Refleksi: Bagi yang tidak biasa atau tidak mau disuap tentunya susah atau malah 
tidak mungkin menelan suapan, tetapi bagi yang rindu atau suka disuap seperti  
para petinggi penguasa NKRI tentunya tidak usah mengunyak karena yang  
dibutuhkan ialah kemampuan  menelan suapan.  Mereka yang senang menelan suapan, 
pada umumnya mudah dikenal dari bentuk badan, mereka  gemuk bin kegemukan, 
tidak ada gejala  berkekurangan gizi seperti rakyat jelata yang sering 
diberitakan berkelaparan,  kekurangan gizi, kesurupan, diare dan ditimpa 
berbagai bencana duniawi maupun langitan seperti kebanjiran abadi. 
Dirgahayu NKRI harga mati!

http://www.antara.co.id/arc/2009/2/11/suap-enak-dikunyah-susah-ditelan/

11/02/09 13:22

Suap Enak "Dikunyah" Susah Ditelan
oleh Miskudin Taufik


Bagi praktisi hukum termasuk aparat penegak hukum, kata "suap" pasti tidak 
terlalu asing, apalagi mereka yang pernah berhadapan langsung dengan dosen ilmu 
hukum, Prof Satochid Kartanegara yang dengan lelucon melukiskan suap ibarat 
permen karet, enak dikunyah tapi susah untuk ditelan.

Sindiran tersebut, secara kebahasaan sebenarnya hanyalah sebagai frasa biasa 
dan bukan bentuk kritik, tetapi sebaliknya sempat memancing petinggi Operasi 
Tertib (Opstib) pada tahun 1970-an berang dan kebakaran jenggot.

Kritik sang-dosen ini, bukan hanya didengar mahasiswa di depan kelas tetapi 
belakangan menjadi ungkapan keprihatinan masyarakat luas saat itu lantaran 
banyak oknum yang mengenyampingkan tindak kejahatan suap dibanding kejahatan 
korupsi, hingga akhirnya presiden Soeharto memerintahkan komandan Opstib 
Laksamana Soedomo untuk memberantas kedua penyakit masyarakat tersebut sampai 
keakar-akarnya.

Tetapi suasana penegakan hukum saat ini jauh berbeda, karena masyarakat dengan 
mudah menonton aparat penegak hukum "mengunyah" suap dimana-mana, di jalan 
raya, di kantor-kantor hingga di hotel-hotel tanpa rasa malu dan tanpa merasa 
melanggar hukum seperti yang diuraikan pasal pasal 209 dan 210 Kitab 
Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) yang mengatur soal suap-menyuap dengan 
ancaman sanksi penjara dua hingga tujuh tahun penjara.

Jaman seakan mengikuti trend, tanpa memperhatikan substansi tentang akar 
masalah yang mengganggu kehidupan masyarakat tentang gangguan itu, malah 
belakangan dengan adanya Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) malah tindak 
kejahatan korupsi yang lebih dicari dibanding suap.

Tidak salah jika penemuan kasus korupsi jauh lebih "bombastis" dan penemunya 
mendadak "beken", lantaran media massa turut membesar popularitasnya, sementara 
peristiwa pidana yang terjadi rutin dan terang-terangan malah kurang tersentuh 
lembaga penegak hukum itu.

Jika lagi iseng, coba saja duduk santai di atas gedung di jalan Merdeka Selatan 
Jakarta, mengamati perilaku polisi lalu lintas yang sedang menunggu "mangsa" di 
Bunderan Bank Indonesia. Hampir setiap empat hingga enam menit, ada saja 
kendaraan yang salah jalan dan kemudian "cin-cincai" dengan aparat.

Lupa dari kebijakan

Bukan tidak disengaja KUHP jauh-jauh hari mengatur tentang suap, karena selain 
menyentuh rasa keadilan masyarakat juga merusak citra pemerintah. Suap malah 
jauh lebih tua usianya dibanding korupsi yang belakangan beberapa kali diatur 
melalui Undang-Undang.

Pengaturan pasal tentang suap, sudah ditemukan sejak pemerintah kolonial 
Belanda seperti yang tertuang dalam "algemeen strafrecht" atau pidana lokal 
dalam bentuk "plaatselijk strafrecht" yang belakangan dikenal dengan Peraturan 
Daerah (Perda).

Tetapi masih saja belum terjawab, apakah "lupa" atau sengaja dikesampingkan 
dalam kebijakan pemerintah (political will) untuk memberantas penyakit akut 
ini, karena dari awal berdirinya lembaga pemberantasan korupsi sejenis Opstib 
hingga berkali-kali ganti baju menjadi KPK, selalu terkesan "dianaktirikan" 
dari sentuhan penegakan hukum.

Kurang bukti? Ini alasan klasik yang kadang-kadang rakyat terbahak-bahak 
mendengarnya, karena sudah banyak pemantau dan pemerhati tentang tindakan 
polisi, jaksa, hakim, dan pegawai negeri sipil lainnya yang bergiat dalam dunia 
suap, sogok dan sejenis cincai-cincai tadi. 

Beberapa waktu lalu, LSM Transparency International (TI) Indonesia dengan telak 
menyingkap temuannya dengan menyebut, institusi kepolisian berada di urutan 
pertama dari indeks suap yang terjadi diantara 15 institusi publik milik 
pemerintah, dengan indeks suap di tubuh kepolisian mencapai 48 persen dari 100 
persen yang seharusnya melayani publik dengan baik selama tahun 2008. 

Angka 48 persen tersebut hendaknya dibaca adalah hampir setengah dari total 
interaksi jajaran kepolisian terlibat suap dan ini rekor tertinggi diantara 
institusi publik lainnya yang rawan terjebak perbuatan suap seperti Bea Cukai 
(41 persen), Imigrasi (34 persen), DLLAJR (34 persen), Pemerintah kota (33 
persen), BPN (32 persen) Pelindo (30 persen), Pengadilan (30 persen), Dephumkan 
(21 persen), Angkasa Pura (21 persen), pajak daerah (17 persen), Depkes (15 
persen), pajak nasional (14 persen), BPOM (14 persen) dan MUI (10 persen). 

Menurut KUHP, seseorang yang dapat dihukum penjara adalah mereka yang berstatus 
pegawai negeri termasuk polisi, hakim, jaksa dan sejenisnya tetapi tidak 
berlaku bagi mereka yang bukan berstatus tersebut seperti MUI. Tetapi jika data 
TI tersebut ditindak lanjuti maka paling tidak pemerintah menambah ruang 
penjara baru untuk kapasitas satu sampai dua juta orang nara pidana yang khusus 
menampung terpidana "suap. (*)

COPYRIGHT © 2009


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke