Wali Songo: Penebar Benih Toleransi Atau Penyesatan?
Posted in January 29th, 2008


Buya Aziz Aru Bone

Beberapa hari lalu, The Wahid Institute mengirimkan sebuah email
undangan diskusi bertema, "Kontribusi Para Sufi dalam Membangun
Toleransi Beragama di Indonesia." Undangan tersebut di-posting-kan ke
sejumlah milis. Selain merinci waktu dan tempat, disebutkan juga
narasumber diskusi itu adalah KH A. Mustofa Bisri dan DR. Abdul
Moqsith Ghazali.


Pada undangan itu dipaparkan pengantar diskusi sebagai berikut:

"Kerukunan antar-umat beragama di Indonesia tak terlepas dari peran
para sufi. Wali Songo adalah deretan sufi yang berhasil meletakkan
fondasi kerukunan beragama di Indonesia. Mereka berdakwah dengan
pendekatan sufistik. Berbeda dengan para ahli fikih yang cenderung
legal-formalistik, maka para sufi mendekati Islam dari sudut hati
nurani. Dengan cara itu, para sufi tak mengalami hambatan formal
keagamaan untuk berjumpa dan bertukar pikir dengan umat agama lain.
Bagi sufi, semua manusia adalah makhluk Tuhan yang perlu dihargai.
Sufi tak mempeributkan bentuk-bentuk formal. Lihatlah, banyak bangunan
mesjid yang dibangun para sufi dengan menyontoh arsitektur pura dan
gereja. Yang inti bagi sufi bukan sebuah bangunan ibadah, seperti yang
kini ramai diperdebatkan, melainkan merenovasi moral orang-orang yang
sembahyang (shalat) dalam bangunan itu."

Membaca pengantar di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa
abstraksi diskusi itu mengklaim beberapa poin; pertama, para Wali
Songo adalah sosok toleran-inklusif karena mereka sufi yang hanya
mementingkan aspek esoteris agama dan tidak meributkan hambatan formal
keagamaan. Kedua, paradigma sufistik adalah pandangan keislaman yang
paling toleran-inklusif dibanding pandangan fiqh yang cenderung
legal-formalistik. Karena itu para sufi diklaim lebih toleran-inklusif
dibanding ahli fiqh (faqih/jusrist). Ketiga, tingginya sikap
toleran-inklusif masyarakat Indonesia, diklaim erat kaitannya dengan
pola dakwah sufistik para Wali Songo.

Menurut saya, tiga hipotesis tersebut terlampau simplistis (untuk
menghindari penggunaan kata mengada-ada). Untuk itu, saya ajukan tiga
argumentasi untuk membantah tiga poin yang diklaim dalam abstraksi
diskusi tersebut:

Pertama: Tasawuf yang berkembang dan diterima luas oleh kaum muslimin
Indonesia bahkan muslim dunia, adalah tasawuf bercorak sunni yang
diantara tokoh pentingnya adalah Al Ghozali. Corak tasawuf sunni yang
dipengaruhi Al Ghozali lah yang dianut dan disebarluaskan para Wali
Songo di Nusantara.
Maka seperti halnya Al Ghozali yang mengkafirkan sejumlah pandangan
para filosof dan dengan demikian juga menolak (baca:
mengkafirkan/mensesatkan) sejumlah pandangan corak tasawuf yang
dipengaruhi filsafat helenisme, yakni, tasawuf falsasi, maka para Wali
Songo juga demikian. Mereka memvonis sesat, bahkan mengeksekusi mati
Syekh Siti Jenar yang merupakan tokoh tasawuf falsafi di masa Sunan
Kalijaga, salah satu Wali Songo.

Sebelum menimpa Syekh Siti Jenar, pengkafiran dan eksekusi mati yang
dilakukan para tokoh tasawuf sunni juga menimpa beberapa tokoh tasawuf
falsasi lain, seperti, Ibn 'Arabi, Al Jilly, Sukhrawardi Al Maqtul,
Siti Jenar dan Hamzah Fansuri di Aceh. Semua nama itu menemui ajal di
tiang gantungan dan diujung tajam karena keyakinan sufistiknya yang
berbeda dengan tasawuf sunni.

Secara umum dapat dikatakan, para penganut tasawuf sunni mengkafirkan
dan mengeksekusi mati para penganut tasawuf falsafi (terminologi
tasawuf sunni dan tasawuf falsafi juga digunakan oleh Ketua
Perhimpunan Sufi Mesir, Dr. Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani dalam
bukunya yang berjudul, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam) disebabkan
beberapa konsep atau doktrin tasawuf falsafi yang dinilai kafir dan
sesat, seperti, konsep wahdah al-wujud, tajalli, insan kaamil dan
wahdah al-adyan.

Dalam konteks problematika kehidupan antar-umat beragama saat ini yang
meletuskan api konflik antar agama, maka konsep-konsep tasawuf falsafi
tersebut memberikan pijakan tradisi untuk mengembangkan sikap dan
penafsiran keislaman yang inklusif dan pluralis yang menembus batas
sekat-sekat agama formal untuk sama-sama memupuk dan berbagi kebaikan
bagi sesama manusia sebagai perwujudan ibadah pada Allah sebagai
sumber segala wujud, sumber segala agama dan seterusnya.

Karena itu, menurut saya adalah tidak berdasar jika deretan Wali Songo
dinilai sebagai para sufi yang toleran-inklusif yang tidak menjadikan
agama formal sebagai sekat penghalang.

Pasalnya, selain karena doktrin tasawuf sunni menolak konsep-konsep
penting inklusifisme keagamaan di atas, Wali Songo juga melakukan
preseden buruk menvonis sesat dan mengeksekusi mati Syehk Siti Jenar
karena perbedaan keyakinan sufistik.

Kalau pun deretan Wali Songo bersikap akomodatif dan adaptif terhadap
produk budaya Hindu-Kejawen seperti yang tampak pada arsitektur
masjid, wayang dan seterusnya, hal itu bukanlah berangkat dari
kesadaran ajaran sufisme-sunni yang mereka anut. Melainkan, hanya
sekadar langkah taktis-strategis berdakwa guna merangkul kalangan
rakyat bawah yang saat itu belum mampu melepaskan diri dari pengaruh
Hindu-Kejawen. Tak bedanya dengan langkah taktis-strategis yang
ditempuh para Wali Songo merangkul para petinggi kerajaan melalui
taktik diplomatik-kultural dan pernikahan untuk masuk dalam pusaran
kekuatan politik, lalu mendirikan Kerajaan Mataram.

Kedua: Terkait klaim poin kedua dalam abstraksi tersebut. Kalau pun
terpaksa harus membandingkan sikap toleran-inklusif antara para sufi
dengan para fuqoha, maka saya hanya sepakat bahwa sikap
toleran-inklusif hanya bagi para penganut tasawuf falsafi, bukan
tasawuf sunni yang dalam sejarah sufi berulangkali melakukan vonis
sesat dan mengeksekusi mati yang tidak sekeyakinan dengannya.

Hal lain, adalah lagi-lagi terlampau simplistis kalau berbasiskan
akomodasi produk budaya Hindu-Kejawen, seperti, yang tergambar dalam
arsitektur bangunan dan wayang, untuk kemudian dijadikan basis
argumentasi bahwa para sufi lebih toleran-inklusif dibanding para ahli
fiqh. Pasalnya, dalam kajian ushul fiqh klasik terdapat sejumlah
konsep yang mengakomodasi aspek kultural-tradisi masyarakat dalam
penetapan hukum. Seperti konsep masholih al-mursalah, 'urf, dan
lain-lain.
Selain itu, dikotomis-konfrontatif sufi versus faqih juga sama sekali
tidak menemukan signifikansi karena para tokoh sufi adalah juga
seorang faqih, ahli tafsir, ahli hadist, ahli kalam dan seterusnya.

Sekadar contoh, beberapa nama-nama besar seperti As Syafii arsitek
ushul fiqh, bukan saja Faqih tapi juga Ahl Hadist. Al Ghozali pembela
utama tasawuf sunni, bukan saja seorang sufi-filasof, tapi juga
seorang faqih. Ibn Rusdy, beliau bukan saja sufi-filsof, tapi juga
seorang faqih. Imam Malik, juga bukan saja seorang faqih, tapi juga
ahli hadist dan saya yakin juga sufi. Abu Hanifah, bukan saja faqih
tapi juga seorang ahli kalam dan sufi. Al Qusyairy An Naisabury, bukan
saja seorang Sufi, tapi juga ahli Sastra, ahl hadist dan faqih.
Demikian juga dengan As-Suyuthi dan para penulis kitab-kitab hadist
yang enam (kutub as-sittah) seperti, Bukhori, Muslim, Nasa'i, Ibn
Majah, Abu Daud, At-Tirmidzi, mereka bukan saja ahli hadist tapi juga
sufi dan ahli fiqh. Hal ini tampak jelas pada penyusunan bab-bab dalam
karya-karya kitab hadist mereka disusun berdasarkan penyusunan masalah
fiqhiyah dan syarat dengan hadist-hadist sufistik. Saya juga pun
yakin, para Wali Songo selain sufi, juga ahli fiqh, ahli hadist dan
sejumlah disiplin studi keislaman klasik lainnya.

Ketiga: Dengan penjelasan di atas, maka saya mempertanyakan, apakah
benar mengklaim bahwa pola dakwah sufistik Wali Songo yang
beratus-ratus tahun lalu berperan signifikan membangun toleransi
keberagamaan antar umat beragama Indonesia kini? Atau jangan-jangan,
toleransi yang tercipta selama Orde Baru hanyalah merupakan produk
dari rekayasa sosial Orde Baru yang mengorientasikan stabilitas untuk
tujuan-tujuan pembangunan sesuai ideology pembangunanismeyang
tercermin dalam GBHN hasil enam kali pemilu Orde Baru. Karenanya,
semenjak Orde Baru berakhir dan kontrol negara terhadap kehidupan
sosial-keagamaan berkurang jauh, seiring dengan itu radikalisasi
keagamaan pun tumbuh marak bak jerawat di wajah perawan. Dalam batas
tertentu, boleh jadi vonis sesat sesama kaum muslimin juga terispirasi
preseden penyesatan Wali Songo kepada Syekh Siti Jenar. Wallahu a'lam
bi as-showab.

Penulis adalah wartawan di Indonesia.

Email : [EMAIL PROTECTED]

Blog:
http://www.buyaku.blogspot.com

Kirim email ke