Penghancuran Islam Berkedok Kebebasan Beragama


Uji materi UU PNPS No 1 tahun 1965 saat ini tengah berlangsung di Mahkamah
Konstitusi. Sejak Kamis, 4 Pebruari 2010 yang lalu, sidang Pleno gugatan
oleh Aliansi Kebebasan Beragama telah digelar. Pemerintah yang diwakili
Depag, Depkumham juga DPR, termasuk pihak-pihak terkait, seperti NU,
Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Hidayatullah, al-Irsyad dan lain-lain
dengan tegas menolak gugatan tersebut. 

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsudin (31/1/2010), dengan
tegas menolak judicial review UU tersebut. Menurutnya, jika Peraturan
Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 itu jadi
diubah, justru akan berpotensi memicu konflik yang lebih besar bagi
kehidupan beragama di Indonesia. Din menambahkan, kalau perubahan itu
disetujui, penodaan dan penistaan terhadap agama baik secara tidak disengaja
seperti merusak pemahaman, keyakinan, ajaran dan akidah agama, ataupun yang
dilakukan secara sengaja seperti rekayasa sosial dan politik akan berkembang
pesat. Jelas, “ini akan menimbulkan social disorder,” ingat dia. 

Hal senada diungkapkan oleh PBNU, bahwa keberadaan peraturan perundangan
mengenai penistaan dan atau penodaan agama harus dipertahankan. Karena itu,
‘’Kita berharap Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi undang-undang
itu,” kata Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi usai membuka Rakernas I Majelis
Alumni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama di Jakarta, Ahad (31/1/2010). Hasyim
menegaskan, permintaan agar UU itu dicabut atas nama demokrasi sangat tidak
tepat. Penodaan agama merupakan agresi moral yang justru merusak agama.
“Jadi harus dibedakan antara demokrasi dengan agresi moral,” katanya. Dalam
kesempatan lain, KH Hasyim Muzadi (10/2/2010) juga menegaskan, kalau UU
tersebut dihilangkan, paling tidak ada tiga akibat yakni: (1) instabilitas
di Indonesia; (2) gangguan kerukunan umat beragama, dan (3) kerugian bagi
kaum minoritas.

Karena itu, apa yang digambarkan oleh Musdah Mulia, salah seorang pemohon
uji materi UU tersebut dalam artikelnya di Kompas (9/2/2010), bahwa UU
tersebut sudah tidak relevan dan tidak sejalan dengan semangat
konstitusional Indonesia justru kontradiksi dengan tuntutan dia saat bertemu
Wapres Boediono (10/2/2010). Dalam artikel tersebut, dia menolak
keterlibatan negara dalam mengatur kebebasan beragama, karenanya UU tersebut
harus dicabut. Sebaliknya, dalam pernyataannya yang lain, selaku Ketua Umum
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), usai bertemu Wapres
(10/2/2010), dia mengatakan, “Kami menyampaikan keprihatinan kekerasan
terkait agama di negeri ini. Oleh karena itu, kami menghimbau agar
pemerintah lebih tegas lagi untuk menindak oknum yang melakukan kekerasan
dengan dalih agama.” 

Di satu sisi, dia minta negara tidak terlibat dalam mengatur kebebasan
beragama, tetapi ketika ada dampak dari kebebasan itu, seperti ketika
terjadinya penghakiman oleh masyarakat atas praktek kebebasan (menodai
agama) itu, dia segera meminta negara untuk turun tangan. Aneh memang. 

Karena itu, masalah ini harus dilihat secara utuh; dari sisi paham
kebebasan, HAM, demokrasi dan pluralisme yang mereka usung; juga dari sisi
skenario negara-negara kafir penjajah di negeri kaum Muslim, khususnya
Indonesia, demi melanggengkan penjajahan mereka. 

Dari sisi paham, jelas sekali, bahwa paham kebebasan, HAM, demokrasi dan
pluralisme yang menjadi pijakan uji materi UU tersebut adalah paham yang
utopis dan bertentangan dengan Islam. Utopis, karena realitas kebebasan,
HAM, demokrasi dan pluralisme yang mereka usung itu nyata-nyata tidak pernah
ada. Prancis yang terkenal dengan slogan liberty-nya jelas telah
mempertontonkan penodaan yang kasatmata atas kebebasan dan hak wanita
Muslimah untuk memakai cadar. Begitu juga di Swiss dan negara-negara Eropa
lain, kebebasan dan hak kaum Muslim telah dinodai ketika mereka dilarang
membangun menara masjid. Di Denmark, kebebasan beragama umat Islam juga
tidak pernah dihormati oleh orang-orang kafir ketika Nabi Muhammad saw.
dinistakan sedemikian rupa. Anehnya, mereka meminta kebebasan beragama
mereka dihormati. Demokrasi dan pluralisme juga sama-sama utopisnya. Karena
itu, paham ini jelas tidak layak, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga
bagi orang-orang Barat dan seluruh umat manusia. Bagi umat Islam, selain
utopis, paham-paham ini jelas haram karena bertentangan dengan ajaran Islam.


Karena itu, jika faktanya paham-paham ini tidak ada wujudnya, tetapi tetap
saja dipropagandakan, maka sesungguhnya yang terjadi adalah penyesatan
publik dan politik demi kepentingan yang sesungguhnya mereka sembunyikan.
Kepentingan itu tak lain adalah penghancuran Islam sebagai ideologi
potensial yang jelas-jelas mengancam eksistensi dan praktik penjajahan
negara-negara kafir imperialis terhadap Dunia Islam. Mereka dengan fasih
mengajari dan mendikte umat Islam tentang kebebasan, HAM, demokrasi dan
pluralisme. Mereka sendiri, di negara mereka, dengan enteng melanggar dan
menistakan prinsip-prinsip yang mereka propagandakan. Atas nama kebebasan
dan demokrasi, mereka menduduki Irak, dengan menggulingkan Saddam Husein,
dan membunuh ratusan ribu penduduk sipil. 

Mereka memang tidak bisa menduduki dan menguasai Dunia Islam dengan militer
dalam kurun waktu yang lama, karena itu untuk mempertahankan cengkeraman
mereka, satu-satunya cara adalah melalui paham yang diusung dan diterapkan
oleh antek-antek mereka. Sebab, kekuatan Dunia Islam dan, di dalamnya, umat
Islam, terletak pada kekuatan ideologi dan intelektualnya. Karena itu, agar
Islam tidak bisa digunakan untuk melakukan perlawanan, maka pemahaman umat
Islam ini sengaja dirusak. Kalau tidak bisa, maka upaya kompromi pun
dilakukan, dengan cara mendekatkan Islam dengan paham-paham di atas. 

Karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia mengingatkan, bahwa masalah uji materi
UU PNPS no 1 tahun 1965 ini sesungguhnya tidak berdiri sendiri, tetapi
terjadi karena negara ini, yang notabene merupakan negara sekular telah
membuka ruang selebar-lebarnya bagi kebebasan, HAM, demokrasi dan
pluralisme. Apa yang terjadi saat ini tak lebih dari dampak. Dampak-dampak
seperti ini akan terus terjadi dan menghantui kita, manakala sumber yang
memproduksi dampak-dampak ini tetap ada di dipertahankan. Itulah
sekularisme. Karena itu, peristiwa ini mestinya menyadarkan kita, bahwa
selama sekularisme ini masih dipertahankan, selama itu pulalah dampak-dampak
seperti ini akan terus berulang. Wallâhu a’lam. []

 

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/03/09/penghancuran-islam-berkedok-kebebasan-
beragama-2/

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke