Jawa Pos
[ Senin, 16 Februari 2009 ] 

Penyakit Itu Bernama PHK 
Oleh Pribakti B. *

Di dunia kedokteran dikenal berbagai macam penyakit. Ada yang namanya penyakit 
bawaan lahir, penyakit keturunan, penyakit tidak menular, sampai penyakit 
menular. Karena itu, ahli farmasi harus selalu bekerja keras menciptakan obat 
penumpas berbagai penyakit itu. Bahkan, akhir-akhir ini macam penyakit yang 
menyerang manusia semakin beragam dan tidak sedikit yang sampai hari ini 
dinyatakan belum ada obatnya.

Namun, ternyata di luar kehidupan dunia kedokteran, ada juga penyakit menular 
yang tidak kalah bahayanya, namanya PHK (pemutusan hubungan kerja). Menyaksikan 
gelombang PHK masal segera tiba, saya ingat akan sebuah kisah. 

Syahdan, ada seorang Pak Tua yang rumahnya di pinggir pantai. Setiap pagi Pak 
Tua itu memunguti hewan kecil yang terdampar ke pinggir oleh deburan ombak 
malam hari. Berbagai hewan kecil itu akan mati jika tidak bisa kembali ke laut 
lepas. Karena itu, setiap pagi Pak Tua memunguti ikan-ikan kecil serta 
ubur-ubur untuk dilemparkan kembali ke laut. 

Suatu kali datang anak kecil menertawakan apa yang dilakukan Pak Tua ini. 
Katanya, ''Pak, bukankah pekerjaan ini sia-sia, karena pantai ini begitu 
panjang dan jauh lebih banyak binatang laut yang tidak bisa Bapak selamatkan 
ketimbang yang bisa Bapak pungut yang jumlahnya mungkin hanya belasan?'' 

Pak Tua menjawab, "Kalaupun aku tidak bisa menyelamatkan semuanya, aku merasa 
berkewajiban menyelamatkan sebisa-bisanya yang masih dalam jangkauanku". 

Memulai 

Sama pula dengan hal keterpurukan akibat krisis global yang melanda bangsa ini 
yang berujung dengan PHK. Tentu semua tahu kalau kini sudah berskala besar dan 
mengkhawatirkan. Bisa jadi pula di luar kemampuan pribadi seorang Presiden SBY 
untuk bisa mengatasinya. 

Meski demikian, seperti nasihat Pak Tua, kita wajib memulai dan berbuat sesuatu 
yang pasti bisa dilakukan untuk bangsa ini. Lalu, dari mana harus dimulai? 
Pertama, mulai dari diri sendiri. Kita harus perkuat tekad dan komitmen untuk 
berani "berbeda" melawan arus gelombang demoralisasi dalam berbagai aspek 
kehidupan, baik dalam lingkungan kantor, keluarga maupun masyarakat.

Kedua, harus menetapkan target untuk berusaha membantu teman agar berada 
"sekapal" dengan kita. Setiap hari kita bertanya, apa yang telah aku lakukan 
buat diriku dan temanku untuk memengaruhi komitmen moral agar tidak 
tergelincir? Bila dua usaha ini semua dilakukan dengan benar, insya Allah 
penyakit PHK bisa diberantas penularannya.

Lebih jauh lagi, kita juga perlu memperluas dan memperkuat penyadaran dan 
pencerahan hidup melalui berbagai forum apa saja yang bisa dimanfaatkan. 
Sesungguhnya jatuh bangun sebuah bangsa pasti digerakkan oleh faktor sebab yang 
bekerja di balik semua peristiwa, baik yang dianggap kecil maupun yang besar, 
yang disadari maupun yang tidak disadari, yang baik maupun yang buruk, yang 
diterima maupun yang diingkari. 

Dengan logika seperti itu, sebenarnya keterpurukan yang menimpa bangsa ini 
jelas merupakan produk kita sendiri. Jalinan antara faktor struktur dan kultur 
politik yang demikian pengap sehingga sudah sulit dipisahkan lagi, mana 
variabel sebab dan mana variabel akibat. 

Tapi, bagaimanapun, akhirnya kita semua menanggung akibatnya dan secara moral 
kita turut bertanggung jawab, mengingat struktur dan kultur tidak bisa dimintai 
tanggung jawab. 

Bagi mereka yang begitu dangkal memahami dan menjalani hidup, mata hati dan 
pikirannya hanya mampu memandang karma yang berlaku dalam jarak pendek, 
terutama yang terkait langsung dengan kebutuhan fisik. Orang yang menjadikan 
kekayaaan materi sebagai ukuran sukses dan sumber kebahagiaan harus siap 
hidupnya gelisah karena kualitas dan masa berlakunya hanya berlangsung pendek.

Terlebih jika cara meraihnya tidak mengikuti kaidah hukum moral dan sosial, 
karma negatif yang akan ditemuinya. Di sekeliling kita sudah banyak contoh. 
Mereka yang dahulu hebat karena dengan seenaknya menjarah harta negara, kini 
mulai merasakan akibatnya. Rasa harga diri lenyap dan sejarah mengutuk sebagai 
perusak bangsa. Bukan pembangun bangsa. 

Di tengah hantaman keterpurukan yang masih mendera, kita harus bisa keluar dari 
jerat dampak negatif masa lalu. Kita bangun optimisme sambil melakukan 
pertobatan serta belajar dari kesalahan masa lalu. Drama tragis keluarga 
Cendana, misalnya, lalu sekian figur publik harus mendekam di ruang tahanan 
serta menjadi cacian masyarakat melalui media masa. 

Memang sebagian hukum Tuhan telah diberlakukan di dunia. Yang pasti, Tuhan 
tidak pernah menghukum suatu bangsa, tetapi mereka sendiri yang sebenarnya 
berbuat aniaya dan bertindak kejam pada dirinya. 

Celakanya, manusia lebih senang memilih bertindak bengis dan bodoh pada sesama. 
Untuk itu mari semua ini kita renungkan. Kita berharap keterpurukan ini 
merupakan proses menuju ke arah kedewasaan dan peningkatan dalam berbangsa dan 
bernegara.

Paling tidak kita berniat mencapai tahapan hidup yang lebih bermartabat, meski 
ongkosnya saat ini kita rasakan terlalu mahal. 

Hanya bangsa yang bodoh dan zalim yang harus membayar mahal untuk meraih jalan 
kebenaran. Lebih dari itu, tanpa ada komitmen untuk berusaha memelihara diri 
melalui latihan pencerahan hati dan pikiran, energi kita akan cepat habis. 

Sumber energi yang tak pernah habis sesungguhnya adalah kalau selalu mendekat 
pada Tuhan. Selebihnya lakukan spiritual and intellectual gathering untuk 
memperoleh sinergi batin sehingga memperkuat energi dan motivasi untuk berbuat 
baik. Kita luangkan waktu dari jebakan rutinitas, lalu bersama-sama berdialog 
dengan diri, dengan kehidupan, dengan imajinasi masa depan, dalam suasana batin 
yang jernih dan hati yang tulus untuk menciptakan suasana damai. Damai dalam 
diri, damai dalam keluarga, dan damai dalam kehidupan sosial. 

Semoga negeri ini selamat!

*. Pribakti B., dokter, staf pengajar Fakultas Kedokteran Unlam Banjarmasin



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke