Jurnal Sairara:
   
   
  MENUMPULKAN PENA 
   
   
   
  Bersihar Lubis alias  Bersihar Parmonangan dibawa ke depan pengadilan karena 
sebuah artikelnya di Majalah Mingguan Tempo,Jakarta,  mengenai Hari Sastra 
Indonesia di Paris.Dalam artikel tersebut ia  mengutip laporanku di Majalah 
Medium Jakarta, tentang pernyataan  Joesoef Isak yang melukiskan ulang sikap 
"dungu" pengadilan dalam kasus pelarangan karya-karya Pulau Buru Pramoedya A. 
Toer. Oleh pengutipan ini maka Bersihar dibawa ke pengadilan dengan tuduhan 
menghina pengadilan. Diancam hukuman kurungan. 
   
   
  Sebagai sahabat yang pernah bekerja sama, keadaan yang menimpa Bersihar 
senantiasa menjadi pikiranku. Karena itu suratnya senantiasa kutunggu untuk 
mengetahui perkembangan tuduhan itu. Dan dua hari lalu, surat yang 
kutunggu-tunggu itu akhirnya tiba juga di mana syohibku ini berkisah, antara 
lain:
   
     
  "Aku divonis oleh hakim pada 20 Februari 2008,  lima hari sebelum aku berumur 
58 tahun. Sebuah usia yang belum apa-apa dibanding Anda, Mas Goen dan Rosihan 
Anwar. Tapi seperti pernah kutulis di dunia maya ini, menulis itu memang kapok 
sambal. Sudah tahu pedas dimakan juga. Kepedasan, toh lebih enak ketimbang 
ketiduran. Aku sih berharap bisa bebas. Jujur saja. Di balik tembok bui memang 
semacam sekolah juga. Tapi sekolah yang tak pernah tamat adalah kehidupan luas 
ini. Kita dapat melihat sesuatu di balik sesuatu".
   
   
  Alinea ini sangat bermakna bagiku. Dari kalimat-kalimat alinea pendek  ini,  
aku menyaksikan seorang tokoh berjiwa gagah, menatap tajam tak merunduk pada 
kegarangan yang beringas menantangnya, termasuk "tembok bui" yang mencoba 
menyekapi laju kepak sayap kebebasan berpikir, bertanya dan mencari  dari 
seorang penulis. Sikap sadar seorang penulis bahwa sebagai penulis ia 
berhadapan dengan macam-macam resiko tapi sekali pun demikian resiko itu tak 
juga mampu menggertaknya. Tak obah seorang pemburu yang tahu harimau itu bisa 
membunuhnya,, mengoyak-ngoyak seluruh tubuhnya dengan gigi dan kuku-kuku tajam, 
tapi justru si pemburu tetap saja mendaki ke puncak menangkap harimau di 
sarangnya. "Kepedasan lebih enak ketimbang ketiduran" , ujar Bersihar.   Sikap 
sadar sebagai penulis dengan segala resiko yang dihadapinya ini nampak dari 
kata-kata Bersihar berikut:"menulis itu memang kapok sambal. Sudah tahu pedas 
dimakan juga. Kepedasan, toh lebih enak ketimbang ketiduran". Apakah
 bangsa dan anak negeri kita sekarang benar-benar sudah "bangun" dan tidak 
"ketiduran" atau masih ngantuk-ngantuk? Sedangkan resiko dipandangnya sebagai 
bagian dari konsekwen profesi yang ia pilih. Sikap yang berbeda benar dengan 
"budaya takut" produk pendekatan "keamanan dan stabilitas nasional" karya Orde 
Baru. Adakah kreativitas manusiawi dihasilkan oleh ketakutan? Apakah ketakutan 
bisa mengajak kita melakukan pembidasan? Di sinilah kukira pola pikir dan 
mentalitas yang dianut Bersihar menjadi penting. Dan dengan pola pikir serta 
mentalitas begini, Bersihar menjadikan kata-katanya sebagai kopie dan cermin 
tindakannya. Sering aku berpikir, apakah apa yang dilakukan oleh Bersihar 
sebenarnya, bukan merupakan ciri niscaya dari kehidupan seorang penulis yang 
kunamakan sebagai warga dari republik berdaulat sastra-seni? Sebuah republik 
yang bila perlu berhadapan dengan "republik" politik? Sebagai warga republik 
berdaulat sastra-seni, sastrawan-seniman memerankan peran social
 control,  menjadi orang yang menyerukan suatu alternatif guna terus 
memanusiawikan diri, manusia, kehidupan dan masyarakat. Untuk bisa berperan 
demikian,  belajar, terutama belajar dari sekolah kehidupan merupakan 
keniscayaan tak punya titik bagi sastrawan-seniman. Karena kehidupan tidak lain 
dari "sekolah yang tak pernah tamat" dan melalui sekolah "..... kehidupan luas 
ini. Kita dapat melihat sesuatu di balik sesuatu". "Sesuatu" yang hakiki. Yang 
mendasar.
   
   
  Jika benar demikian, maka sesungguhnya republik politik yang republiken tidak 
selayaknya memusuhi penulis tapi justru sebaliknya menjadikan  para warga 
republik sastra-seni sebagai sahabat akrabnya. Jika "bagésék" terjadi antara 
kedua sahabat ini, mengapa takut pada pergesekan apabila pergesekan mendekatkan 
kita pada kebenaran dan yang dituju sejalan dengan epistimologi ilmu 
pengetahuan?
   
   
  Dalam kasus sekarang, Bersihar sesungguhnya hanya melaporkan apa yang 
terjadi. Menuturkan suatu kejadian, cq.  Hari Sastra Indonesia  di Paris  pada 
November 2004.  Tapi justru karena tuturan ini, ia diajukan ke depan 
pengadilan, dituduh sebagai menghina Pengadilan Negeri.  Karena itu jika 
kemudian dijatuhi hukuman karena ia melaporkan seadanya suatu kejadian,  maka 
hukuman tersebut, jika terjadi, secara analogi gampang membangkitkan hipotesa 
bahwa di negeri kita dilarang menuturkan kebenaran. Terlarang untuk mengatakan 
yang hitam sebagai hitam, putih sebagai putih. Jika memang terjadi bahwa 
Bersihar dijatuhi hukuman maka analogi lain bahwa di negeri kita, anak bangsa 
dituntut diam dan hanya boleh mengatakan "iya", kata-kata penyelenggara negara 
identik dengan kebenaran. Dalam keadaan begini, negeri dan bangsa kita tidak 
memerlukan penulis, wartawan dan sastrawan-seniman sebagai warga republik 
sastra-seni yang berdaulat. Secara tidak langsung membunuh kejujuran penulis ,
 sastrawan dan seniman. Membelenggu wartawan, menumpulkan pena mereka. Jika 
memang terjadi bahwa Bersihar dijatuhi hukuman karena mengisahkan keadaan 
sebenarnya, maka jika hukuman itu dijatuhkan, secara analogi kita digiring pada 
pemahaman bahwa di negeri ini menuturkan kenyataan sama dengan kejahatan yang 
harus dihukum. Berdusta dan diam merupakan tindakan arif bijaksana serta 
diharapkan. 
   
   
  Tapi pada kesempatan memperingati Hari Pers Nasional 9 Februari 2008, Susilo 
Bambang Yudhoyono [SBY] selaku presiden Republik Indonesia mengatakan bahwa  
"era beredel terhadap media massa tidak akan hidup lagi di Indonesia. Sebab, 
hal itu bertentangan dengan semangat demokrasi" [lihat:  Harian Suara 
Pembaruan,  Jakarta, 9 Febuari 2008].  Bredel dan penghukuman seorang penulis 
karena tulisannya, kukira tidak terlalu jauh jaraknya.
   
   
  Jika memang terjadi kemudian Pengadilan Negeri menjatuhkan hukuman terhadap 
Bersihar yang jujur bertutur tentang suatu peristiwa, yaitu Hari Sastra 
Indonesia di Paris, artinya "pernyataan tegas" SBY selaku presiden Republik 
Indonesia [RI] diabaikan oleh Pengadilan Negeri dan pernyataan presiden RI 
menjadi tidak mempunyai arti dan dampak apa pun.  
   
   
  Jika memang terjadi kemudian Bersihar dijatuhi hukuman karena jujur bertutur, 
melalui hukuman ini yang palunya akan diketok pada 20 Februari 2008, aku 
kembali melihat masih berlikunya jalan menuju ke Republik Indonesia. Dan 
seperti ujar Bersihar: "[ ....] menulis itu memang kapok sambal. Sudah tahu 
pedas dimakan juga. Kepedasan, toh lebih enak ketimbang ketiduran. Aku sih 
berharap bisa bebas. Jujur saja.[Tapi] Di balik tembok bui memang semacam 
sekolah juga. Tapi sekolah yang tak pernah tamat adalah kehidupan luas ini. 
Kita dapat melihat sesuatu di balik sesuatu".
   
   
  Tidakkah pernyataan ini merupakan pernyataan seorang penulis yang sadar bahwa 
ia memilih kerja penulisan sebagai profesinya, apa pun resikonya? Penulis 
sebagai anak kandung dan anak didik kehidupan yang kemudian membentuk wajah 
mimpi-mimpinya. Sebagai penulis dan pemimpi ia tak merasa nyaman jika  
"ketiduran" , apalagi di saat negeri kita dituba oleh rupa-rupa kemelut yang 
gampang merabunkan mata serta membuat kita suka mengambil jalan pintas: cari 
selamat. Membudak! Adakah pena budak yang tajam?***
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008
  -----------------------------------
  JJ.Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris.


       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke