Refleksi: Tempat kediaman saya di kampung dikelilingi hutan belukar lebat,
jauh dari keramaian dunia modern dan oleh karena itu baru dengar ada sekolah
tinggi intelejen, mungkin ini sekolah intelejen pertama di dunia yang
diumumkan. Rahasia yang diumumkan menjadi rahasia umum!
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/10/07/04541867/sekolah.tinggi.james.bond.di.sentul
Sekolah Tinggi James Bond di Sentul
KOMPAS/WISNU DEWABRATA
Seorang wisudawan berpose dengan kedua orangtuanya seusai upacara wisuda
pertama di Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Jumat (2/10). Sekolah tinggi itu
dibangun di kawasan perbukitan nan sejuk di daerah Sentul, Bogor, Jawa Barat.
/Rabu, 7 Oktober 2009 | 04:54 WIB
Oleh Wisnu Dewabrata
KOMPAS.com-Wajah cerah nan semringah tergambar jelas di paras para wisudawan
Sekolah Tinggi Intelijen Negara, 2 Oktober lalu, yang menggelar prosesi wisuda
pertama kali di kampus mereka, yang berdiri di kawasan perbukitan sejuk di
wilayah Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Empat tahun mereka kuliah dan menimba berbagai ilmu pengetahuan dan
keterampilan keintelijenan di kampus yang dibangun sejak pertengahan tahun 2004
saat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) masih dijabat AM Hendropriyono.
Suasana wisuda angkatan I dan II, masing-masing terdiri dari 30-an wisudawan
dua program studi, keagenan (agent) dan analis (analyst), itu terkesan tak jauh
beda dengan prosesi serupa di berbagai kampus lain. Banyak orangtua dan kerabat
para wisudawan hadir dalam upacara itu selain para undangan kehormatan seperti
para pejabat intelijen dan tentu saja Kepala BIN Syamsir Siregar beserta
wakilnya, As'ad Said Ali.
Tidak ada kesan angker, kaku, tegang, apalagi berbau-bau militer. Padahal,
tugas teramat berat menanti para lulusan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN)
itu. Menurut Syamsir, para wisudawan sekolah tinggi itu diproyeksikan menjadi
tulang punggung dan generasi penerus intelijen Indonesia setidaknya 10-15 tahun
mendatang. Malah bukan tidak mungkin salah seorang dari mereka bakal menjabat
Kepala BIN menggantikan dirinya.
Beban berat lain boleh jadi dengan tepat, singkat, dan padat diilustrasikan
As'ad dalam orasi ilmiah yang ia sampaikan saat itu. Menurut dia, sosok
intelijen adalah mereka yang, Jika berhasil (menjalankan tugas) tidak dipuji.
Jika gagal dicaci maki. Jika hilang tidak akan dicari. Dan jika mati tidak ada
yang mengakui.
Hidup serba dalam bayang-bayang keserbarahasiaan. Bahkan sejak saat masih
berkuliah. Hal itu dibenarkan Ketua II STIN Supono Sugirman, yang hari itu
menemani para wartawan berkeliling mendatangi sejumlah fasilitas perkuliahan
dan asrama tempat tinggal di STIN.
Kalau ditanya kuliah di mana, anak-anak sudah paham harus menjawab apa. Hanya
keluarga mereka yang diberi tahu kondisi sebenarnya, termasuk juga soal akan
jadi apa anak-anak mereka nanti, seperti apa pekerjaan dan risikonya, ujar
Supono sambil tersenyum.
Menurut Supono, keluarga harus tahu. Dalam dunia intelijen, perlindungan oleh
keluarga adalah perlindungan terbaik. Hal serupa, menurut dia, juga dilakukan
oleh para teroris.
Setiap tahun STIN merekrut 30-an mahasiswa untuk dididik selama empat tahun
dalam jenjang strata satu, dengan gelar sarjana intelijen (S In). Selain ilmu
keintelijenan, para mahasiswa juga dididik dengan bekal keilmuwan lainnya
sebagai pendukung, seperti ekonomi, sosial, politik, eksakta, budaya, dan
banyak lagi. Mereka juga diwajibkan menguasai bahasa asing selain Inggris,
seperti Mandarin, Arab, dan Perancis.
Para pengajarnya pun didatangkan khusus dari dosen-dosen terbaik dari semua
perguruan tinggi negeri terkenal di negeri ini. Para pengajar tamu juga
didatangkan dari kalangan praktisi terbaik di bidangnya.
Pola perekrutan mahasiswa baru digelar secara khusus. Bersama BIN, pihak STIN,
dengan dibantu instansi terkait lain seperti Departemen Pendidikan Nasional,
membentuk tim khusus untuk memburu para siswa berprestasi dan memiliki
kecerdasan di atas rata-rata dari seluruh pelosok Indonesia. Setelah
dikumpulkan, mereka dites kembali oleh STIN.
Kami di sini akan mendidik mereka dari sekadar anak cerdas menjadi lebih
cerdas lagi. Mereka kami ambil dari berbagai sekolah yang menerapkan sistem
asrama (boarding school). Tujuannya agar sejak awal mereka sudah terbiasa hidup
disiplin. Orang cerdas tetapi tidak disiplin bisa jadi orang yang berbahaya,
ujar Supono.
Sementara itu, Kepala STIN Sutjahjo Adi menegaskan, STIN mendidik calon
prajurit perang pikir, bukan fisik. Perdebatan akademis diwajibkan. Para
mahasiswa dipersilakan berargumen sekeras mungkin, tetapi tidak boleh bentrok
fisik.
Pihak STIN melarang, apalagi menerapkan cara-cara kekerasan, baik di antara
para pengajar dengan peserta didik maupun antarmahasiswa. Hal itu sesuai dengan
slogan pendidikan STIN, Cendikia Waskita. Hubungan antar yunior dan para
senior (wisudawan), seperti terlihat sepanjang kegiatan wisuda, juga
membuktikan klaim Adi tadi. Bagi mereka yang melanggar, sanksi