Oleh Haedar Nashi


Mengapa bangsa ini sulit
sekali menjadi akil-balig? Belajar untuk bertanggung jawab layaknya orang
dewasa. Para elite politik terus memperagakan perilaku kekanak-kanakan. Gemar
meminta banyak hal kepada negara sembari kerja malas-malasan. Petinggi 
negara masih juga tampak rileks, bahkan para koruptor pun dapat hadiah grasi.
Segala hal di negeri ini seolah berjalan normal. 

Kalau anak balita wajar
bersikap kekanak-kanakan karena mereka memang homo ludens, makhluk bermain.
Tapi, manakala para petinggi nasional masih bermain-main dengan urusan negara
dan bangsa, lantas di mana pertanggungjawabannya? Padahal saat ini hidup rakyat
kian susah, perahu bangsa dalam pertaruhan, dan negeri ini tengah dilecehkan
tetangga.

Sungguh, betapa sulit
memahami nalar kekanak-kanakan elite politik yang menuntut adanya rumah
aspirasi dengan anggaran keuangan negara. Kalau pakai anggaran sendiri 
tentu elegan. Bukankah selama ini mereka dibayar negara, yang salah satu
kewajibannya ialah menyerap aspirasi rakyat. Padahal mayoritas rakyat yang
diwakili justru tengah berjuang mempertaruhkan hidup yang semakin berat dan
dililit banyak kesulitan. Gagal dengan mainan rumah aspirasi, muncul gagasan
dana daerah pemilihan. Apalagi yang masih kurang untuk dikuras habis dari perut
negeri yang kian compang-camping ini?

Panorama paradoks lain juga
terjadi. Di laut bangsa ini dilecehkan bangsa tetangga, tanpa rasa terhina.
Padahal inilah negeri maritim dan kepulauan terbesar di kawasan Asia Tenggara
dengan sejarah masa lampau yang gagah perkasa. Sedangkan di daratan ribuan anak
bangsa terus mengadu nasib di negeri serumpun sambil terus dilecehkan,
diindonkan, disiksa, dan sebagian tengah menunggu nasib untuk dihukum mati. Di
tengah derita anak bangsa yang serbapilu seperti itu, para pemimpin bangsa
masih juga tebal muka dan saling menyalahkan. 

Apa yang hilang di negeri
ini? Soal sensitivitas? Hidup saling peduli dan berbagi? Visi kebangsaan? Sikap
tegas? Tanggung jawab? Moral kenegarawanan? Jangan-jangan kehilangan semuanya.
Segalanya menyatu menjadi penyakit batin dan mental yang kronis. Padahal
masalah bangsa kian berat dan krusial. Masa depan penuh pertaruhan. Tantangan
dari luar tak kalah ganasnya. Bencana demi bencana terus menimpa seolah tak
kenal henti. Ada apa dengan perangai para elite bangsa di negeri ini?

Teladan
Al-Faruq

Dalam memimpin negara,
belajarlah kepada Ummar Ibn Khattab. Sosok khalifah ternama yang gagah,
pemberani, negarawan, sekaligus sangat cinta rakyat. Dia bahkan tidak mau
disebut khalifah, lebih senang dipanggil Amir al-Mukminun, yakni orang yang
diberi amanat untuk menunaikan urusan rakyat, bukan menjadi penguasa. 

Kepemimpinannya dikenal
adil dan tegas, hatta untuk sanak keluarganya sendiri. Karena itu, Umar
dijuluki al-Faruq, sosok pemimpin adil, sekaligus menjadi figur pembeda. Jika
dirinya bersalah, tak segan minta maaf dan dihakimi pengadilan, tak mau ada
perlakuan istimewa. Negara tidak pernah jadi urusan anak-bini.

Bagaimana Umar al-Faruq
mencintai dan membela rakyatnya? Bukan berbasa-basi, beretorika, dan sekadar
berteori. Setiap hari bahkan malam Umar turun langsung ke rakyat bawah. Dia
temukan keluarga yang kelaparan, kemudian dia ambilkan gandum untuk diberikan.
Dia ajak istri tercintanya, Ummu Kalsum, untuk berpahala membantu ibu yang
sedang melahirkan. Dia jumpai ibu yang tak menyusui bayinya yang tengah
menangis, lalu dianjurkannya untuk menyusuinya bahkan dibuatkannya edaran ke
seluruh pelosok negeri agar ibu-ibu menyusui bayinya hingga usia dua tahun. 

Umar begitu kasih sayang,
empati, peduli, dan membela rakyat kecil dengan tangannya sendiri. Karena itu,
selain sosok Al-Faruq, Umar dikenal pula sebagai "ayah kaum dhuafa",
karena demikian cintanya terhadap rakyat yang lemah. Sekaligus tegas kepada
siapa pun yang melanggar aturan dan hukum tanpa pandang bulu. Dalam pidatonya
ketika diangkat khalifah, Umar sebagaimana ditulis Heikal (2001: 656) berujar
lantang: "Di mata saya, tidak ada orang yang lebih kuat daripada orang
yang lemah di antara kalian, sebelum saya berikan haknya, dan tak ada yang
lebih lemah daripada orang yang kuat sebelum saya cabut haknya."

Jika para elite dan
pemimpin negeri belajar pada Umar Al-Faruq, lebih-lebih kepada uswah hasanah
Nabi Muhammad, tidak akan ada yang mengabaikan amanat dan menelantarkan rakyat.
Apalagi aji mumpung dan haus kuasa, karena kekuasaan dan mandat itu bukan hanya
urusannya dengan  rakyat, melainkan juga menyangkut urusan
pertanggungjawaban dengan Tuhan. Karena itu, tidak akan berani bermain-main
dengan kekuasaan yang ada di tangannya, sekecil apa pun kekuasaan itu, apalagi
kekuasaan yang besar. 

Umar tidak harus membuat
rumah aspirasi hanya untuk menyelami dan memperjuangkan kepentingan rakyat di
bawah, apalagi akal-akalan untuk sekadar cari mudah dan cari proyek baru. Dia
langsung turun ke tengah-tengah kehidupan nyata rakyat, tanpa banyak retorika
dan fasilitas. Tak ada kendala dan kesulitan serius untuk menyerap aspirasi dan
nasib rakyat. Segala hal tentang derita, kesulitan, dan jeritan rakyat kecil
sudah terlampau telanjang hadir di hadapan kita sehari-hari. Setiap hari
dihabiskan untuk berkhidmat, nyaris tanpa istirahat, apalagi menikmati
kesenangan. Hidupnya total diabdikan untuk kejayaan bangsa dan negara guna
meraih ridha dan karunia Allah, hingga akhir hayatnya mati syahid.

Soal
karakter    

Bagaimana dengan para elite
dan petinggi negeri ini? Kecukupan lahir dan reputasi diri sungguh luar biasa.
Fasilitas negara pun tak kurang, bahkan cukup berlebihan. Mungkin yang kurang
ialah soal karakter kepemimpinan. Masalah mental dan martabat diri. Muaranya
ialah kemiskinan rohani. Rohani yang menggelorakan jiwa amanah, tanggung jawab,
kerja keras, komitmen, dan pengkhidmatan total untuk bangsa dan negara
melampaui hak-hak yang diperolehnya.

Mentalitas elite negeri
seolah menjadi pemulung berdasi. Kerja tanpa risiko sambil mengais-ngais barang
rongsokan. Gaji, fasilitas, dan hak-hak istimewa tidak pernah dirasakan cukup
karena yang dikejar adalah keberlebihan. Sebesar apa pun hak-hak yang diberikan
negara tidak akan pernah merasa cukup karena yang diinginkan ialah
ketidakterbatasan. Hidupnya merasa kurang dan kurang terus di tengah
keberlebihan yang tak dimiliki rakyat banyak. Andaikan para pahlawan yang sudah
di alam kubur menyaksikan perangai para penerusnya yang seperti itu, mungkin
mereka akan menangis di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan 17 Agustus yang
bersejarah.

Mental pemulung berdasi
berkaitan dengan kualitas martabat diri. Nabi Muhammad SAW menyatakan dalam
salah satu hadisnya, yadu al-'ala khairu min yadu al-sulfa, tangan di atas
lebih baik daripada tangan di bawah. Nabi dan para sahabat yang dijamin Allah
masuk surga, bahkan bermujahadah untuk mempraktikkan cara hidup yang
bermartabat utama itu. Bukan sekadar bicara. 

Seluruh hidupnya diabdikan
untuk mengemban risalah dan memuliakan umat manusia. Muhammad adalah nabi kaum
mustadh'afin. Keperkasaannya mengguncang takhta Kisra, tetapi hidupnya
bersahaja dan pembela kaum jelata. Para khalifah penerusnya  pun mengikuti
jejaknya. Banyak memberi, tidak pernah meminta. Apalagi meminta kepada negara
ketika rakyat hidup miskin, susah, dan diimpit derita. 

Sabda Nabi, "Bukanlah
kekayaan itu lantaran banyaknya harta, kekayaan itu ialah kekayaan jiwa."
Ahli hikmah menyatakan, "orang kaya ialah orang yang sedikit
keperluannya." Buya Hamka menulis, jangka turun naik kekayaan dan
kemiskinan terletak pada keperluannya. Mereka yang kaya sedikit keperluannya,
sedangkan yang miskin banyak keperluannya. 

Para raja dan mereka yang
berkuasa sesungguhnya miskin, karena demikian banyak keperluannya. Demikian
cara berpikir sufistik mengonstruksi siapa yang kaya dan siapa si miskin, yang
tentu berbeda dari cara berpikir kaum materialisme. Apalagi cara berpikir mereka
yang israf, yang tak pernah kenyang dalam segala keperluan hidup.

Pemulung berdasi
lama-kelamaan berubah statusnya menjadi al-sailin, yakni peminta-minta kelas
atas yang terkena hukum berhak untuk dizakati  Jika kaum jelata
meminta-minta di pinggir jalan dan dari pintu ke pintu, dapat dipahami karena
keterbatasannya. Tapi, manakala yang terus meminta-minta kepada negara itu
mereka yang berpunya, bahkan segala keperluannya ditanggung negara, sungguh
ironis. 

Sementara sensitivitas
terhadap derita rakyat dan problem bangsa tak juga beranjak naik, seolah negeri
ini aman sentosa dalam senandung lagu nan indah melankolis.

Kurang apa lagi? Orang
berseloroh menjawab, kurang harga diri. Agama menyebutnya sebagai penyakit
israf dan nifaq. Keberlebihan yang tidak pernah merasa puas dan perilaku yang
tak sejalan kata. Inilah bentuk kemiskinan rohani para pemimpin dan elite
negeri. Semuanya berlomba untuk meraih kuasa, hingga berinflasi jadi politisi
sejati: demi takhta apa pun dilakukan. Sedangkan martabat kenegarawanan kian
hari semakin tenggelam ditelan bumi.

Raga fisiknya kaya materi
dan kuasa, jiwa dan perilakunya papa jelata. Gesture kuasa tampak gagah di
muka, tapi lemah nyali dan menjadi elite rongsokan. Para pemimpin dan elite
negeri seperti ini tak pernah akil-balig untuk menjelma jadi pemimpin dan elite
negarawan yang bertanggung jawab total terhadap nasib bangsa dan negara. Libido
kuasanya ialah takhta dan harta; sementara perilaku kepemimpinannya kerdil.
Akhirnya, jatuh miskin  (rohani) di tengah gelimang dunia indrawi dan
keperkasaan takhta!



 
http://koran.republika.co.id/koran/0/118171/Pemimpin_Jatuh_Miskin




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke