Catatan Hari Kartini Perempuan di Tengah Fundamentalisme Global Oleh Siti Muyassarotul Hafidzoh Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
DIalaf dunia postmodern sekarang, dunia dicekam dua kekuatan fundamentalisme yang begitu menyesakkan, yakni fundamentalisme agama dan fundamentalisme neoliberal. Fundamentalisme agama hadir dengan gerakan sporadis yang bermetamorfi sis dalam terorisme, separatisme, dan politisasi agama. Semua gerakan itu dengan fasih menjadikan dalil agama sebagai basis legitimasi dalam segala aras pergerakan di tingkat global. Sementara itu, fundamentalisme neoliberal sekarang menjelma menjadi globalisasi yang fokus utamanya ialah pasar bebas (free market). Dengan dalih pembangunan dan kesejahteraan, kaum neoliberal kemudian menguasai lumbung ekonomi global secara hegemonik. Lahirlah kemudian gedung-gedung raksasa, mal-mal, dan pabrik perusahaan raksasa, yang semuanya kemudian mengeksploitasi secara tragis nasib warga miskin dunia ketiga. Wajah dunia di tengah fundamentalisme ganda tersebut semakin kalut. Geger terorisme global dan geger krisis ekonomi warga dunia ketiga adalah wujud paling konkret betapa dunia menjadi gonjang-ganjing. Gonjang-ganing itu kemudian melahirkan sosok pemenang (winner) dan sosok yang kalah (loser). Sosok pemenang adalah kaum korporat global dan politisi global. Sementara kelompok yang kalah adalah mereka yang terus dikorbankan, dieksploitasi, dan hakhaknya yang terus direnggut. Salah satu kelompok yang terus menjadi yang kalah--bahkan sebagian besar terus menjadi yang kalah--adalah kaum perempuan. Ya, kaum hawa ini dalam latar sejarah terus menjadi konco wingking yang peran-perannya selalu diabaikan. Dia, perempuan, dianggap manusia yang serba kurang, tidak utuh, sehingga nasibnya terus terbelakang. Peluang-peluang strategisnya di ruang publik pun sering kali diabaikan, bahkan disikat secara kasar. Sangat wajar kalau di era modern mereka hanya sekadar menjadi ibu rumah tangga, menjadi TKW di luar negeri, dan lainnya. Peluang menjadi pejabat, birokrat, dan sebagainya sangat sedikit. Di sinilah lahir gerakan yang dipelopori Kartini untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan. Spirit Kartini sangat penting untuk diaktualisasikan di zaman sekarang karena bisa memberikan energi besar dalam mengukuhkan eksistensi perempuan dalam berjuang menuju kesetaraan di ruang publik. Dalam konteks ini, Ireen Dubel dan Karen Vintges dalam Women, Feminism & Fundamentalism merekam kegelisahan para aktivis feminisme yang terus berupaya sekuat tenaga memberdayakan perempuan dengan berbagai kajian kritis, diskusi, penelitian, dan advokasi masyarakat. Feminis muslim asal Belanda, Ceylan Pektas-Weber (2007), melihat bahwa marginalisasi perempuan disebabkan doktrin agama dan doktrin budaya. Agama Islam misalnya, menurut Pektas, masih melihat perempuan sebagai orang kedua--orang yang kurang akal dan agamanya. Perempuan harus selalu di belakang. Ini dibuktikan dengan pembagian waris, misalnya. Dalam ruang publik, posisi perempuan sebagai pemimpin pun dipertanyakan, disamakan dalam salat, bahwa perempuan harus menjadi makmum (pengikut) kepada laki-laki (yang menjadi imam/pe mimpin). Doktrin agama itu semakin diperkukuh dengan doktrin budaya patriarkat. Budaya patriarkat mengabarkan bahwa yang menjadi pemimpin rumah tangga adalah laki-laki. Tugas perempuan hanya macak (berhias), manak (melahirkan), dan masak (di dapur). Dalam keseharian, perempuan tidak pernah diajari menjadi sosok pemberani, sosok kritis, dan sosok progresif. Yang diajarkan adalah rela menjadi yang kalah, manut pada suami, tidak neko-neko, dan jangan banyak keluar rumah. Tugas perempuan adalah mengurus rumah. Doktrin ini begitu kuat, sehingga ketika ada seorang perempuan yang bersemangat sekolah sampai derajat tinggi, orang-orang sering kali mencibir dan meremehkan. Karena mentalitas yang terbangun adalah demikian, para nasib perempuan di berbagai belahan dunia, menurut Karen Vintges, selalu menjadi korban yang mengenaskan. Perempuan hanya menjadi tumbal keganasan kaum laki-laki. Di dunia global, nasibnya paling menjadi pekerja kasar atau paling menjadi taman pergundikan kaum pecundang. Mentalitas yang lemah kemudian menjadikan dirinya menerima apa adanya, tanpa reserve. Lahirlah perempuan sebagai sosok yang terus dieksploitasi sehingga hak-haknya sebagai manusia (human right-nya) menjadi pepesan kosong yang terus dilupakan. Kaum laki-laki selalu memenangkan egoismenya sendiri, tak pernah tebersit untuk memberdayakan kaum hawa. Lihatlah nasib tragis perempuan di Palestina, Afghanistan, Bosnia, Afrika, dan hampir negara dunia ketiga. Maka itu, bagi Anissa Heile, diperlukan strategi taktis untuk mengangkat harkat martabat kaum perempuan. Jalan paling strategis adalah dengan ijtihad. Dalam Islam, ijtihad adalah sebuah upaya mencurahkan segenap potensi untuk menghasilkan hukum yang bermanfaat bagi manusia. Prinsip ijtihad penjelajahan intelektual yaitu mengembara dalam berbagai disiplin keilmuan. Tradisi ijtihad sangat dianjurkan Nabi Muhammad. Kalau benar, ia mendapatkan dua pahala, yakni pahala ijtihad dan pahala hasil ijtihad. Kalau salahpun, dapat pahala satu, yakni pahala ijtihad. Tidak salah kalau Nabi pernah menepuk dada Mua'dz (simbol bangga) karena dengan tegas akan berijtihad kalau tidak menemukan hukum dalam Alquran dan Hadis. Dalam ijtihad, tidak ada syarat harus seorang perempuan. Syaratnya adalah mengetahui AlQuran dan asbabu al-nuzul-nya, Hadis dan asbabu al-wurud-nya, bahasa Arab (dan nahwu,p>, sharaf, serta balaghah-nya), ilmu usul fikih (serta qowaid fiqhiyyah-nya), dan lainnya. Semua ulama tidak ada yang mensyaratkan harus laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama menjadi seorang mujtahid (orang yang berijtihad). Peluang lebar inilah yang dapat dijadikan sebagai medium membangkitkan dan memberdayakan perempuan di segenap penjuru dunia. Perempuan harus menjadi intelelektual dan aktivis organisasi sehingga peluang berkiprah di ruang publik menjadi terbuka lebar. Dalam konteks sekarang, proyek ijtihad dalam pemberdayaan perempuan sangat strategis. Perempuan dapat diajari ijtihad dalam agama, ijtihad dalam ekonomi, ijtihad dalam politik, dan ijtihad dalam kebudayaan. Kalau proyek dapat dijalankan aktivis feminisme, kebangkitan perempuan di alaf globalisasi akan semakin kuat. Perempuan dengan sifat femininnya mampu menjadi jangkar peradaban dan kebudayaan yang dapat mengakhiri brutalnya maskulinilitas laki-laki yang tercermin dalam tragedi perang, kekerasan, terorisme, dan berbagai politik kejahatan kemanusiaan. Agenda besar aktivis feminisme itulah yang coba dirakit. Mereka baru memulai membangun kaki gerakan di berbagai belahan dunia. Kakikaki itu akan semakin kuat sehingga gerakan feminisme semakin kukuh dan mengakar. http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/04/21/ArticleHtmls/21_04_2010_017_013.shtml?Mode=0 http://finance.groups.yahoo.com/group/media-soloku/ http://media-klaten.blogspot.com/ http://businessandfinance-bikini.blogspot.com/ http://groups.google.com/group/suara-indonesia/ [Non-text portions of this message have been removed]