NATO Menunggu Ajal di Afghanistan 

Oleh: Shahimi bin Tgk. Ilyas Asyi 

Voa-Islam.com - Situasi perang di Afghanistan akhir-akhir ini tambah runyam
bagi pasukan Koalisi yang tergabung dalam NATO. Perkembangan jalannya perang
semakin jauh dari ekspektasi dan prediksi para politisi haus kekuasaan dan
penjajahan. Para politisi dan penggemar perang di Washington, London, Paris
dan negara-negara yang serdadunya ikut menginvasi Afghan mulai pesimis dan
harap-harap cemas dengan peluang tentaranya untuk memenangkan Perang Afghan.


Merujuk kembali ke akhir 2001, ketika puluhan ribu pasukan koalisi
negara-negara Barat dengan mudahnya merebut Kabul, Mazar-Ie Syarif, Kandahar
dan kota-kota lainnya dari tangan pejuang Taliban. Saat itu, di tengah
euphoria kemenangan pasukan koalisi yang begitu mudah, sejumlah pengamat
militer memberikan prediksi yang hari ini terbukti benar. Analisisnya mudah
saja, Pejuang Taliban tentu tidak siap berhadapan secara langsung dalam
peperangan terbuka melawan tentara NATO, disamping keterbatasan personil,
kekurangan senjata dan amunisi dalam peperangan frontal, juga ketersediaan
logistik yang tidak memadai dalam peperangan singkat. Oleh karena itu,
Taliban sengaja meninggalkan kota-kota utama Afganistan dan mundur teratur
menuju pedalaman, bersiap-siap untuk peperangan panjang ala gerilya.. 

Pejuang Taliban yang tentu saja tidak punya pasukan reguler untuk
mempertahankan kota, meninggalkan kota-kota untuk menghindari korban sipil
akibat bombardir brutal dari udara, tetapi tidak semua daerah mereka
kosongkan, daerah-daerah yang secara geografis menguntungkan bagi perjuangan
mereka pertahankan mati-matian, pertempuran di pegunungan Tora Bora di akhir
tahun 2001 memperlihatkan dimana pejuang Taliban di bantu gerilyawan
Al-Qaeda berhasil memukul mundur pasukan koalisi yang dibantu oleh pasukan
Aliansi Utara. Para analis militer telah memperingatkan, bahwa mundurnya
Taliban bukan berarti kekalahan, tetapi lebih merupakan strategi militer
brilian dalam menghadapi situasi perang asimetris. 

Pejuang Taliban dan Al-Qaeda memilih mengorganisir kekuatan yang lebih baik,
merekrut ribuan pejuang baru, disamping menyiapkan senjata dan amunisi yang
lebih dari cukup untuk perang berpuluh-puluh tahun. 

..Para analis militer telah memperingatkan, bahwa mundurnya Taliban bukan
berarti kekalahan, tetapi lebih merupakan strategi militer brilian dalam
menghadapi situasi perang asimetris.. 

Pakar militer legendaris dunia, Sun Tzu, dalam bukunya The Art of War
menyebutkan bahwa jika peperangan terjadi berlarut-larut maka pihak
penyeranglah yang paling dirugikan, moral tentara yang anjlok karena perang
tak kunjung dimenangkan. Sementara pihak di posisi bertahan punya lebih
banyak waktu mengatur kembali barisan dan organisasi mereka, walaupun mereka
lebih inferior dalam persenjataan dan taktik. Strategi inilah yang dipilih
Taliban, menjadikan perang berlarut-larut, dengan sesekali melakukan
serangan kejutan, meruntuhkan moral tentara musuh. Kecanggihan teknologi
yang dimiliki tentara NATO menjadi tidak efektif, karena semua peralatan
modern itu dioperasikan oleh tentara-tentara yang semangatnya mulai anjlok -
karena mereka tidak tahu pasti alasan mereka berperang dan untuk apa mereka
mati di medan Afghan yang ganas. 

Berdasarkan hitungan korban pasukan koalisi dari laman independen
icasualties.org, tahun -tahun pertama perang korban di pihak pasukan koalisi
relatif sedikit dan bisa diterima menilik dari lama dan luas areal
peperangan. Tetapi tahun-tahun selanjutnya korban terus meningkat pesat,
mencapai total 521 nyawa yang tewas di palagan Afghan pada tahun 2009.
Seiring dengan bertambahnya korban tewas, maka kekalahan mulai mendekat,
dimulai dari kekalahan politik, ditandai menurunnya dukungan publik dalam
negeri untuk perang Afghan, terjadinya perpecahan antar pejabat dan parlemen
menyangkut kebijakan strategi perang yang semakin kacau. Disusul anggaran
negara yang terkuras untuk membiayai perang, membuat ekonomi mengalami
kelesuan, karena uang yang seharusnya dipakai untuk membiayai pembangunan
domestik dialokasikan untuk kelangsungan operasi militer di negara yang
bahkan tujuan operasi itu belum terasa manfaatnya sama sekali. 

Taliban yang pada awal-awal perang tersingkir lambat laun telah kembali ke
tengah-tengah rakyat Afghan, merebut satu persatu distrik dan kabupaten,
memberlakukan Syariat Islam di wilayah yang dikuasai, serta memenangkan hati
dan pikiran penduduk sipil. Kesabaran Taliban dalam menyusun strategi telah
mulai membuahkan hasil yang manis. 

Taliban- sekali lagi - telah memainkan strategi yang benar-benar brilian
dalam menghadapi musuh dengan senjata lebih superior. Mereka, yang tentu
saja tahu betul seluk beluk Afghanistan, berhasil memanfaatkan dan
mengumpulkan faktor-faktor kemenangan secara simultan. 

..Seiring dengan bertambahnya korban tewas, maka kekalahan mulai mendekat,
dimulai dari kekalahan politik, ditandai menurunnya dukungan publik dalam
negeri untuk perang Afghan, terjadinya perpecahan antar pejabat dan parlemen
menyangkut kebijakan strategi perang yang semakin kacau 

Sebagai contoh, menurut pengakuan seorang komandan lapangan Taliban, mereka
secara cerdik memanfaatkan betul kondisi geografis Afghanistan untuk
mencapai target taktis dan strategis. Taliban menggunakan pola serangan dan
pertahanan yang begitu variatif tergantung kondisi geografis medan, di
Helmand, Kandahar dan Afgan Barat, bom ranjau IED (Improvise Explosive
Devices) menjadi senjata pilihan paling efektif karena medan terbuka dan
tidak menyediakan tempat perlindungan cukup. Di ibukota Kabul, serangan bom
jibaku (istisyhadiyah) jadi pilihan utama, karena begitu banyak target
terbuka berupa pos-pos pemeriksaan dan markas pasukan koalisi, dimana banyak
berkumpul personel, sehingga hasil serangan bisa maksimal. Di bagian Timur
dekat perbatasan Pakistan, provinsi Kunar dan Nuristan, maka bentrok senjata
lebih sering terjadi dalam skala besar, karena areanya bergunung-gunung dan
hutan yang sangat sesuai untuk perlindungan alami. 

Pelan tapi pasti wilayah yang dikuasai Taliban semakin luas, mengurung dan
memaksa pasukan NATO tinggal di kota-kota saja, sementara para prajurit yang
melakukan patroli harus siap-siap menghadapi resiko terburuk, jadi sasaran
IED. Distrik yang menurut NATO diklaim telah dikuasai pun ternyata malah
menjadi kuburan baru. Marjah contohnya, menurut NATO mereka berhasil
menguasai distrik di provinsi Helmand ini setelah melalui serangkaian
pertempuran berat. Nyatanya Taliban tetap memegang kontrol atas wilayah ini.


Di lain pihak, pasukan NATO yang mulai frustasi berat, semakin kehilangan
dukungan dari rakyat Afgan, ini terjadi juga karena ulah mereka yang sering
menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran pelampiasan, tidak terhitung lagi
berapa kali pesawat maupun artileri NATO menghantam sasaran-sasaran sipil,
mengakibatkan ribuan korban tak bersalah. Hal ini secara langsung menjadikan
dukungan kepada Taliban semakin kuat di tengah legitimasi pemerintahan Hamid
Karzai yang begitu lemah. Penduduk Afgan semakin jijik melihat pasukan asing
yang tanpa malu melakukan pelanggaran berbagai nilai-nilai Islam yang dalam
masyarakat Afghan dihargai begitu tinggi, berkali-kali pasukan NATO
melecehkan kitab suci Al-qur'an (dimana pelanggaran seperti itu tidak bisa
dimaafkan sama sekali). 

Angka tentara koalisi yang mengalami stress dan frustasi terus meningkat,
tidak hanya di level prajurit yang saban hari berhadapan dengan maut, juga
di level perwira tinggi, lihatlah kasus Jenderal Stanley McChrystal, mungkin
akibat frustasi dan perbedaan kebijakan dengan Washington, langsung
menumpahkan uneg-uneg kepada publik melalui majalah Rolling Stone. Kalau
tentara selevel jenderal saja yang kerjanya hanya duduk di belakang meja
sudah begitu frustasi, bisa dibayangkan apa yang terjadi pada level prajurit
rendahan yang berada di lapangan dan berjibaku dengan lawan. Tingkat stress
yang tinggi akibat perang nampak ditunjukkan oleh tingginya angka bunuh diri
prajurit yang baru pulang dari medan perang, meningkatnya angka perceraian
di keluarga prajurit, kekerasan dalam rumah tangga, serta angka kejahatan
yang dilakukan oleh para prajurit veteran perang. 

..Nampaknya Amerika dan NATO tidak pernah belajar dari sejarah, bahwa tidak
ada bangsa yang mampu mengalahkan bangsa Afghan, mulai dari Alexander Yang
Agung, Inggris, hingga Soviet yang akhirnya hancur berkeping-keping setelah
menerima kekalahan telak dalam perang di tahun 80-an.. 

Pemerintah boneka Karzai di Kabul pun idem dito, semakin kehilangan
kepercayaan rakyat Afghanistan karena budaya suap, korupsi dan
ketidakmampuan mengefektifkan pemerintahan. Pemerintah Kabul tidak berdaya
melindungi rakyatnya yang dibantai pasukan asing, tindakan yang dilakukan
hanya sebatas mengecam dan mengecam, tanpa mampu bertindak lebih. Hal ini
membuat mayoritas rakyat Afgah memposisikan pasukan NATO - dan juga
pemerintahan sendiri- sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas
segala kehancuran dan karena itu harus dilawan. 

Maka ditengah segala situasi tersebut, NATO menjalankan misi menggantang
asap dalam perang Afgan. Satu persatu anggota koalisi mulai ngacir dan lepas
tanggung jawab, Belanda contohnya, Pasukan negeri tulip ini kabur setelah
terus menerus menerima kekalahan di Provinsi Uruzgan, walaupun dalam
pemberitaan media-media mainstream mereka mundur karena keadaan telah pulih,
nyatanya mereka mundur karena tidak tahan lagi berperang. 

Nampaknya Amerika dan NATO tidak pernah belajar dari sejarah, bahwa tidak
ada bangsa yang mampu mengalahkan bangsa Afghan, mulai dari Alexander Yang
Agung, Inggris, hingga Soviet yang akhirnya hancur berkeping-keping setelah
menerima kekalahan telak dalam perang di tahun 80-an. Beruntunglah Islam
yang mempunyai ummat seperti bangsa Afghan yang gagah perkasa, sebuah bangsa
yang tidak sudi dijajah oleh siapapun. 

Kini, menjejak bulan Agustus 2010, korban tewas pasukan koalisi sudah
menembus angka 2000 orang, sudah saatnya pasukan koalisi bernapas
dalam-dalam, bersiap-siap menerima kekalahan telak yang akan segera menimpa
mereka. Fragmen sejarah baru akan tercatat, dimana kekuatan militer terbesar
dunia akhirnya takluk di tangan pejuang-pejuang bersenjata kuno, kekuatan
militer terbesar dunia yang akan pulang ke negeri mereka dengan hina dan
kepala tertunduk, setelah bangsa Afghan yang gagah menghajar mereka dengan
telak. Fragmen sejarah juga akan mencatat, dimana Amerika akan kembali
tergelincir, jatuh terjerembab di pegunungan Hindu Kush dan padang pasir
Helmand, sebagaimana mereka juga pernah tergelincir dan terjerembab di Tepi
Sungai Mekong, Vietnam. INSYAALLAH!! (voi) 

*) Penulis adalah mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Unsyiah, Banda Aceh. 





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke