Senin 23 Juni 2008, Advokasi Anti Ahmadiyah selaku Kuasa Hukum Al-Habib
Muhammad Rizieq Syihab, Mendatangi Kantor Majalah TEMPO untuk menyampaikan
HAK JAWAB HABIB RIZIEQ terhadap CATATAN PINGGIR GOENAWAN MOHAMAD di majalah
TEMPO edisi 16-22 Juni 2008 yang telah secara BIADAB penuh sikap RASIS dan
FASIS menghina Habib Rizieq dan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Namun ternyata
majalah TEMPO hingga saat ini tidak sudi memuat HAK JAWAB tersebut.
Karenanya, wajar jika dari balik sel tahanan Habib Rizieq Syihab menyerukan
Umat Islam : "SUDAH WAKTUNYA UMAT ISLAM MEMBOIKOT TEMPO !" Berikut ini HAK
JAWAB HABIB RIZIEQ yang TEMPO takut memuatnya disebarkan ke seluruh dunia :





*Si goen*



Setelah membaca catatan pinggir si goen dalam majalah tempo edisi 16-22 Juni
2008, saya rasakan sel tahanan yang semula sempit dan pengap, berubah
menjadi luas dan nyaman.



Tadinya, saya enggan menulis tanggapan ini, tapi karena si goen bertanya dan
memantang, maka saya gunakan HAK JAWAB saya. Di sini saya sengaja menulis
namanya dengan singkat "si goen", itu pun cukup dengan huruf kecil. Bagi
saya huruf besar hanya untuk orang yang besar, palagi nama MUHAMMAD hanya
untuk orang mulia.



Saya senang dengan catatan pinggir si goen, bahkan saya sempat tertawa saat
membacanya. Bagaimana tidak? Bukankah hal yang sangat membahagiakan ketika
kita mendapatkan "musuh" galau dan panik, apalagi depresi berat, ketakutan
dan hilang kontrol.



Anehnya, si goen yang selama ini tidak pernah memuji pemerintah, tiba-tiba
melalui catatan pinggirnya menjilat Polisi, Jaksa, Hakim hingga Presiden.
Kenapa? Takut atau cari muka? Mungkin si goen sedang depresi, takut dituntut
dan diperiksa sebagai "biang kerok" insiden Monas? Atau si goen sedang
ketar-ketir kedoknya terbuka sebagai antek asing? Atau si goen sedang
bingung hilangkan jejak dana asing ratusan juta dolar yang diterimanya
bersama "gang" akkbb, dari bosnya di amerika, melalui asia foundation ford
foundation, usaid, ndi, rockefeller, dll?



Lebih anehnya lagi, si goen ingin "menggurui" saya dan Al-Ustadz Asy-Syeikh
Abu Bakar Ba'asyir tentang iman, ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, dan
Pancasila.



Lucu, si goen dan "gerombolannya" yang selama ini mati-matian membela
pornografi, pornoaksi, sex bebas, homo sex, lesbi, nabi palsu, aliran sesat.
Bahkan menghina Allah dan Rasul-Nya, memfitnah Iskam dan Al-Qur'an. Dia
ingin menggurui kami? Itukah "iman" dan "ketuhanan" yang ingin diajarkan si
goen kepada saya dan Syeikh Ba'asyir?!





Sejak kapan si goen mengenal kemanusiaan dan keadilan? Saat "geng" si goen
"dikemplang bambu" oleh Komando Laskar Islam (KLI) pimpinan Sang Pahlawan
Munarman, teriakan si goen dan "gerombolannya" keras sekali. Namun dimana
suara mereka untuk ribuan Umat Islam yang "dibantai dengan sadis" di Sampit,
Sambas, Ambon, dan Poso? Mana pula suaranya untuk Kasus Banyuwangi?



Selain itu, si goen ini getol betul membela pki, bahkan nekat
memutar-balikan fakta sejarah dengan mengatakan bahwa pki sebagai "korban
pembantaian". Lalu bagaimana dengan kebiadaban pki yang telah membakar
pesantren, membantai santri, membunuh kyai, menculik jenderal, mengkhianati
negara, mengangkangi Pancasila? Kemanusiaan dan keadilan itukah yang ingin
ditunjukkan si goen kepada saya dan Ustadz Ba'asyir?!



Soal Pancasila, lagi-lagi si goen sok menggurui. Saya ingin bertanya:
Pancasilais kah orang maca berikut ini: yang membela pki sang pengkhianat
Pancasila? yang ingin memperkosa kawan gadis "lsm"nya sendiri? yang membayar
orang miskin untuk demo tentang apa yang tidak mereka paham? yang menipu
orang kampung dengan janji wisata ke Dunia Fantasi-Ancol, ternyata diajak
demo di Monas? Yang membohongi publik dengan publikasi foto Panglima KLI
yang sedang mencekik anak buahnya sendiri, lalu dipelintir menjadi berita
Panglima KLI mencekik anggota gerombolan akkbb? Yang menerima dana asing
untuk memecah belah bangsa? Yang menjadi antek asing? Yang membentuk atau
mendukung lsm-lsm komprador yang menjadi antek asing? Yang  menjual harkat
dan martabat bangsa dengan dolar?



Pantaskah orang macam itu bicara Pancasila? Orang model itukah yang ingin
menggurui saya dan Amir MMI?!  Memalukan sekali.  Orang yang tidak bermoral
bicara tentang moral. Orang yang rasis dan fasis berbicara tentang
kekeluargaan dan persamaan.



Saya ingatkan anda goen: Indonesia memang bukan Arab dan Turki, tapi jangan
lupa Indonesia bukan amerika! Indonesia memang bukan negara Agama, tapi
Indonesia juga bukan negara syetan yang kau bisa seenaknya menistakan agama
dan budaya.



Indonesia adalah Indonesia, negeriku tercinta, yang takkan kubiarkan orang
macammu untuk merusak dan menghancurkannya. Aku anak Indonesia dan kau
gundik amerika.



Ingat, orang yang hidupnya hanya berpikir tentang apa yang masuk ke
perutnya, maka harga dirinya sama dengan apa yang keluar dari perutnya.



Jakarta, 21 Juni 2008



*Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab*

Ketua Umum Front Pembela Islam



-------

 *2.  Salinan CATATAN PINGGIR GOENAWAN MUHAMMAD di Majalah Tempo 16-22 Juni
200*8



Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemen
dimaklumkan pada pertengahan Juni yang panas: "SBY Pengecut!"

Yang membacakannya Abu Bakar Ba'asyir, disebut sebagai "Amir" Majelis
Mujahidin Indonesia, yang pernah dihukum karena terlibat aksi terorisme.
Yang bikin statemen Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam, yang sedang
dalam tahanan polisi dan hari itu dikunjungi sang Amir.

Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang.
Suara itu tak membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam sel
pengap, atau dipancung.

Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Ba'asyir! Ini bukan
Turki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun
2008.

Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan boleh
dikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalah
sebelum hakim tertinggi memutuskan, dapat kesempatan membuat maklumat,
bahkan mengecam Kepala Negara.

Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan dengan
hati-hati--karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan berendah hati dan
beradab. Berendah hati: mereka secara bersama atau masing-masing tak boleh
meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena dengan
kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk membela
diri; ia bukan hewan untuk korban.

Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba'asyir, sebab itu
pelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepada hakim,
jaksa, polisi--juga tak bisa digantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua
FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan
manusia.

Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya
kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna
yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata
lain, iman adalah kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk,
dan dibentuk, sebuah etika kedaifan.

Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di
17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak dari
kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orang tanpa
konflik sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaik
mengelola sengketa.

Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya baca
sebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun oleh
orang-orang Indonesia yang prihatin: "… *ternyata, sejarah Indonesia tidak
bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan
Darul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an.
Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik
antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua,
sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir."*

Ingatkah, Saudara Ba'asyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudara
berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita
menyelesaikan sengketa dengan benci, kekerasan, dan sikap memandang diri
paling benar? Saudara berdua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbau
agar Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut
"bhineka-tunggal-ika". Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu.

Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya dengan
meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda
untuk memperbaiki keadaan. Indonesia yang rumit ini tak mungkin berilusi ada
sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna--dengan
mengklaim diri sebagai buatan Tuhan--akan tertutup bagi koreksi, sementara
kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu dikoreksi.

Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dirumuskan.

Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinya--dan itulah
yang membuat Saudara tak dipancung karena mengecam Kepala Negara.

Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah
dan geografi tanah air ini--di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan itu
takdir kita, tapi di mana kerja bersama diperlukan.

Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi
lokal, "gotong-royong". Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dan
disalahgunakan, tapi sebenarnya ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno:
"gotong-royong" itu "paham yang dinamis," lebih dinamis ketimbang
"kekeluargaan".

Artinya, "gotong-royong" mengandung kemungkinan berubah-ubah cara dan
prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan
primordial, ikatan "kekeluargaan". Sebab, ada tujuan yang universal, yang
bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja--"yang kaya dan yang tidak kaya,"
kata Bung Karno, "yang Islam dan yang Kristen", "yang bukan Indonesia tulen
dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia."

"Gotong-royong" itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab,
sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama
Tuhan--atau justru karena membawa nama Tuhan--siapa pun, juga Saudara
Ba'asyir dan Saudara Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karno
sebagai "egoisme-agama."

Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah
air ini akan jadi tempat yang mengerikan jika "egoisme" itu dikobarkan.
Pesan 1 Juni 1945 itu patut didengarkan kembali: "Hendaknya negara Indonesia
ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara
leluasa."

Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab dan
Ba'asyir. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa?

Goenawan Mohamad


[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Anak Muda Islam mailto:[EMAIL PROTECTED]

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment 
....Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke