dari milis urangawak

Wady Afriadi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:          Kontroversi Kaum Paderi: Jika 
Bukan Karena Tuanku Nan Renceh 
.fullpost{display:inline;} 




Keterangan foto: Benteng Fort de Kock di Bukittinggi (1826). Seorang panglima 
Paderi dengan pedang dan al-Qur'an dalam kantong kain yang digantungkan di 
leher mengawasi benteng itu dari kejauhan.

Sumber: H.J.J.L. Ridder de Stuers, De vestiging en uitbreiding den Nederlanders 
ter Westkust van Sumatra, Deel 1, Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849: menghadap 
hlm. 92

Oleh Suryadi


Masyarakat Minangkabau masa lampau pernah merasakan pengalaman pahit akibat 
radikalisme agama. Di awal abad ke-19, demikian catatan sejarah, dekadensi 
moral masyarakat Minang sudah tahap lampu merah. Golongan ulama kemudian 
melancarkan gerakan kembali ke syariat, membasmi bid’ah dan khurafat. Mereka 
melakukannya dengan pendekatan persuasif melalui dakwah dan pengajian. Namun, 
kemudian muncullah seorang yang radikal dan militan di antara mereka: ia 
bersama pengikutnya memilih jalan kekerasan. Akibatnya, pertumpahan darah 
antara sesama orang Minangkabau tak terhindarkan, yang menorehkan lembaran 
hitam dalam sejarah Minangkabau. Siapa lagi ulama yang radikal itu kalau bukan 
Tuanku Nan Renceh.

Ingat nama Tuanku Nan Renceh, ingat pada Perang Paderi. Dialah panglima Paderi 
yang paling militan dan ditakuti. Sosoknya tidak sejelas namanya yang sudah 
begitu sering disebut dalam buku-buku sejarah. Tak banyak data historis 
mengenai dirinya. Hanya ada catatan-catatan fragmentris yang terserak di 
sana-sini. Tulisan ini mencoba merekonstruksi sosok Tuanku Nan Renceh 
berdasarkan berbagai catatan tersebut, baik yang berasal dari sumber asing 
(Belanda) maupun dari sumber pribumi sendiri.

Tuanku Nan Renceh berasal dari Kamang Ilia, Luhak Agam. Kurang jelas kapan 
persisnya ia dilahirkan, tapi pasti dalam paruh kedua tahun 1870-an. Tak ada 
catatan historis mengenai masa mudanya. Namun, sedikit banyak dapat 
direkonstruksi melalui satu sumber pribumi, yaitu Surat Keterangan Syekh 
Jalaluddin (SKSJ) karangan Fakih Saghir, salah seorang ulama Paderi dari 
golongan moderat (lihat transliterasi SKSJ oleh E. Ulrich Kratz dan Adriyetti 
Amir: Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: 
DBP, 2002).

Menurut SKSJ (yang ditulis sebelum tahun 1829), di masa remaja Tuanku Nan 
Renceh, di darek (pedalaman Minangkabau) muncul seorang lama berpengaruh, yaitu 
Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Angkat. Banyak orang belajar agama kepadanya, 
yang datang dari berbagai nagari di Minangkabau, termasuk pemuda (Tuanku) Nan 
Renceh. Murid-murid Tuanku Nan Tuo yang sebaya dengan Tuanku nan Renceh antara 
lain Fakih Saghir. Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya yang 
kontroversial, Tuanku Rao ([Djakarta]: Tandjung Pengharapan, [1964]:129) 
mengatakan bahwa Tuanku Nan Renceh juga belajar agama Islam ke Ulakan.

Tahun-tahun terakhir abad ke-18 Tuanku Nan Renceh sudah aktif berdakwah bersama 
sahabatnya, Fakih Saghir. Mereka “berhimpun...dalam masjid Kota Hambalau di 
nagari Canduang Kota Lawas” (Kratz & Amir: 23). Mereka telah berdakwah selama 
empat tahun lamanya sebelum kemudian Haji Miskin (salah seorang pencetus 
Gerakan Paderi) pulang dari Mekah pada tahun 1803 (ibid.:25). Berarti, paling 
tidak Tuanku Nan Renceh, yang waktu itu masih seorang ulama muda, sudah aktif 
berdakwah sejak tahun 1799, beberapa tahun sebelum gerakan Paderi resmi dimulai 
oleh Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang.

Tampaknya bintang Tuanku Nan Renceh cepat bersinar, dan itu karena satu hal: 
sikapnya yang sangat radikal dan militan. Ia segera melibatkan diri sepenuh 
hati dan jiwa ke dalam Gerakan Paderi. Ini mungkin karena berita tentang Negeri 
Mekah yang didengarnya dari tiga haji yang baru pulang dari sana. Tak ada bukti 
bahwa Tuanku Nan Renceh pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Tapi sudah 
biasa terjadi dalam soal Islam bahwa pendengar jadi lebih fanatik daripada yang 
mengalami sendiri pergi ke Mekah.

Di awal tahun 1820-an Tuanku Nan Renceh sudah menjadi salah seorang komandan 
perang Kaum Paderi yang menguasai lima nagari, yaitu Kamang, Bukik, Salo, 
Magek, dan Kota Baru. Ia dan pasukannya sangat ditakuti: bila mereka menyerang 
suatu nagari dapat dipastikan bahwa nagari itu menderita. Tarup (lumbung padi) 
dan rumah dibakar, penduduk yang melawan dibunuh atau ditawan. Fakih Saghir 
dalam SKSJ menggambarkan aksi bengis pasukan Tuanku Nan Renceh ketika menyerang 
nagari Tilatang: “Maka sampailah habis nagari Tilatang dan banyaklah [orang] 
berpindah dalam nagari; dan sukar menghinggakan ribu laksa rampasan, dan orang 
terbunuh dan tertawan lalu kepada terjual, dan [wanita] dijadikannya gundi’nya 
[gundiknya]”. Yang melakukan perbuatan kejam itu kebanyakan pengikut Tuanku Nan 
Renceh dari Salo, Magek, dan Kota Baru, sehingga pihak lawan menghina mereka 
dengan istilah “kerbau yang tiga kandang” (Kratz & Amir: 37), sebab perbuatan 
mereka dianggap sudah sama dengan perilaku binatang.

Fakih Saghir menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh “kecil tubuhnya” (Kratz & 
Amir: 24), yang memang bersesuaian dengan namanya (kata Minang renceh berarti 
kecil, lincah, dan bersemangat). H.A. Steijn Parvé dalam “De secte der Padaries 
in de Padangsche Bovenlanden” (Indisch Magazijn [selanjutnya IM]1, 1e 
Twaalftal, No.4:21-40) menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh bertubuh kecil, 
kurus, bertabiat beringasan, dan memiliki sinar mata yang berapi-api—cerminan 
dari sifat radikal dan keras hatinya. Pakaiannya mungkin seperti pakaian 
kebanyakan pengikut Paderi, seperti yang dideskripsikan oleh P.J. Veth dalam 
“De Geschiedenis van Sumatra,” (De Gids 10e Jrg., Januarij: 1850, hal. 21), 
Thomas Stamford Raffles dalam Memoir of of the Life and the Public Services of 
Sir Thomas Stamford Raffles editan Lady Sofia Raffles (Singapore: Oxford 
University Press, 1991 [reprinted ed.]: 349-50), atau sketsa visual oleh [E.] 
Francis dalam “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter
Westkust Sumatra 1837” (Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië [selanjutnya TNI] 
2-1, 1839: 28-45, 90-111, 131-154, hal. [141]): rambut dicukur, jenggot 
dipanjangkan, tasbih dan pedang selalu jadi ‘pakaian’, sorban dan jubah panjang 
hingga bawah lutut berwarna putih, membawa Al-Quran yang ditaruh dalam kantong 
merah yang digatungkan di leher (ini hanya khusus buat ulama/panglima Paderi) 
(lihat ilustrasi).

Tak ada riwayat apapun tentang keluarga Tuanku Nan Renceh. Nama kecilnya juga 
tidak diketahui. Hanya ada sedikit kisah tragis bahwa ia memulai jihadnya 
dengan cara sadis: ia menyuruh bunuh bibinya sendiri—menurut Mangaraja Onggang 
Parlindungan (op cit.:134) ibu Tuanku Nan Renceh sendiri yang bergelar “orang 
kaya” (urang kayo)—yang tidak mau mengikuti perintahnya berhenti makan sirih, 
yang dianggap kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam. Mayatnya tidak 
dikuburkan tapi dibuang ke hutan karena dianggap kafir (lihat: Muhamad Radjab, 
Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Djakarta: Perpustakaan Perguruan 
Kementerian P.P. dan K., 1954:18-19; Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dan 
Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847, terj. Lilian D. 
Tedjasudhana. Jakarta INIS, 1992: 158). Dengan begitu, Tuanku Nan Renceh cepat 
mendapat pengikut dari mereka yang berjiwa militan.

Naskah SKSJ mencatat bahwa akhirnya Tuanku Nan Renceh memusuhi Tuanku Nan Tuo 
yang tetap memegang sikap moderat dalam memperjuangan cita-cita Gerakan Paderi. 
Tuanku Nan Tuo mengecam cara-cara di luar peri kemanusiaan yang dilakukan oleh 
Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya terhadap penduduk nagari-nagari yang mereka 
taklukkan. Tuanku Nan Renceh menghina ulama kharismatik yang dituakan di darek 
itu dengan menyebutnya sebagai “rahib tua” dan Fakih Saghir, sahabat dan bekas 
teman seperguruannya, digelarinya “Raja Kafir” dan “Raja Yazid” (Kratz & Amir: 
41).

Perpecahan di kalangan pemimpin Paderi tak terelakkan: Tuanku Nan Renceh 
membentuk kelompok sendiri yang terkenal dengan sebutan “Harimau Nan Salapan” 
yang militan, yaitu Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di 
Padang Luar, Tuanku di Galuang, Tuanku di Kota Hambalau, Tuanku di Lubuk Aur, 
Tuanku di Bansa dan Tuanku Nan Renceh sendiri (Kratz & Amir: 39). Mereka 
memisahkan diri dari Tuanku Nan Tuo dan mencari patron (imam besar) yang baru, 
yaitu Tuanku di Mansiang. Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya pun beberapa kali 
berusaha membunuh Tuanku Nan Tuo. Ia menganggap mantan gurunya itu 
menghalang-halangi tujuannya dan terus-menerus mengeritik jalan radikal yang 
ditempuhnya bersama pengikutnya. Namun, seperti diceritakan Fakih Saghir dalam 
SKSJ, upaya pembunuhan itu gagal.

Seperti diuraikan oleh seorang penulis berinisial v.D.H. dalam artikelnya 
“Oorsprong der Padaries (Eene secte op de Westkust van Sumatra)” (TNI 1.I, 
1838: 113-132), Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya yang militan kemudian menjadi 
lebih terkenal, meredupkan pamor kelompok moderat (Tuanku Nan Tuo dan 
pengikutnya). Dalam tahun 1820-an, pengikut golongan radikal itu makin banyak 
di Luhak Nan Tigo. Mereka mewajibkan kaum lelaki memelihara jenggot, yang 
mencukurnya didenda 2 suku [1 suku = 0,5 Gulden); memotong gigi didenda seekor 
kerbau; lutut terbuka didenda 2 suku; wanita yang tidak pakai burka didenda 3 
suku; memukul anak didenda 2 suku; menjual/mengkonsumsi tembakau didenda 5 
suku; memanjangkan kuku, jari dipotong; merentekan uang didenda 5 shilling; 
meninggalkan shalat pertama kali didenda 5 suku, jika mengulanginya dihukum 
mati (lihat: B.d., “De Padries op Sumatra”, IM 2e Twaalftal, No. 5&6, 1845 
[1827]:167-180, hal.172).

Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya menjadi momok besar bagi masyarakat Minang 
waktu itu, khususnya Kaum Adat. Semakin meluasnya pengaruh faksi radikal Kaum 
Paderi yang dibidani oleh Tuanku Nan Renceh telah mendorong Kaum Adat minta 
bantuan kepada Belanda. Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah 
darek kepada Kompeni dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai 
kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut 
"mengundang" sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan 
Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin 
Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815.

Namun saya tidak menemukan data sejarah yang menunjukkan bahwa Tuanku Nan 
Renceh pernah berhadapan langsung dengan Belanda di medan pertempuran. Dalam 
penyerangan ke Kamang pada 1822 Belanda hanya berhadapan dengan pasukan Paderi 
yang dipimpin oleh Tuanku Nan Gapuak. Catatan-catatan fragmentaris dalam 
dokumentasi Belanda terhadap Tuanku Nan Renceh lebih didasarkan atas 
cerita-cerita orang Minang sendiri, bukan dari pertemuan langsung dengan 
panglima Paderi itu. Harap dicatat bahwa apa yang terjadi di pedalaman 
Minangkabau tetap masih gelap bagi orang Eropa sampai akhirnya Thomas Stamford 
Raffles berkunjung ke Pagaruyung pada 16-30 Juli 1818. Sebelumnya, orang 
Inggris dan Belanda di pantai memang mendengar ada perseteruan antarsesama 
orang Minang di pedalaman, tapi mereka hanya dapat kabar berita dari para 
pedagang yang pergi ke pantai tanpa menyaksikan sendiri dengan mata-kepala 
mereka apa sesungguhnya yang terjadi di pedalaman. Mungkin karena itu pula 
sampai akhir
hayatnya, sosok Tuanku Nan Renceh tetap lebih banyak mengandung misteri, sebab 
tak banyak sumber Belanda yang mencatatnya.

[Vigelius] dalam “Fragmenten eener beschrijving van Sumatra’s Westkust.” (TNI 
13.II, Afl.7, 1851: 7-16, hal.11) dan E. Francis dalam Herinneringen uit den 
levensloop van een ‘Indish’ Ambtenaar van 1815 tot 1851, Vol.3 (Batavia: H.M. 
van Dorp, 1859, hal. 73) mengatakan bahwa Tuanku Nan Renceh wafat tahun 1832 di 
‘Medjang’, sebuah desa dalam wilayah Laras Bukit, Luhak Agam (mungkin yang 
dimaksud adalah desa Mejan di Kamang). Menurut Naskah Tuanku Imam Bonjol, 
Tuanku Nan Renceh wafat karena sakit: “Kemudian daripada itu maka tersebut pula 
perkataan [berita; Suryadi] Tuanku Nan Renceh dapat sakit. Dengan takdir Allah 
taala tidak berapa lamanya dalam sakit itu dan berpulanglah [ia] ke rahmatullah 
adanya” (Naskah hal.58 dalam Sjafnir Aboe Nain [tansliterator], Tuanku Imam 
Bonjol. Padang: PPIM, 2004, hal. 48). Pada tahun wafatnya Tuanku Nan Renceh, 
pusat Gerakan Paderi sudah pindah ke Bonjol, dengan pemimpin utamanya Tuanku 
Imam Bonjol, salah seorang panglima Paderi yang
‘dibesarkan’ oleh Tuanku Nan Renceh sendiri.

Tahun-tahun berikutnya Benteng Bonjol dikepung Belanda, hingga akhirnya jatuh 
pada 17 Agustus 1837. Sumber-sumber pertama (bronnen) yang mencatat pengepungan 
itu pada tahun-tahun terakhir sebelum Bonjol jatuh dapat dibaca dalam karya 
Gerke Teitler, Het einde Padri Oorlog: het beleg en de vermeestering van 
Bondjol 1834-1837: een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan 
Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber]. Amsterdam: De Bataafsche 
Leeuw, 2004). Di dalam buku itu antara lain terdapat “Journaal van de expeditie 
naar Padang onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden door de Majoor 
Sous-Chief van den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis” (hal.59-183). Dalam 
laporan itu dicatat pergerakan harian pasukan Belanda mendekati bonjol. Laporan 
itu dihiasi dengan banyak sketsa mengenai sistem pertahanan Kaum Paderi.

Sulit untuk dibantah bahwa sepak terjang golongan radikal dalam Kaum Paderi 
yang dibidani Tuanku Nan Renceh telah semakin memperkuat keinginan Kaum Adat 
untuk minta bantuan kepada Belanda, karena mereka betul-betul merasa dihinakan 
oleh orang-orang yang masih satu sukubangsa dengan mereka sendiri.

Tuanku Nan Renceh adalah sosok kontroversial: seorang penganjur agama Islam 
tapi dalam melakukan misinya sudah melewati dogma-dogma Islam sendiri. 
Tangannya terlalu banyak berlumur darah sudara-saudaranya sendiri sesama orang 
Minang. Masih untung kekeliruan ini akhirnya disadari oleh Tuanku Imam Bonjol, 
ulama Paderi penerus Tuanku Nan Renceh (lihat Sjafnir Aboe Nain, op cit., hal. 
39, Naskah). Jika Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya tidak bersikap radikal, 
mungkin jalan sejarah Minangkabau (Perang Paderi) akan jadi lain.

Masa lalu tak akan kembali. Tapi “jangan sekali-kali melupakan sejarah”, kata 
almarhum Presiden Sukarno. Untuk konteks kekinian masyarakat kita, kisah Tuanku 
Nan Renceh patut menjadi cermin sejarah bagi generasi Minangkabau dan generasi 
Indonesia pada umumnya, baik kini maupun masa depan, terutama bagi mereka yang 
tangannya menggenggam kekuasaan, yang tak sadar apa akibatnya jika dengan sikap 
radikal dan taklid menjadikan agama sebagai komoditas politik.

----------------------
Suryadi, dosen dan peneliti pada Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en 
Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda (homepage: www.indonesisch.leidenuniv.nl; 
[EMAIL PROTECTED]

---------------------------------
Be a better pen pal. Text or chat with friends inside Yahoo! Mail. See how.

[Non-text portions of this message have been removed]



                         


blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com 
   

       
---------------------------------
Be a better pen pal. Text or chat with friends inside Yahoo! Mail. See how.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke