.

-- Upaya negara untuk secara otoriter mengatur
moralitas yang seharusnya bukan ranah wewenangnya,
pada akhirnya hanya akan membuka peluang kekerasan
baru dan kemungkinan penyalahgunaan oleh mereka yang
menganggap diri sebagai polisi moral.

-- Di tengah masih carut marutnya kondisi ekonomi
sosial bangsa ini, dan masih banyaknya masalah
mendasar lain yang lebih mendesak dan penting untuk
diperhatikan, upaya memaksakan pengegolan RUU APP pada
Juni 2006 dengan menabrak begitu banyak rambu-rambu
hukum dan kesepakatan sosial yang ada, justru bisa
jadi bumerang yang berbahaya. 

****



http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/04/Fokus/2481693.htm

Langgar Konstitusi, Langgar HAM? 
Oleh Sri Hartati Samhadi

Selain tumpang tindih dengan sejumlah aturan dan
ketentuan hukum positif yang sudah ada sebelumnya di
Indonesia, penerapan Rancangan Undang-Undang
Antipornografi dan Pornoaksi dinilai juga bakal
berbenturan dan melanggar isi konstitusi dan hak asasi
manusia.

Sejumlah panelis dalam diskusi mengenai Rancangan
Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP)
di Kompas belum lama ini berpendapat, RUU ini sarat
mengandung sesat pikir.

Menurut anggota Komisi III DPR, Nursyahbani
Katjasungkana, alur pemikiran dalam RUU ini dilandasi
pola pikir yang cenderung paranoid dan para
penyusunnya mengalami amnesia karena melupakan kondisi
riil sosiokultur masyarakat Indonesia selama ini.

Selain konsep yang campur aduk dan tidak jelas
mengenai pornografi dan pornoaksi, dari aspek hukum
juga banyak kelemahan dan banyak rambu-rambu
konstitusi atau kesepakatan, baik di dalam negeri
maupun secara internasional, yang dilanggar.

Nursyahbani dan beberapa panelis lain umumnya sepakat,
penerapan RUU ini justru membuka peluang terjadinya
kekerasan baru—seperti kriminalisasi terhadap
korban—dan mengundang bahaya disintegrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang selama ini
didasarkan pada keanekaragaman, bhinneka tunggal ika
serta penghormatan atas hak-hak individu dan hak-hak
masyarakat adat.

Secara umum, menurut Nursyahbani, RUU ini merupakan
pengembangan dari delik-delik kesusilaan yang ada di
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal,
aturan KUHP itu sendiri juga tidak dengan jelas
mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan atau
kesopanan.

Contohnya, tidak ada penjelasan rinci mengenai apa
yang dianggap melanggar kesopanan. Akibatnya, terbuka
peluang interpretasi ”pelanggaran kesopanan” secara
subyektif sehingga jika ini diterapkan justru
memunculkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.

Bentuk-bentuk pelanggaran kesopanan yang disebutkan
dalam KUHP, terutama yang dilakukan melalui lagu-lagu,
pidato, tulisan atau gambar, perumusannya juga tidak
sesuai dengan perkembangan modus-modus pornografi yang
demikian pesat.

KUHP juga tidak mampu memberikan pegangan bagi aparat
hukum dan pengadilan dalam melihat persoalan
pornografi karena tidak secara jelas menempatkan siapa
pelaku dan siapa korban yang dirugikan dalam kasus
pornografi.

Karena mendasarkan diri pada definisi yang keliru
mengenai pornografi di KUHP, keberadaan delik-delik
dalam RUU APP dinilai Nursyahbani justru menimbulkan
banyak persoalan. Ketidakjelasan konsep pornoaksi
(muatan terbanyak dalam RUU APP) dan upaya membakukan
standar kesusilaan berdasarkan pemahaman satu kelompok
tertentu mengenai moralitas cenderung membatasi
hak-hak kebebasan seseorang untuk berekspresi.

Konsep yang tidak jelas ini juga menyebabkan RUU APP
yang dimaksudkan sebagai upaya pencegahan terhadap
berbagai bentuk kejahatan seksual justru berpotensi
mengkriminalkan banyak pihak.

Termasuk di sini masyarakat miskin yang tidak memiliki
jamban sendiri karena mandi atau buang air di kali,
ibu yang sedang menyusui anaknya di tempat umum,
turis-turis yang sedang berjemur di pantai,
seniman-seniman yang sedang menggelar kesenian rakyat,
atau masyarakat tradisional dalam busana adat mereka
yang masih primitif.

Sesat pikir
Konsep yang tidak jelas juga menyebabkan RUU sarat
diwarnai sesat pikir. Sesat pikir itu antara lain
tercermin dari adanya pandangan dari penyusun RUU APP
yang menganggap globalisasi teknologi informasi
sebagai ancaman terhadap tata nilai yang ada.

Globalisasi dianggap bisa menyebabkan pergeseran nilai
dan memunculkan sikap permisif di masyarakat sehingga
mempermudah pula penyebaran pornografi yang meresahkan
masyarakat dan menyebabkan kehancuran segi-segi moral
dan etika.

Karena alasan ini, para penyusun RUU ini berpendapat
perlu ada perlindungan bagi masyarakat yang religius
dan upaya-upaya untuk mencegah masalah-masalah yang
disebabkan oleh sikap dan tindakan asosial dan amoral
dari orang-orang individualis. Jadi, ada upaya
menabrakkan kepentingan kelompok yang lebih besar
dengan hak individu.

Padahal, menurut Nursyahbani, pergeseran nilai
merupakan sesuatu keniscayaan di tengah peradaban
dunia yang terus berubah.

Nursyahbani dan dosen filsafat Universitas Indonesia
(UI), Gadis Arivia, juga melihat RUU APP berusaha
memaksakan suatu budaya tertentu—yakni budaya dari
kelompok mayoritas—yang belum tentu cocok dengan
budaya masyarakat Indonesia yang beragam. Ini berarti
bertentangan dengan prinsip keanekaragaman atau
bhinneka tunggal ika yang terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945 dan dasar negara, yakni Pancasila.

”RUU ini berusaha memaksakan standar moral, etika,
akhlak, dan kepribadian luhur dengan ukuran yang tidak
jelas. Penyusun RUU ini menderita amnesia atas kondisi
sosiokultural masyarakat Indonesia dan dengan
sewenang-wenang mengatasnamakan budaya timur, tanpa
menyebut budaya timur yang mana,” kata Nursyahbani.

Para penyusun RUU APP menganggap budaya dan tatanan
masyarakat sebagai suatu hal yang statis sehingga
harus dilestarikan. Padahal, jika logika ini diikuti,
seharusnya mereka tidak membuat RUU yang hendak
mengubah budaya masyarakat Indonesia yang multikultur.

Yang terjadi, mereka justru menyusun RUU APP. Padahal,
jika RUU APP ini dipaksakan diberlakukan, sama saja
dengan memaksakan revolusi kebudayaan, di mana
keanekaragaman budaya yang ada dipaksakan agar seragam
melalui penerapan standar moral, etika, dan budaya
yang tunggal.

Soal konsiderans bahwa negara mengutamakan kepentingan
umum daripada kepentingan pribadi itu sendiri juga
tidak jelas dari mana referensinya karena UUD 1945
sendiri sebetulnya mengakui adanya hak-hak atas
privasi dan hak milik pribadi. Ini, menurut
Nursyahbani, sekali lagi membuktikan RUU ini
berlawanan dengan konstitusi.

Selain Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, menurut
Nursyahbani, ada beberapa pasal lain dalam UUD 1945
yang juga dilanggar oleh RUU APP. Pasal itu adalah
Pasal 28 F, yang justru dijadikan konsiderans, yakni
kebebasan berkomunikasi, memperoleh, mengolah, dan
menyimpan informasi. Kemudian, Pasal 32 yang
menyebutkan negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budaya.

Lalu, Pasal 28 D Ayat (1) yang mengatur hak atas
pengakuan, jaminan perlindungan, kepastian hukum yang
adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal
28 E Ayat (2) bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap
sesuai dengan hati nuraninya. Lebih lanjut, RUU itu
juga bertentangan dengan Pasal 28 I Ayat (3), yakni
bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.

Bukan hanya konstitusi negara ini, RUU APP dinilai
juga melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM)
dalam hukum dan kesepakatan internasional yang sudah
diratifikasi dan ditandatangani oleh Indonesia
sendiri. Seperti Piagam PBB 1945, Pembukaan Deklarasi
HAM 1948, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan, Deklarasi Wina, Deklarasi Beijing,
Deklarasi Beijing Plus Five (Juni 2000), Konvensi Hak
Anak, dan Deklarasi Kairo.

Tak ilmiah

Para peserta diskusi umumnya sepakat, pembahasan RUU
APP tidak perlu diteruskan karena masalah pornografi
dan pornoaksi pada dasarnya sudah diatur dalam
beberapa UU atau ketentuan lain yang sudah ada
sekarang ini. Soal pornografi, misalnya, menurut
Nusyahbani, sudah diatur dalam Pasal 282, 283, 532,
dan 533 KUHP.

Sementara untuk mengatur soal pornoaksi bisa digunakan
Pasal 28 KUHP (merusak kesopanan dan kesusilaan di
muka umum) serta ketentuan lain yang berkenaan dengan
perbuatan cabul (termasuk terhadap anak- anak),
seperti Pasal 13 Ayat (1) Huruf b UU Perlindungan
Anak.

Untuk penyebaran materi tulisan atau gambar yang
dianggap pornografi di media massa atau hiburan bisa
dipakai Pasal 13 Huruf a UU No 40/1999 tentang Pers,
kode etik wartawan (SK Dewan Pers Nomor 1/SK-DP/ 2000)
angka 4, UU Penyiaran, UU Perfilman, dan lain-lain.

Dari sisi legal drafting, RUU APP itu sendiri dinilai
Nursyahbani melanggar UU No 10/2004 tentang Tata Cara
Pembentukan Undang-undang. Penyusunannya tidak
memenuhi standar ilmiah karena beberapa pengertian
tidak didefinisikan secara jelas serta ada
pencampuradukan pengertian antara seksualitas, erotika
dan percabulan (obscenity).

Perbuatan pidana yang dirumuskan juga asumtif dan
multitafsir. Padahal, yang seperti ini tidak dapat
dibenarkan dalam hukum pidana.

”Akan menjadi perdebatan, siapa yang berhak menentukan
bahwa bagian tubuh tertentu seseorang itu memiliki
daya tarik seksual? Bukankah sensualitas itu adanya
pada pikiran orang dan bukan pada obyek atau bagian
tubuh orang? Apakah bagian tubuh yang punya daya tarik
itu hanya vagina, paha atau payudara?” kata
Nursyahbani.

Selain itu, penyusunan RUU APP dinilai Nursyahbani
juga tidak menggunakan landasan filosofis, sosiologis,
dan yuridis yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah sebagaimana disyaratkan dalam UU No 10/2004.

Masih banyak lagi kelemahan RUU APP dari sisi
substansi dan juga dari aspek hukum yang disebutkan
oleh Nusyahbani. Termasuk di antaranya bertentangan
dengan asas hukum pidana lain, seperti asas praduga
tak bersalah. Contohnya di sini, perempuan ditempatkan
sebagai penyebab kemesuman dan penimbul berahi.

Di negara-negara lain, termasuk di negara-negara yang
konservatif dan paling liberal sekalipun, menurut
Nursyahbani, juga ada aturan mengenai pornografi.
Namun, tujuan aturan itu lebih untuk melindungi. Di
sini, semangatnya bukan untuk melindungi, tetapi lebih
melarang. Yang terjadi, perempuan ditempatkan dalam
posisi sebagai pelaku dan bukan korban dari pornografi
dan pornoaksi.

Menurut Nursyahbani, pornografi harus diatur (terutama
untuk penyiaran, akses dan distribusinya), dan
bukannya dilarang. Ia mencontohkan, di negara yang
keras menindas seksualitas perempuan, seperti Arab
Saudi dan Iran, kekerasan terhadap perempuan justru
sangat tinggi, termasuk kekerasan terhadap para tenaga
kerja wanita (TKW) Indonesia yang bekerja di sana.

Sebaliknya, di negara-negara yang lebih liberal,
seperti Denmark dan Jerman, di mana pornografi lebih
mudah diakses oleh orang dewasa, kekerasan terhadap
perempuan (termasuk aborsi) justru relatif rendah.

Secara keseluruhan, penentuan sanksi pidana dalam RUU
ini juga dinilai terlalu berlebihan (lihat tabel).
Misalnya, Pasal 25 mengenai berciuman bibir di muka
umum yang bisa dikenai pidana penjara minimal satu
tahun dan maksimal lima tahun, atau denda minimal Rp
50 juta dan maksimal Rp 250 juta. Suatu jumlah yang
tidak mungkin bisa dibayar oleh kebanyakan masyarakat
kita yang umumnya miskin.

Selain jumlah denda yang berlebihan, ini jelas
merupakan bentuk eksploitasi negara terhadap warga
negara dengan memanfaatkan hal yang dinilai sangat
manusiawi dari diri manusia, yaitu erotika. Di sini,
hak seksual dari warga negara telah menjadi sumber
pendapatan bagi negara.

Upaya negara untuk secara otoriter mengatur moralitas
yang seharusnya bukan ranah wewenangnya, pada akhirnya
hanya akan membuka peluang kekerasan baru dan
kemungkinan penyalahgunaan oleh mereka yang menganggap
diri sebagai polisi moral.

Di tengah masih carut marutnya kondisi ekonomi sosial
bangsa ini, dan masih banyaknya masalah mendasar lain
yang lebih mendesak dan penting untuk diperhatikan,
upaya memaksakan pengegolan RUU APP pada Juni 2006
dengan menabrak begitu banyak rambu-rambu hukum dan
kesepakatan sosial yang ada, justru bisa jadi bumerang
yang berbahaya.

Lagi pula, dari pengalaman selama ini, keberadaan
seabrek larangan, UU atau aturan apa pun, juga tidak
akan banyak berarti dan sia-sia jika sisi penegakannya
dan juga moral penyelenggara negaranya sendiri tidak
dibenahi.


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke