Penjara Kebebasan

Posted by PuJa on June 14, 2010


Nugroho Sukmanto

http://suaramerdeka.com/

DI Stasiun Senen mereka bukan menunggu godot, tetapi menanti  kedatangan 
orang-orang yang pernah terbuang. Terbuang jauh sebagai  narapidana di Pulau 
Buru. Mereka, kau tahu, adalah orang-orang yang  dianggap sebagai terdakwa, 
pentolan, dan gembong pemberontak G30S PKI.
Setelah lebih 12 tahun mendekam di penjara, sekarang mereka  beramai-ramai akan 
mengenyam kebebasan. Menikmati udara segar beraroma  napas kerabat dan 
keluarga. 
Tidak lagi berbau lenguh sesama tahanan dan  dengus para sipir hotel prodeo. 
Menggunakan kereta api dari Surabaya,  sebentar lagi mereka memasuki Jakarta.

Kulihat ada yang menangis membayangkan rupa dan perawakan yang pasti  telah 
berubah ditempa kekejaman penjara. Ada yang berloncatan  kecil-kecil seakan tak 
sabar ingin segera bertemu sanak saudara. Ada  yang melamun, menerawangkan 
mata, 
jauh sekali memandang. Mungkin mereka  tak lagi mampu mengenali dan tak dapat 
menggambarkan wajah yang akan  dijumpa. Ada juga yang geram, tentu para tentara 
penjaga, dan  bertanya-tanya, “Mengapa mereka tidak dihukum mati saja. Bukankah 
mereka  telah melakukan kekejaman yang tak terhingga kepada para jenderal???

Tetapi mungkin ada juga yang seperti aku. Hanya diam. Hanya datang  karena 
didorong oleh keisengan: ingin mengetahui segala yang akan  terjadi dan melihat 
suasana sebuah pertemuan tidak biasa dan jarang  sekali terjadi dalam kehidupan 
manusia.
Sesaat setelah penumpang kereta api berhamburan keluar, tangis-tangis  yang 
semula hanya berupa isakan berubah mejadi histeris. Apalagi ketika  
pelukan-pelukan semakin erat mendekap, kepala beradu merapat dan  kata-kata tak 
lagi dapat lepas terucap. Keharuan. Hanya itu yang mereka  rasakan. Hanya itu 
yang diharapkan sebagai awal melepas penderitaan yang  bertahun-tahun dirasakan.
Mereka yang tak sabar menunggu dari kejauhan telah memanggil-manggil  nama. 
Nama 
yang bertahun-tahun diketahui masih ada, tetapi hanya lewat  cerita. Mengapa? 
Karena surat sulit atau mungkin tak pernah mereka  terima.

Ada juga orang-orang yang ternganga-nganga menyodorkan mata. Siapa  tahu 
tertangkap pandang oleh orang-orang yang sedang dinantikan. Tetapi  banyak yang 
hanya bisa kecewa karena yang dirindukan tak muncul juga.

Pramoedya telah bertemu istrinya. Hasyim Rachman berangkulan dengan  anak- 
anaknya. Mertuaku perempuan telah bergandengan tangan dengan kedua  kakaknya. 
Tetapi Syafrudin, Nurdin, Alex dan Suryadi tidak dijemput  siapa-siapa. 
Artinya, 
mereka harus diamankan lagi di Lembaga  Pemasyarakatan, karena tak 
diperbolehkan 
berkeliaran tanpa seseorang  memberikan tumpangan.

“Ini menantu saya,” mertua perempuan memperkenalkan aku kepada kedua kakaknya, 
“Panggil dia Wak.”
“Syaf, Syaf,sini! Kamu ingat kan Dara yang dulu genit. Katanya kau  pernah 
jatuh 
cinta. Ini dia orangnya,” Wak Umar memanggil Syafrudin dan  kawan-kawannya 
sambil menunjuk ke arah adiknya.
“Pukimak kau!” mertuaku memaki dengan gaya Medan.
“Bukan dia yang genit, Maryam adiknya,” Syafrudin memberikan klarifikasi.
Kemudian kami bersalam-salaman.
Setelah beberapa saat putus asa dan terharu melihat kemeriahan  suasana, Oom 
Syafrudin dan ketiga kawan senasib merasa sedikit lega. Itu  karena aku 
menyatakan kesediaan untuk sementara menampungnya.  Kuselesaikan administrasi 
yang disyaratkan dan kemudian beramai-ramai  menuju ke tempat tinggal mertua. 
Di 
sanalah mereka akan tinggal  sementara hingga mampu mandiri atau telah 
menemukan 
sanak keluarga.

***

RUMAH Paseban semakin sesak, tetapi bertambah hangat, dan meriah,  karena 
diwarnai oleh cerita-cerita dari penjara. Om Syaf dan kawan-kawan  lebih senang 
menceritakan segala sesuatu yang lucu-lucu daripada yang  seram-seram, yang 
ingin seterusnya dilupakan. Tetapi punggung Om Nurdin  tidak dapat 
menyembunyikan sebuah cerita untuk dipertanyakan atau  diketahui ihwalnya. 
Kulitnya keras berwarna hitam. Tebal seperti  kapalan. Merata dari ujung ke 
ujung. Tetapi saaat ditanya, Oom Nurdin  bungkam saja. Paling-paling tersenyum 
dan kadang tertawa kecil sambil  memperlihatkan gigi yang banyak tanggal. 
Akhirnya Om Suryadi yang  menceritakan.

“Saat itu dia sedang diinterogasi. Disiksa bagaimana pun dia tidak  mau 
menjawab, sehingga mungkin interogrator kehilangan akal dan  kesabaran. 
Tangan-tangan dan kakinya, kau tahu, kemudian ditindas oleh  empat kaki meja 
yang diduduki empat orang.
“Kemudian saat dia mengerang kesakitan dan masih tetap bungkam,  dimasukkanlah 
seorang tahanan wanita yang sedang hamil. Lalu tahanan  wanita itu ditelanjangi 
dan diancam disobek perutnya dengan sebuah  bayonet. Membayangkan darah 
mengalir 
dari perut wanita itu,dia seakan  mendapat kekuatan yang luar biasa, sehingga 
meja yang menindihnya  terangkat ke atas bersama orang-orang yang mendudukinya,”
kata Om Suryadi sambil menarik napas, “Setelah menjalani isolasi  selama 30 
hari, tiga bulan berikutnya, menu sehari-hari yang harus  diterima adalah 
tetesan panas ban sepeda yang dibakar ujungnya.”

***

SERING Om Syafrudin kuundang ke rumahku hanya untuk makan malam.  Tetapi 
kemudian terpaksa kuminta untuk tinggal di rumahku kerena ibu  mertua merasakan 
suaminya agak cemburu.
Saat larut malam dan hanya berdua, dia menumpahkan perasaannya.
“Kalau mereka mati, aku tak akan meratapi. Mungkin Tuhan  menghendaki,” Om 
Syafrudin mengatakan hal itu dengan terbata-bata,  “Tetapi kalau mereka masih 
hidup dan menganggapku mati, itu yang tidak  dapat aku terima.”
Kudengarkan dengan seksama semua keluhannya.
“Aku tidak mengharap istriku kembali. Karena, itu pilihannya. Tetapi  anakku 
adalah anakku karena aku bapaknya. Aku harus mendapatkannya  walaupun telah 
berganti nama dan dengan akta kelahiran yang berbeda.”
Ia tampak begitu tersiksa.
“Aku salah apa? Dijebloskan ke penjara pun aku tak tahu apa sebabnya.”
Aku terdiam. Aku ingin Om Syaf menumpahkan segala derita.
“Tiba- tiba pulang dari Kairo, turun dari pesawat aku langsung diangkut.”
“Tetapi kan melalui sebuah proses pengadilan?” aku mengatakan setengah 
mempertanyakan.
“Yah, pengadilan luar biasa yang direkayasa.”
“Siapa yang tak mau menandatangani berita acara, kalau konsekuensinya cacat 
atau 
mati?”
Ia lantas mengisap kreteknya dalam-dalam. Air matanya bergulir.  Pandangannya 
ke 
atas seperti setengah berdoa. Buah lehernya yang  menonjol naik turun ketika 
berkali-kali menyeruput kopi yang baru  kusajikan. Saat meletakkan cangkir, 
tangannya bergetar.
“Aku sudah tahu di mana mereka berada.”
“Di mana?”
“Banjarmasin.”
“Dari mana Om tahu?”
“Kakaknya masih tinggal di sini. Setelah kuancam akan kubunuh kalau dia 
berbohong, baru dia menceritakan. Lengkap.”
Tak kusela omongan Om Syaf. Aku tahu dia pasti ingin lebih membuncahkan segala 
yang tersimpan di dada.
“Tetapi aku bisa memaklumi alasannya. Mungkin benar juga. Kalau tidak  dengan 
identitas baru barangkali hidup mereka terus-menerus dalam  kesulitan. Atau 
bisa-bisa menderita depresi karena ditekan pihak-pihak  tertentu.”
Aku jadi teringat Zaldy, temanku di ITB. Setelah bapaknya diketahui  sebagai 
anggota PKI, kemudian ia dikeluarkan dan mengalami tekanan jiwa  yang berat. 
Urat- urat lehernya tegang dan tertarik ke belakang,  sehingga tidak mampu 
memutar kepalanya. Akhirnya kepalanya terpaku.  Hanya menghadap ke kanan.
“Lalu apa rencana Om selanjutnya?”
“Akan kuminta anakku dari ibunya. Paling tidak akan kuusahakan bisa bertemu 
dulu.”
“Pelan - pelan dan hati-hati, Om, nanti jiwanya terguncang.”
“Tentu. Tentu. Aku tidak akan sembarangan.”
“Seandainya Om biarkan seperti sekarang dan memandang dari kejauhan  saja 
bagaimana?” aku memancing pendapatnya, “Bukankah orang tua lebih  senang 
melihat 
anak bahagia daripada mungkin tindakannya nanti justru  membuat hidup anak 
dalam 
kebimbangan terus-menerus.”
“Aku tak sanggup. Aku tak sanggup.”
“Mengapa?”
“Aku sudah terlalu tua untuk mencari kesenangan. Kesenangan bercumbu  dengan 
kekasih atau istri. Aku berusaha bertahan hidup hanya untuk bisa  melampiaskan 
kasih sayang. Kepada siapa lagi kalau bukan kepada anakku  sendiri. Darah 
dagingku. Baru kemudian memikirkan berbuat kebajikan buat  yang lain. Itu pun 
kalau aku mampu.”
Kau tahu, Om Syafrudin adalah orang yang percaya bahwa dipenjarakan  yang 
melahirkan penderitaan tak terkira bukan merupakan jalan yang  digelar Tuhan 
menuju surga. Dia juga tidak percaya bahwa ritual agama  saja akan mengantarkan 
ke haribaaan Tuhan. Sembahyang, menurut pendapat  dia, hanyalah menyiapkan 
’sawah’. Menumbuhkan kebaikan dan kasih sayang  ibarat menanam padi. Padi tidak 
akan tumbuh dan bertahan hingga  menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmati 
kalau 
tidak dirawat dan  disiram penyubur ; pupuk pasrah dan kesabaran . “Itulah 
Islam,” kata  dia.
Dia sudah sembahyang dan telah membuktikan kepasrahan dan kesabaran  yang luar 
biasa. Kini tinggal memenuhi apa yang diyakini. Dan itu perlu  dilakukan untuk 
melengkapi tuntutan hidupnya, yakni berbuat kebaikan dan  melimpahkan kasih 
sayang.

***
KAMIS, pukul 08.00, Om Syafrudin keluar dari kamar membawa catatan kecil.
“Boleh aku pakai teleponmu?”
“Silakan.”
“Ke Banjarmasin, boleh?”
Aku sedikit terkejut, kemudian kujawab, “Boleh. Boleh.”
Kuambil koran. Pura-pura aku membaca. Padahal otak dan telinga  kuarahkan ke 
pesawat telepon. Aku betul-betul ingin tahu apa yang akan  dibicarakan. Sebuah 
awal pendekatan untuk mengambil anaknyakah? Tak lama  kemudian kudengar dia 
berkata- kata, ” Aku… Syafrudin.”
…
“Kau baik - baik bukan ?”
…
“Aku tahu. Jangan merasa bersalah. Kurasa itu sudah yang terbaik buat kau dan 
Nur Aini.”
…
“Siapa namanya sekarang?”
…
“Fitria Hariansyah?”
…
“Sudah kawin dia ? Kok ada nama laki-laki di belakangnya?”
…
“Oh itu nama suamimu?”
…
“Kau tahu kan, aku sangat mencintai Nur. Boleh kan aku melihatnya. Maksudku 
jumpa dengan dia?”
…
“Janganlah menangis. Percayalah aku tak akan merusak hubungan kalian.”
…
“Bilang saja kalau begitu, Waktunya ingin ketemu.”
…
“Aku berjanji tak akan mengaku sebagai bapaknya, kalau dia belum bisa menerima.”
…
”Tentukan saja di mana dan kapan. ”
…
“Kau tak usah ke Jawa, aku yang ke sana.”
…
Kemudian kulihat Oom Syafrudin menengok ke arahku. Ia memberi isyarat meminta 
fulpen. Langsung saja kuberikan.
“Restaurant Barito. Jalan Mahakam. Seberang pasar kota. Baiklah.”
Selesai menelepon, Om Syafrudin menghampiriku.
“Kelihatannya aku harus ke Banjarmasin hari Sabtu. Minggu pagi aku  akan 
berjumpa istriku dan mungkin juga dengan anakku. Mantan isteriku  maksudnya. Oh 
tidak, dia masih istriku. Aku belum pernah cerai kok.”

***
PULANG kantor, istriku memberi tahu, Om Syafrudin sudah kembali dari  
Banjarmasin. Langsung kutengok kamarnya. Kosong. Istriku bilang mau  pergi 
sebentar. Cari koper katanya.
Setumpuk pakaian yang sudah tertata terlihat berada di atas kasur.  Sepasang 
sepatu terselip kaus kaki berada di depan kolong. Rupanya dia  akan pergi lagi. 
Mungkin agak lama atau tak akan pulang kembali ke  rumahku.

Dalam hati, aku pun bertanya-tanya. Dia akan menjumpai istrinya? Dia  hanya 
ingin ketemu anaknya? Dia tak akan mengaku sebagai bapaknya?  Bagaimana bila 
pada saat bertemu, dia tak dapat menahan perasaan dan  kemudian memeluk anaknya 
dan menangis sekencang-kencangnya? Apakah  rahasia tidak akan terungkap dengan 
sendirinya?! Aku hanya dapat  berharap, bila hal itu terjadi, istrinya lalu 
akan 
berkata, “Dia adalah  bapakmu!”
Tiba-tiba lamunanku buyar waktu aku terkejut dan tersentuh melihat  foto 
seorang 
gadis menginjak remaja. Foto itu dibingkai sederhana  berdiri di atas meja 
samping tempat tidur. Saat kuangkat dan kupandang  lebih dekat, aku tak dapat 
menahan tetes air mata. Kuamati berkali-kali,  hampir tak berkedip. 
Kuperhatikan 
kata-kata bertuliskan tangan di  bawahnya: “Buat Ayah tercinta, Love Fitria 
Hariansyah.”
Aku menangis. Dan kau tentu tahu aku menangis untuk apa.

Bintaro Jaya, 8 November 2005

Sumber: http://www.sastra-indonesia.com/2010/06/penjara-kebebasan/

 
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke