RALAT. 
Maaf, text terdahulu tidak lengkap 

Refleksi: Apa yang mereka pertentangkan?  Pertentangan antara pro perbaikan 
kehidupan rakyat dan anti rakyat? Ataukah pertentangan yang  samasekali tidak 
ada sangkut pautnya dengan kepentingan rakyat? 

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/15/OPI/mbm.20081215.OPI129015.id.html

Sang Penantang SBY
TRADISI politik yang akan dibangun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan layak 
ditiru. Sebelum maju ke kancah pemilihan presiden, Megawati Soekarnoputri akan 
mengumumkan susunan menteri kabinetnya-tentu kalau dia kelak memenangi 
pertarungan. Nama calon menteri itu akan dilansir akhir Januari tahun depan, 
sebelum pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 

Penyegaran ala Megawati ini fenomena menarik. Apalagi kalau benar kabinet versi 
partai banteng bermoncong putih itu didominasi kaum muda. Inti pesan Mega 
jelas: dia memberikan kesempatan yang lebih besar kepada muka baru yang 
menjanjikan. Dia memilih mereka yang bukan bagian masa lalu. 

Langkah berani ini tak boleh terhenti sebatas di kabinet. Kalau hendak 
meniupkan angin perubahan, jangan tanggung-tanggung, harus dinisbahkan sampai 
ke pucuk pimpinan partai. Maka pencalonan Mega sebagai presiden mendatang tak 
usah dipatok sebagai harga mati. Meski diputuskan secara aklamasi-dengan 
gegap-gempita, diselingi teriakan histeris dan isak tangis pengikutnya tahun 
lalu-mestinya ketetapan itu bisa ditinjau kembali. 

Mencalonkan kembali Mega for president memang masuk akal dalam jangka pendek 
ini. Semua lembaga survei menyimpulkan: Megalah penantang paling kuat bagi 
Susilo Bambang Yudhoyono, yang sudah menyatakan akan maju lagi. Namun partai 
nasionalis yang punya basis massa besar itu mesti berpikir jangka panjang. Mega 
sudah pernah menjajal SBY, hasilnya pun sudah diketahui. Partai itu perlu figur 
baru, harapan baru. Bukankah sikap bulat untuk terus menggadang-gadang Mega ini 
justru pernah berakhir buruk. Sejumlah tokoh terkemuka partai check out, lalu 
mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan. 

Peran sebagai figur sentral tetap bisa dimainkan Mega tanpa harus bertarung 
kembali dalam pemilihan presiden. Ia bisa menjalankan tugas khusus ini dari 
balik layar, sebagai queen maker, yang melakukan tut wuri handayani; memberikan 
tauladan dari garda belakang. Urusan pencalonan orang nomor satu di Republik 
berikan saja kepada para kader atau figur di luar partai yang, bolehlah, dia 
restui. Tentu ada sederet nama kinclong, baik di dalam maupun di luar partai, 
yang tak diragukan integritasnya. 

Mitos tak ada calon lain sebagai pengganti harus diruntuhkan. Momentum kali ini 
sebaiknya dimanfaatkan untuk menampilkan calon alternatif-mumpung masih ada 
waktu. Kandidat debutan baru nanti tak perlu keder. Toh, mereka tak akan 
dibenturkan dengan nama besar sang Ketua Umum. Agar lebih mantap dan 
menumbuhkan rasa percaya diri, kalau perlu, Mega mendeklarasikan dukungannya 
terhadap kandidat baru ini. 

Mencalonkan kembali Mega mungkin malah menjadi kelemahan. PDI Perjuangan pernah 
suram dalam Pemilihan Umum 2004. Suara partai peduli wong cilik ini merosot 
jauh menjadi 18 persen-bandingkan dengan pemilu sebelumnya, yang sukses meraih 
33,74 persen. Mereka menjadi runner-up di bawah Partai Golkar, yang meraup 21 
persen suara. Hasil buruk ini jelas berkaitan dengan kinerja Megawati ketika ia 
berkuasa. Fakta ini diperkuat oleh kekalahannya dalam pemilu presiden melawan 
SBY, walaupun ketika itu Mega merupakan incumbent. 

Jadi, sudahlah. Rasanya berat bagi Mega untuk bisa menampilkan diri sebagai 
sang penantang. Modal memimpin partai oposisi saja belum cukup. Melawan rezim 
yang kini berkuasa juga tak cukup lewat retorika. Yang susah justru mengubah 
cara pandang masyarakat terhadap sosok yang pernah berkuasa, lalu dijauhi 
pemilih dalam pemilu, dan akhirnya kalah. Pemilihan presiden merupakan umpan 
balik konstituen terhadap seorang pemimpin. Jika dia pernah kalah dalam pemilu, 
apalagi ketika sedang berkuasa, dia harus berpikir seribu kali untuk kembali. 

Sebab itulah alangkah baiknya jika Mega bersikap legowo. Ia tak usah memforsir 
diri untuk terus maju, tapi cukup mendukung kandidat baru dari partainya. Calon 
alternatif yang didukung partai sebesar PDI Perjuangan pasti menjadi kuda 
hitam, dan siapa tahu bisa membuat kejutan. Kalah atau menang, itu tergantung 
rakyat. Bukankah Mega pernah berujar "yang penting negara selamat" ketimbang 
harus berebut menjadi nomor satu. 

Mega dan sekelompok nasionalis sudah membangun partai itu sampai sosoknya 
sekarang. Kini saatnya memilih orang-orang potensial untuk meneruskan perbaikan 
partai. Tidak perlu lagi merunut garis "darah biru" dalam kaderisasi, sebab PDI 
Perjuangan sudah menjadi milik orang banyak, bukan hanya keluarga Bung Karno. 
Satu dari orang-orang potensial itu mestinya ditahbiskan melawan SBY. 

Mampukah Mega melakukannya? Itu tergantung seberapa besar kebesaran hati dan 
kenegarawanan yang ia miliki.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke