www.rahima.or.id

Yang Luput; Pendidikan Perempuan 
Oleh Ala'i Najib

Ibu adalah sekolah bangsa jika engkau persiapkan seorang Ibu dengan 
baik, maka engkau sedang menyiapkan bangsa yang tangguh. Inilah kata 
hikmah yang tidak pernah saya lupa setiap berbicara tentang perempuan 
dalam banyak aspeknya. Sebab pendidikan dimana proses belajar di 
ruang formal maupun non formal terjadi, adalah syarat bagi 
keberhasilan melakukan "transaksi" kehidupan. Di negeri ini, tak 
kurang R.A.Kartini sampai Rasuna Said berjuang untuk pendidikan kaum 
perempuan. Nasib perempuan, bagaimanapun hebatnya dibicarakan dan 
diseminarkan, masih menjadi ironi. Jika ada kemiskinan di sebuah 
negeri, maka perempuanlah kelompok yang paling miskin, jika ada 
kelompok buta huruf, maka perempuanlah yang banyak buta huruf (Ann 
Hartfiel, In Support of Women: Ten Years of Funding by The Inter-
American Foundation September 1982, p.2).

Di Indonesia, statistik perempuan menunjukkan ketimpangan yang 
menyolok. Ini bisa dilihat misalnya Statistik Indonesia untuk 
pendidikan dan kebudayaan yang dikeluarkan Bappenas 1997 menunjukkan 
bahwa antara tahun 1980-1990, angka masuk sekolah laki-laki dan 
perempuan selalu lebih rendah dibanding laki-laki dan semakin tinggi 
tingkat pendidikan semakin kecil siswa perempuannya.

Jika dirunut ketimpangan pendidikan perempuan dikarenakan masyarakat 
masih berpandangan male oriented, pandangan yang mengedepankan 
pendidikan laki-laki daripada perempuan. Dengan konsep bahwa anak 
laki-laki kelak menjadi kepala keluarga, maka sebuah keluarga dimana 
terdapat anak laki-laki dan perempuan dengan ekonomi pas-pasan pasti 
akan mendahulukan pendidikan tinggi anak laki-lakinya daripada anak 
perempuan. Anggaran pemerintah terhadap pendidikan di banyak negara -
terutama negara berkembang- memang lebih kecil dibanding anggaran 
yang lain, hal ini menyebabkan pendidikan bukan saja konsumsi mewah 
yang tak banyak dijangkau masyarakat umum, namun juga menciptakan 
masyarakat berkelas; orang awam dan orang berpendidikan. Boleh 
dikata, hanya yang punya uang yang mampu sekolah, sebab ternyata 
beasiswa tidak untuk semua orang. Kemiskinan tentu bukan satu-satunya 
sebab yang memarginalkan pendidikan perempuan, male oriented juga 
paralel dengan budaya yang kuat mengakar bahwa perempuan tidak 
sepantasnya berpendidikan tinggi karena nanti hanya akan ke dapur. 
Persepsi ini tidak diluruskan bahwa peran di dapurpun menuntut 
pengetahuan. Tanpa tahu nutrisi yang baik, mustahil perempuan bisa 
menyiapkan menu yang sesuai dengan kebutuhan gizi keluarga. Koran 
Tempo edisi November menurunkan laporan bahwa mempunyai istri yang 
cerdas lebih menguntungkan terutama dalam hubungannya dengan gizi 
keluarga, tapi tidak sebaliknya, kalau seseorang mempunyai suami 
cerdas.Budaya bahwa perempuan adalah konco wingking, sehingga tak 
perlu dididik juga turut mensubordinatkan perempuan. Fakta-fakta di 
atas menunjukkan betapa pendidikan -dalam arti yang sebenar-benarnya- 
bagi perempuan bukan ketertinggalan yang harus dikejar, tapi 
dilanggengkan. Memang banyak perempuan sekarang yang sudah memegang 
peranan penting, tapi itu hanya representasi kecil yang belum 
mencapai keterwakilan penduduk di muka bumi dan harus dicatat tidak 
semuanya punya sense of gender. Sulitnya, lingkungan pendidikan 
keagamaan juga turut berperan membentuk persepsi ini, lihatlah 
misalnya; seorang perempuan yang masuk fakultas kehutanan, mestilah 
ia bercita-cita menjadi insinyur kehutanan, tapi apakah ada di 
pesantren perempuan, santrinya berani bercita-cita menjadi ibu Nyai? 
yang mengajar di pesantren? Sebaliknya laki-laki, nyarisnya semuanya 
diproyeksikan jadi: "Kyai". Kalau ini terjadi secara simultan, 
bagaimana kita mengharapkan, nanti yang mengajar fikih, tafsir atau 
disiplin ilmu keagamaan lain perempuan? Padahal posisi ini sangat 
penting, sebab pengajaran keagaamaan yang berperspektif gender bisa 
digerakkan sebab guru atau bu Nyai yang merupakan tokoh kunci. Selain 
faktor-faktor di atas, adanya trend bahwa perempuan yang sekolah 
tinggi kemudian tidak mengembangkan karirnya dan memilih kembali ke 
ruang domestik menimbulkan persepsi bahwa memang tugas perempuan 
adalah mengurus rumah tangga dan ini tidak dianggap sebagai pilihan 
sadar individu.
Faktor-faktor diatas juga sebenarnya kita sadari telah dikembangkan 
secara budaya, dikukuhkan oleh negara, mungkin dinikmati laki-laki 
dan juga diamini perempuan, tetapi benarkah ketertinggalan ini 
dilegitimasi penafsiran agama? 
Bagaimana sebenarnya teks-teks agama menjelaskan duduk soal 
pendidikan perempuan? Wahyu pertama (QS. 96:1) misalnya dipahami 
sebagai perintah iqra', membaca, daras yang wajib untuk seluruh kaum 
muslimin. Perintah belajar bersifat umum, tidak ada pembedaan laki-
laki dan perempuan. Surat 2;30, yang berbunyi 


"sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi 

dan surat Hud: 61, 


Dan Dia yang menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menugaskan kamu 
untuk memakmurkan. 

Dengan ayat ini, manusia dituntut akan tanggung jawabnya sebagai 
hamba dan khalifah yang berkualitas di muka bumi. Dan untuk menuju 
kesana dibutuhkan orang yang mau belajar agar tugas-tugasnya untuk 
mewujudkan kehidupan dunia yang adil dan makmur tercapai, baik laki-
laki maupun perempuan. 
Tafsir-tafsir umumnya tidak membuat ruang segregasi antara laki-laki 
dan perempuan pun juga tidak menyebut perempuan secara eksplisit 
sebagaimana hadis-hadis. Hadis dengan sangat detail bisa bertutur 
bagaimana gigihnya para istri Nabi belajar, setting ruang dan materi 
yang dipelajari. Satu kitab tafsir yang ditulis dimana budaya 
patriakhal masih dominan, Ibn Katsir (lihat Ibnu Katsir; volume 
4:562) tidak menyebutkan limitasi antara laki-laki dan perempuan 
dalam pendidikan. Ghalibnya, para mufassir lebih menonjolkan aspek 
sababun nuzul pada pembahasannya dan memenuhi jawaban zamannya. 
Harus ditegaskan bahwa pendidikan perempuan yang merujuk kepada 
banyak ayat-ayat Quran sudah jelas tanpa diskriminasi, perempuan bisa 
belajar bidang apa saja. Kalau ada ayat yang berbunyi 


" dan tetap tinggallah kamu dirumah" (QS.33;33) jangan dimaknai bahwa 
perempuan harus di rumah, sebab ayat ini sebenarnya adalah khususiyah 
kepada istri Nabi, bukan kepada seluruh kaum muslimat, atau ketentuan 
adanya hijab antara istri-istri Nabi dan kaum mukminin, 



"....apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada istri-istri 
Nabi, maka mintalah dari belakang tabir, sebab yang demikian itu 
lebih suci bagi hatimu dan hati mereka..." (QS.33;53). 

Ayat ini merupakan perintah adanya hijab bagi mereka diantara laki-
laki (para sahabat Nabi) yang memasuki rumah Nabi dan kewajiban istri-
istri Nabi untuk menutup wajah mereka kalau keluar rumah, ini sejalan 
dengan ayat (QS. 33; 59) (Abu Syuqqah: volume 4-6: 287 dan volume 1-
3; 18).
Relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam yang ideal juga 
mensyaratkan pendidikan, misalnya; 



"barang siapa yang beramal shaleh laki-laki dan perempuan, dan mereka 
adalah orang yang beriman, baginya kehidupan yang baik (QS.3:27) 

Rasyid dalam Tafsir al-Manar berpendapat bahwa ayat 



" Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebagian mereka 
adalah menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh 
kepada yang makruf dan mencegah yang munkar...(QS. 9;71). 

Merupakan kewajiban laki-laki dan perempuan untuk saling amar ma'ruf 
nahi munkar, mengajar, beramal dan saling menguatkan.
Selain itu perempuan sebagaimana laki-laki juga berhak mewujudkan 
kehidupan yang mawaddah penuh mahaabbah dan rahmah.(Ibn Katsir, 
volume 3; 448). Ini misalnya dalam ayat " 



Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptkan untukmu 
istri-istri dari jenismu sendirin supaya kamu cenderung dan merasa 
tentram kepadanya dan dijadikan diantaramu rasa kasih sayang...." 
(Q.S. 30:21) 

Para mufasir lama memang tidak banyak memberi tekanan pada ayat-ayat 
yang mengandung pendidikan. Namun ulama kontemporer seperti Muhammad 
Abduh atau Qasim Amin telah memberi modifikasi yang baik dan semangat 
pendidikan bagi perempuan dengan teks-teks agama. Qasim Amin yang 
disebut bapak "feminism" Arab meletakkan pendidikan sebagai isu utama 
gerakannya, sebab pendidikan merupakan salah satu pintu untuk 
melakukan perubahan.

Meski pendidikan perempuan seperti sejarah yang kurang terliput, 
banyak wanita terkemuka karena pengetahuannya dan menjadi rujukan 
sekian banyak tokoh laki-laki seperti 'Aisyah ra. yang menjadi 
rujukan dalam soal-soal keagamaan. Selain itu kita mengenal Sakinah 
binti Husain bin Ali bin Abu Thalib bahkan yang tak banyak diungkap, 
Imam Syafi'i, imam madzhab yang pandangan-pandangannya menjadi 
panutan banyak orang di Indonesia, mempunyai seorang guru perempuan 
Syuhrah yang digelari Fakhr al-Nisa' (kebanggaan kaum perempuan), al-
Khansa, Rabiah al-Adawiyah dll (Shihab: 278;1994) 

Banyak figur di masa lalu dan teks-teks Quran tentang pendidikan 
sudah sharih, sejarah pendidikan perempuan tetap gelap bahkan seakan 
lenyap terutama dalam khasanah pengetahuan keagamaan. Teks-teks itu 
memang jarang dimunculkan untuk spirit betapa ketertinggalan 
pendidikan perempuan juga menjadi tanggung jawab agamawan. Saya 
setuju dengan pendapat bahwa teks-teks Quran harus dibaca pada 
konteksnya (qiraah al-siyaqiyah) untuk mengembangkan penafsiran 
modern yang menganalisa teks dalam konteks sosial sejarahnya (Nasr 
Hamid Abu Zaid; Dawair al-Khauf Qiraah fi Khitab al-Mar'ah; 202). 
Untuk merealisasikan itu, teks dan konteks harus berdialog dan 
berdialektika serta tidak dibiarkan secara pasif (Nasr Hamid Abu 
Zaid; Ishkaliyat al-Qiraat wa Aliyah al-Ta'wil;42)

Pendidikan perempuan bersifat mutlak, selain tugas sebagai khalifah, 
sebagaimana disebut di atas, persoalan-persoalan keseharian perempuan 
misalnya soal keagamaan; haid dan nifas atau soal kemasyarakatan 
lainnya sebenarnya mensyaratkan perempuan harus punya bekal 
pendidikan yang cukup. Hak-hak reproduksi perempuan sudah seharusnya 
pembelajarannya lewat perempuan, sebab hanya perempuan yang tahu dan 
mengalami bagaimana membedakan darah haid sebagai tanda boleh dan 
tidaknya perempuan mulai sholat, merasakan nifas dsb. Ubudiyah dalam 
Islam terutama menyangkut hak-hak reproduksi perempuan sangatlah 
rigid, karenanya perempuan harus melewati proses belajar untuk tahu 
itu. Banyak kitab, semacam fiqh al-nisa' yang ditulis oleh ulama 
(baca; laki-laki) dan kemudian mereka pula yang mengajarkan, lihat 
misalnya, sebagai contoh, Fatawa al-Nisa' yang ditulis Ibn Taimiyah, 
kitab ini sebegitu komplek. Saya tidak membayangkan bagaimana kalau 
yang mengajarkan adalah laki-laki, mungkin akan lebih bersifat 
dogmatik daripada menjawab persoalan. Dialog yang mestinya cair, 
barangkali menjadi kikuk, karena bapak kyai yang menguraikan darah 
haid!.

Kasus pelarangan sekolah bagi perempuan di rezim Taliban janganlah di 
lihat semata-mata karena motivasi agama, sehingga mencitrakan Islam 
sebagai agama terbelakang. Sebab banyak faktor politisnya di tengah 
ketidakberdayaan kebudayaan global dan kepentingan kapitalism.Isu-isu 
seperti ini banyak dipakai politisi dunia untuk menjatuhkan Islam. 

Ketertinggalan perempuan dalam pendidikan perlu dikejar dalam waktu 
yang lama sebab pendidikan merupakan investasi jangka panjang. 
Sekarang ini meski agenda perempuan sudah dilihat keberhasilannya, 
namun perempuan belum banyak memasuki sektor-sektor penting terutama 
yang menyangkut kebijakan. Bahkan mungkin banyak perempuan 
mengkhususkan menekuni gender daripada isu-isu lain, mungkin ini 
wajar sebagai ketidakadilan gender telah menjadi kerja besar bagi 
kita semua terutama kaum perempuan untuk menghapuskannya. Jika kita 
hanya berkutat terus pada wacananya dan lihai untuk menekuni bidang 
yang lain, kita akan kehilangan startnya kembali. Penuntutan 
kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam segala bidang adalah omong 
kosong tanpa diikuti pendidikan formal maupun non formal.

Sebagai contoh jangan sampai tuntutan pemenuhan quota perempuan di 
DPR, memaksakan jumlah perempuan yang seimbang namun tidak diikuti 
bekal yang proporsional. Jumlah perempuan memang terpenuhi tapi 
apakah kuantitasnya memadai?, apakah mereka juga punya sense of 
gender? Apakah merupakan yang diperjuangkan karena mereka 
keperempuananya juga dibuatkan kontrak bahwa mereka nanti bisa 
mempengaruhi kebijakan? jangan sampai perempuan Indonesia menjadi 
bunga parlemen seperti di India. Ada tapi tak ada, ada tapi tak 
melakukan perubahan Sekarang ini agenda yang mendesak ditengah 
konflik multi dimensional bangsa adalah memperbaiki dan membantu 
pendidikan perempuan di segala sektor, agar kita semakin banyak punya 
politisi, ahli agama, ekonomi dan pejabat yang punya sense of gender. 
Tanpa pendidikan formal atau non formal semuanya non sense!. 

Penulis adalah Dosen Tamu Program Kajian Wanita Pascasarjana 
Universitas Indonesia 
dan staf Lakpesdam Jakarta


Kirim email ke