Hukum Syara' Pasti Mengandung Maslahat

Allah SWT berfirman dalam kitabNya:

"(Dan) tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi
seluruh umat manusia" (QS Al Anbiyaa': 107).

Maksud ayat diatas adalah bahwa Rasulullah saw telah datang dengan membawa
syariat yang mengandung manslahat bagi manusia.

Begitu pula Firman Allah SWT:

"Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman" (QS Yunus: 57).

"Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuham-mu
sebagai petunjuk dan rahmat" (QS Al An'aam: 157).

Maksud dari "petunjuk" dan "rahmat" dalam ayat diatas adalah dengan membawa
manfaat bagi manusia atau menjauhkan kemadlaratan dari dirinya. Inilah yang
disebut "maslahat".  Sebab, arti dari maslahat adalah membawa kemanfaatan
dan mencegah kerusakan.

Yang menentukan apakah sesuatu itu maslahat atau tidak adalah wewenang
syara' semata.  Sebab, syara' datang memang membawa masla-hat dan dialah
yang menentukan/menyebutnya untuk manusia, karena yang dimaksud maslahat
adalah kemaslahatan/kepentingan manusia itu sendiri sebagai makhluk.  Bahkan
yang dimaksud dengan maslahat bagi individu, adalah kemaslahatannya
berkenaan dengan sifatnya sebagai "manusia", bukan keberadaannya sebagai
individu (pribadi).     Memang, kemaslahatan dapat ditentukan berdasarkan
syara' atau berdasarkan akal manusia.  Akan tetapi, jika akal manusia
dibiarkan menentukannya sendiri, maka teramat sulit bagi manusia untuk
menentu-kan hakekat kemaslahatan tersebut. Sebab, akal manusia memiliki
kemam-puan yang terbatas.  Ia tidak mampu menetapkan apa yang menjangkau
dzat dan hakekatnya selaku manusia.  Oleh karena itu, akal tidak akan mampu
menentukan apa yang sebenarnya maslahat bagi manusia.  Bagai-mana mungkin ia
dapat menetapkan, sementara ia tidak mampu mengapre-siasi dirinya sendiri?

Hanya Allah-lah yang mampu menjangkau hakekat manusia, sebab Dialah yang
menciptakan manusia.  Oleh karena itu, hanya Dialah yang berhak menentukan
apa-apa yang menjadi maslahat dan mafsadat bagi manusia secara rinci dan
pasti.

Walaupun manusia dapat menduga apakah sesuatu itu mengandung manfaat atau
mafsadat untuk dirinya, tetapi ia tidak mungkin menentukan dengan pasti dan
rinci.  Apabila kemaslahatan tergantung pada persang-kaan manusia, maka akan
mengakibatkan terjerumusnya manusia itu ke dalam kebinasaan.  Sebab
kadang-kala manusia menyangka sesuatu itu mengandung maslahat, tetapi
ternyata tidak demikian.  Berarti ia telah menetapkan bahwa sesuatu itu
mafsadat untuk manusia, sedang ia menganggapnya maslahat, sehingga
terjerumuslah manusia ke dalam malapeteka.  Demikian pula sebaliknya,
kadangkala ia menyangka bahwa sesuatu itu adalah mafsadat, kemudian terbukti
hal itu sebaliknya.  Disini ia telah menjauhkan kemaslahatan dari diri
manusia, karena ia mengang-gapnya sebagai mafsadat, sehingga ia ditimpa
kemadlaratan karena men-jauhkan maslahat dari kehidupannya.

Begitu pula kadang-kadang hari ini akal manusia memandang atau memutuskan
sesuatu itu maslahat, kemudian esok harinya menyatakan sebagai mafsadat.
Atau sebaliknya, sekarang sesuatu dinyatakan sebagai mafsadat, esok harinya
ia menyatakan sebagai maslahat.  Berarti ia telah menetapkan bagi sesuatu
itu mengandung maslahat sekaligus mafsadat.  Hal ini tidak boleh dan tidak
mungkin ada.  Sebab segala sesuatu pada suatu kondisi hanya mempunyai satu
kemungkinan, yaitu berupa mafsadat atau maslahat.  Tidak mungkin keduanya
berpadu dalam satu kondisi.  Jika tidak, berarti maslahat yang ditentukannya
bukan maslahat yang hakiki, tetapi maslahat sekedar dugaan (nisbi).

Dengan demikian maka wajib tidak membiarkan akal untuk menentukan apa
sebenarnya yang dimaksud dengan maslahat, sebab yang berhak menentukannya
adalah syara'.  Syara'lah yang menentukan mana maslahat dan mana mafsadat
yang sebenarnya (hakiki).  Akal hanyalah memahami suatu kenyataan (kejadian)
sebagaimana adanya (tanpa ditam-bah-tambah).  Kemudian akal memahami pula
nash-nash syar'iy yang ber-kaitan dengan kenyataan tersebut, lalu nash-nash
itu diterapkan terhadap kenyataan.  Jika telah diterapkan dan sesuai dengan
pembahasan, maka dikatakan atau mafsadat berdasarkan nash-nash syar'iy.
Apabila tidak sesuai dengan kenyataan tersebut, maka dicari nash yang
mempunyai makna yang sesuai dengan kenyataan tersebut, agar ia mengetahui
masla-hat yang telah ditetapkan oleh syara', dengan memahami hukum Allah
dalam masalah itu.

Jadi maslahat harus didasarkan pada syara' , bukan pada akal.  Ia senantiasa
menyertai syara'.  Dimana ada syara', pasti ada maslahat.  Sebab syara'lah
yang menentukan kemaslahatan bagi mansusia selaku hamba Allah SWT. []

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke