65 Tahun Indonesia Merdeka? (Renungan Hari Kemerdekaan NKRI) 

[Al Islam 520] Tak terasa sudah 65 tahun usia “kemerdekaan” Indonesia. Saat
ini tak ada lagi Belanda atau Jepang yang menjadi penguasa dan
pemerintahnya. Namun, kita patut bertanya: Sudahkah rakyat dan bangsa ini
benar-benar merdeka dalam pengertian yang sesungguhnya? 

Memang, setiap 17 Agustus upacara pengibaran bendera dilakukan sebagai
simbol kemerdekaan. Namun, perubahan nasib rakyat negeri ini ke arah yang
lebih baik-antara lain rakyat menjadi sejahtera, adil dan makmur-sebagai
cita-cita kemerdekaan masih jauh panggang dari api. Nasib mereka malah makin
merana, seperti makin lusuhnya bendera sang saka. 

Seharusnya dengan ‘umur kemerdekaan’ yang cukup matang (65th), idealnya
bangsa ini telah banyak meraih impiannya. Apalagi segala potensi dan energi
untuk itu dimiliki oleh bangsa ini. Sayang, fakta lebih kuat berbicara,
bahwa Indonesia belum merdeka dari keterjajahan pemikiran, politik, ekonomi,
hukum, budaya, dll. Indonesia belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan,
kerusakan moral dan keterbelakangan. Singkatnya, Indonesia yang dihuni 237
juta jiwa lebih ini (yang mayoritas Muslim; 87%) masih dalam keadaan
terjajah! 

Pandangan di atas tentu tak mengada-ada. Sebagai contoh, dalam sebuah jajak
pendapat yang dilakukan Harian Kompas, masyarakat menilai banyak aspek dan
kondisi makin buruk saja pada saat ini. Misal, pada aspek keadilan hukum
mereka menyatakan: 59,3% semakin buruk, 13,4%: tetap, 21,6%: semakin baik.
Lalu pada aspek keadilan ekonomi mereka menyatakan: 60,7%: semakin buruk,
15,1%: tetap, 21,1%: semakin baik. Saat berbicara pada aspek peran negara,
ternyata kesimpulannya: peran negara tidak memadai! 

Lalu terkait kemerdekaan, terlihat jelas bahwa masyarakat memandang
Indonesia belum merdeka baik dalam bidang ekonomi (67,5%: menyatakan belum
merdeka), politik (48,9%; menyatakan belum merdeka), budaya (37,1%:
menyatakan belum merdeka). 

Pandangan dan penilaian masyarakat di atas rasanya cukup mewakili pandangan
mayoritas rakyat Indonesia. Merekalah yang merasakan langsung atau bahkan
menjadi obyek penderita dari keterjajahan di berbagai bidang justru di era
“kemerdekaan” saat ini. Jadi, Indonesia merdeka, kata siapa? 

Potret Nyata Keterjajahan 

Dalam rentang waktu 65 tahun, Indonesia masih menyuguhkan potret kehidupan
rakyatnya yang masih memprihatinkan. Dari data BPS yang dibacakan Presiden
SBY (16/8), jumlah penduduk Indonesia 2010 adalah 237.556.363 jiwa. Yang
masuk kategori miskin lebih dari 100 juta penduduk dengan ukuran pendapatan
2 dolar AS/hari. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mengaku tingkat pengangguran terbuka pada
Agustus 2009, mencapai 8,96 juta orang atau 7,87 persen dari total angkatan
kerja sebanyak 113,83 juta orang. Jumlah itu tentu belum termasuk
pengangguran ‘tertutup’ ataupun yang setengah menganggur. Dengan kenaikan
tarif dasar listrik baru-baru ini, angka pengangguran diduga akan bertambah
I juta orang karena akan banyak industri yang melakukan PHK. Di Ibukota
Jakarta saja, lebih dari 73 ribu sarjana saat ini menjadi pengangguran. 

Alhasil, pidato kenegaraan oleh Presiden setiap tanggal 17 Agustus menjadi
tak berarti, karena hanya menjadi ajang “memuji” keberhasilan semu penguasa
dan politik pencitraan. Berbusa-busa Presiden bercerita espektasi RAPBN-2011
dan nota keuangan dengan memaparkan asumsi makro dalam RAPBN 2011:
pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,1 -6,4%; nilai tukar rupiah Rp 9.100-9.400
perdolar AS; inflasi 4,9-5,3%; dll (berdasarkan data BKF/Badan Kebijakan
Fiskal). Pemerintah pun berencana menaikkan kembali gaji pegawai negeri
sipil, TNI dan Kepolisian Negara RI serta pensiunan masing-masing 10 persen
pada tahun anggaran 2011. 

Namun, yang tak bisa diingkari adalah potret kemiskinan rakyat dan
keterjajahan mereka di negeri sendiri. Rakyat dihadapkan pada kenaikan harga
yang makin tidak terkendali, baik bahan pokok (sembako), pupuk pertanian,
biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi, dll. Kebijakan Pemerintah untuk
menaikkan TDL baru-baru ini jelas makin mendongkrok kenaikan harga
kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya. 

Tak ketinggalan, APBN yang 70% sumbernya adalah dari pajak rakyat, sebagian
besarnya justru tidak kembali kepada rakyat. Pasalnya, sebagian dirampok
oleh para koruptor, sebagian untuk membayar utang dan bunganya yang bisa
mencapai ratusan triliun, dan sebagian lagi untuk membiayai kebijakan yang
tidak pro-rakyat. Sebaliknya, anggaran untuk program-program yang pro-rakyat
relatif kecil. 

Pemerintah pun terkesan lebih mengutamakan para pemilik modal ketimbang
rakyat. Contoh: Pemerintah begitu sigap mengucurkan Rp 6,7 triliun (yang
akhirnya di rampok juga) untuk Bank Century; sebaliknya begitu abai terhadap
korban Lumpur Lapindo hingga hari ini. Pemerintah pun tega untuk terus
mengurangi subsidi untuk rakyat di berbagai sektor: pendidikan, pertanian,
kesehatan, BBM dan listrik. Yang terbaru, saat banyak rakyat menjadi korban
akibat “bom” tabung gas elpiji, Pemerintah justru berencana mencabut subsidi
gas elpiji tabung 3 kg. Artinya, harga gas elpiji tabung 3 kg akan dinaikkan
dengan alasan untuk mengurangi kesenjangan (disparitas) harga dengan gas
elpiji tabung 12 kg. Kesenjangan harga ini dituding sebagai faktor utama
yang mendorong terjadinya banyak pengoplosan gas yang sering merusak katup
tabung gas, dan pada akhirnya menimbulkan banyaknya kasus ledakan. Padahal
jelas, kebijakan Pemerintah yang memaksa rakyat untuk mengkonversi
penggunakan minyak tanah ke gas itulah yang menjadi akar masalahnya. 

Dengan menyaksikan sekaligus merasakan fakta-fakta di atas, akhirnya bagi
rakyat kebanyakan kemerdekaan menjadi sebatas retorika! 

Sekadar Klaim 

Di hadapan seluruh anggota DPD dan DPR RI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin
16 Agustus 2010, Presiden SBY mengklaim keberhasilan Pemerintah dalam
pelaksanaan demokrasi, termasuk Pemilukada langsung. Namun masalahnya, klaim
keberhasilan berdemokrasi tidak berbanding lurus dengan tingkat
kesejahteraan yang dirasakan oleh rakyat. Inilah ilusi demokrasi. Seorang
gubernur gajinya sekitar Rp 8 juta, walikota sekitar Rp 6 juta. Namun, saat
hendak merebut kursi kekuasaan, ongkos politik yang mereka keluarkan bisa
mencapai ratusan miliar rupiah. Saat terpilih, mereka dituntut untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih. Tentu, tuntutan itu menjadi mimpi di
siang bolong. Faktanya, kasus korupsi, termasuk di daerah-daerah, meningkat
tajam justru sejak penguasa daerah, juga wakil rakyat daerah, dipilih
langsung melalui Pemilukada. Pada tahun 2010 saja, Presiden SBY sudah
meneken izin pemeriksaan 150 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.
Keadaannya tak jauh berbeda dengan kasus korupsi di pusat kekuasaan,
termasuk di DPR, yang notabene lembaga wakil rakyat. 

Akar Masalah 

Jika kita mau jujur, akar masalah dari semua persoalan di atas ada pada
sistem kehidupan yang dipakai oleh Indonesia. Selama 65 tahun “merdeka”
negeri ini mengadopsi sistem demokrasi-sekular. Demokrasi pada akhirnya
hanya menjadi topeng penjajahan baru atas negeri ini. Pasalnya, melalui
sistem dan proses demokrasilah lahir banyak UU dan kebijakan yang justru
menimbulkan keterjajahan rakyat di negeri ini. UU KHUP masih warisan
penjajah. UU SDA sangat liberal. Demikian pula UU Migas, UU Minerba, UU
Kelistrikan, UU Pendidikan, UU Kesehatan dan banyak lagi UU lainnya.
Sebagian besar UU yang ada bukan saja tak berpihak kepada rakyat, bahkan
banyak yang menzalimi rakyat. Pasalnya, melalui sejumlah UU itulah, sebagian
besar sumberdaya alam milik rakyat saat ini justru dikuasai pihak asing.
Contoh, kekayaan energi termasuk migas (minyak dan gas) di negeri ini saat
ini 90%-nya telah dikuasai perusahaan-perusahaan asing. 

Jelas, rakyat negeri ini sesungguhnya masih terjajah oleh negara-negara
asing lewat tangan-tangan para pengkhianat di negeri ini. Mereka adalah para
komprador lokal yang terdiri dari para penguasa, politikus, wakil rakyat dan
intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing karena syahwat kekuasaan
dan kebutuhan pragmatisnya. Akibatnya, rakyat seperti “ayam mati di lumbung
padi”. Mereka sengsara di negerinya sendiri yang amat kaya. Mereka terjajah
justru oleh para pemimpinnya sendiri yang menjadi antek-antek kepentingan
negara penjajah. 

Kemerdekaan Hakiki 

Jelas, kita masih dijajah. Kebijakan ekonomi masih merujuk pada Kapitalisme,
ideologi penjajah. Di bidang politik, sistem politik yang kita anut, yakni
demokrasi, juga berasal dari negara penjajah. Tragisnya, demokrasi menjadi
alat penjajahan baru. Hukum kita pun masih didominasi oleh hukum-hukum
kolonial. 

Akibatnya, kemiskinan menjadi “penyakit” umum rakyat. Negara pun gagal
membebaskan rakyatnya dari kebodohan. Rakyat juga masih belum aman.
Pembunuhan, penganiyaan, dan kriminalitas menjadi menu harian rakyat negeri
ini. Bukan hanya tak aman dari sesama, rakyat pun tak aman dari penguasa
mereka. Hubungan rakyat dan penguasa bagaikan hubungan antarmusuh. Tanah
rakyat digusur atas nama pembangunan. Pedagang kaki lima digusur di
sana-sini dengan alasan penertiban. Pengusaha tak aman dengan banyaknya
kutipan liar dan kewajiban suap di sana-sini. Para aktifis Islam juga tak
aman menyerukan kebenaran Islam; mereka bisa ‘diculik’ aparat kapan saja dan
dituduh sebagai teroris, sering tanpa alasan yang jelas. 

Karena itu, kunci agar kita benar-benar merdeka dari penjajahan non-fisik
saat ini adalah dengan melepaskan diri dari: (1) sistem Kapitalisme-sekular
dalam segala bidang; (2) para penguasa dan politisi yang menjadi kaki tangan
negara-negara kapitalis. 

Selanjutnya, kita harus segera menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh
kehidupan kita. Hanya dengan syariah Islamlah kita dapat lepas dari
aturan-aturan penjajahan. Hanya dengan syariah Islam pula kita bisa meraih
kemerdekaan hakiki. 

Syariah Islam yang diterapkan oleh Khilafah Islam akan menjamin
kesejahteraan rakyat karena kebijakan politik ekonomi Islam adalah menjamin
kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Negara juga akan memberikan
kemudahan kepada rakyat untuk mendapatkan kebutuhan sekunder dan tersier.
Negara pun akan menjamin kebutuhan vital bersama rakyat seperti kesehatan
gratis, pendidikan gratis dan kemudahan transportasi. Khilafah Islam juga
akan menjamin keamanan rakyat dengan menerapkan hukum yang tegas. Capaian
semua itu berdiri tegak di atas sebuah ideologi yang sesuai dengan fitrah
manusia, menenteramkan jiwa dan memuaskan akal. Itulah ideologi Islam yang
akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Mahabenar Allah Yang berfirman: 

áöáúÚóÇáóãöíäó ÑóÍúãóÉð ÅöáøóÇ ÃóÑúÓóáúäóÇßó æóãóÇ

Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad saw.) melainkan agar menjadi rahmat
bagi alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107). 

Wallahu a’lam bi ash-shawab. [] 

 



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejaht...@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelism...@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    wanita-muslimah-dig...@yahoogroups.com 
    wanita-muslimah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke