mbak,
soal "deskripsi" ini saya pernah baca sepintas (bukan pelatihan,
kursus, ataupun kuliah),
ada 2 mazhab.

Mazhab yang ngga suka detil-detil:
- "........," demikian ujar narasumber.

Mazhab yang suka banget tetek-bengek:
-"......," demikian ujar narasumber yang berperawakan kecil, hitam
manis, berkacamata, hobi makan bakso dan rumahnya 5 buah tersebut,
serta minggu depan akan berlibur ke Bali.

Padahal "......" tersebut adalah "Suku bunga diperkirakan akan naik 2%
tahun depan."

nah lo, apa hubungannya?

Koran-koran utama Jepang rata-rata mazhab pertama, barangkali karena
keterbatasan ruang, dan mungkin juga karena hambatan tata bahasa yang
menyulitkan untuk menempatkan anak kalimat yang panjang.
Masih banyak koran Indonesia, bahkan yang beroplah besar, menganut
mazhab kedua, maklum sangat mudah membuat anak kalimat.

pcmiiw, mohon diluruskan dari sudut pandang jurnalisme yang saya kurang paham.
Waktu pertama kali dengar kata "jurnal" dari acara berita olahraga di TVRI dulu,
saya pikir itu singkatan dari "kejuaraan nasional." :-)

salam,



2008/5/31 ritajkt <[EMAIL PROTECTED]>:
> Dulu jaman kuliah saya pernah ngikut pelatihan nulis artikel di
> kampus, yg ngajar wartawan yg mantan model batik keris, jadi keinget
> terus deh :)
>
> Saya jg inget diajarin, kalo nulis artikel (features)itu memang
> harus disebut tuh detail yang ada di narasumber, antara lain ini ya
> termasuk busananya, itu namanya deskripsi.
>
> tentu maksudnya "the devils is in the detail" gitu yah krn gak ada
> potona jadi gimana supaya pembaca tau sikon wawancara itu. Kalo udah
> digiring ke sikap misoginis, pembunuhan karakter ato battle of the
> sexes ya gak boleh, misalnya dengan memojokkan si wanita narsum itu
> lewat tulisan yang "read between the lines" nya membuat pembaca
> berkesimpulan bahwa wanita tersebut jadi PSK krn memakai jeans, dsb,
>
> pcmiiw
>
>

Kirim email ke