IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Jum'at, 07 Mei 2010.

--------------------------------------------------------

*BUNG KARNO Bersikap Rasionil Tentang *

“*Karl MARX” & “MARXISME”*

Berbagai cara orang memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei dan hari 
ultah ke-192 Karl Marx <Trier, 05 Mei 1818 – London, 14 Maret 1883>. Di 
banyak negeri di dunia hari-hari bersejarah tsb diperingati dengan 
rapat-rapat terbatas dan umum, demo, pemogokan serta pelbagai komentar 
dan tulisan. Banyak disiarkan artikel analitis dan kritis. Namun, tidak 
sedikit pula yang 'asbun', asal 'pro' atau 'anti' saja.



Tetapi Bung Karno lain. Beliau adalah seorang pejuang dan politkus yang 
serius sejak masa mudanya. Bung Karno, Sang Proklamator dan Pendiri 
Republik Indonesia, jauh sejak masa muda dan akitf dalam gerakan 
kemerdekaan bangsa, telah menulis tentang MARX dan MARXISME . Tulisan 
beliau itu dipublikasikan <1933>, 12 tahun sebelum bangsa Indonesia 
mencapai kemerdekaannya. Bagi yang peduli, silakan membacanya sendiri 
tulisan Bung Karno tsb dengan cermat, kritis dan analitis. Namun 
seyogianya dengan lapang dada. Dengan demikian bisa menangkap makna dan 
maksud tulisan tsb.

Seorang penulis di Facebook, Darwin ISKANDAR, --- menyajikan kepada 
pembaca Facebook artikel Bung Karno tsb selengkapnya:



* * *



Dalam tulisannya tsb Bung Karno memulai dengan kalimat-kalimat 
bersejarah berikut ini:

“*/Mendengar perkataan ini, -begitulah dulu pernah saya menulis-, 
mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayangan di 
penglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala 
bangsa dan negeri, pucat muka dan kurus badan, pakaian berkoyak-koyak; 
tampak pada angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi, 
seorang ahli pikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan 
kebiasannya mengingatkan kita pada pahlawan dari dongeng-dongeng kuno 
Jermania yang sakti dan tiada terkalahkan itu, suatu manusia yang 
”geweldig”, yang dengan sesungguh-sungguhnya bernama ”datuk” pergerakan 
kaum buruh, yakni Heinrich Karl Marx”./*



Artikelnya tentang Marxismt itu beliau akhiri dengan kelimat-kalimat 
berikut ini.

“*/Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh 
saudara-saudaranya-seasas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum 
Islam, sebagai yang terjadi dilain-lain negeri, maka niscayalah mereka 
mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga 
bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka 
mereka dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita 
penuhi.

Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan 
memperlihatkan segala perubahan teori asasnya, dengan menjalankan segala 
perubahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menyebutkan diri 
pembela Rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya 
Rakyat.

Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan 
kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan 
Islamis yang sungguh-sungguh, -- Marxis yang demikian itu janganlah 
merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun Rakyat adanya!

(Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, Suluh Indonesia Muda, 1926.)/*



/* * */



Beberapa puluh tahun sesudah meninggalnya Karl Marx, pada tanggal 07 
November 1917, dimulai dari kota Petrograd, meletaus Revolusi Sosialis 
Rusia di bawah pimpinan W.I Lenin, seorang Marxis Rusia. Revolusi 
Sosialis Rusia telah melahirkan URSS, Uni Republik-Republik Sovyet 
Sosialis; menghapuskan sistim kapitalis/feodal otokratis dan opresif Tsar.



Setelah itu, teristimewa setelah berakhirnya Perang Dunia II, dengan 
dikalahkannya fasisme, di Eropah Timur maupun di Asia telah lahir 
negeri-negeri yang mendasarkan falsafah negara dan sistim ekonominya 
pada Marxisme. Disusul kemudian oleh berdirinya negara sosialis pertama 
di Amerika Latin --- Cuba di bawah pimpinan Fidel Casto.



Perkembangan ini menunjukkan keunggulan gerakan politik yang didasarkan 
atas idologi dan politik Marxisme.



* * *



Pergolakan politik dan perkembangan dunia berjalan terus. Negeri-negeri 
yang mendasarkan falsafah negara dan sistim ekonominya pada Marxisme 
seperti Uni Sovyet dan seluruh negeri-negeri Eropah Timur yang tergabung 
dalam blok Comecon, terbukti tidak bisa mempertahankan sistim kenegaraan 
dan ekonomi Marxisme. Pada awal tahun sembilan-puluhan abad lalu, tidak 
satupun dari negeri sosialis di Eropah Timur yang bisa bertahan terhadap 
gejolak dan prahara perubahan yang mengembalikan negeri-negeri 'asal 
sosialis' tsb ke jalan anti-pode sosialisme – SISTIM EKONOMI DAN POLITIK 
KAPITALIS.



Hanya Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara, Vietnam dan Cuba yang masih 
mempertahankan sistim falsafah, ekonomi dan politik pada ajaran Marx. 
Dengan mengadakan penyesuaian, dengan cara mentrapkannya pada kondisi 
kongkrit negeri masing-masing. Demikianlah seperti yang resmi formal 
dinyatakan oleh yang bersangkutan.



* * *



Tidak jelas apakah di negeri lain -- larangan ajaran Marx dicantumkan 
dalam suatu ketentuan atau keputusan sebuah lembaga negara, seperti 
halnya di Indonesia. Orde Baru mengeluarkan larangan ajaran Marxisme 
melalui keputusan – Tap MPRS No XXV, 1966. Catat – keputusan tsb diambil 
sesudah lembaga MPRS dibongkar-pasang oleh Jendral Suharto. Setelah 
semua anggota MPRS yang PKI, Kiri dan yang pendukung Presiden Sukarno, 
'diamankan' dan dijebloskan dalam penjara.



Ketika Gus Dur menjadi Presiden RI yang ke-4, beliau menyatakan bahwa 
Tap MPRS No XXV, 1966, yang melarang faham Marxisme itu, bertentangan 
dengan hak-hak azasi manusia, bertentangan dengan UUD-RI. Maka harus 
dibatalkan! Sayang beliau tidak sampai dua tahun memegang jabatan 
Presiden RI. Presiden Wahid 'digulingkan' ' oleh penentang-penentangnya 
melalui keputusan MPRS yang notabene telah memilih dia sebagai Presiden RI.



* * *


  Berikut ini tulisan Bung Kanno yang disiarkan kembali oleh DARWIN
  ISKANDA, di FaceboOk.

*BUNG KARNO : *

“*MARX DAN MARXISME”*


Mendengar perkataan ini, -begitulah dulu pernah saya menulis-, mendengar 
perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayangan di penglihatan kita 
gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan 
negeri, pucat muka dan kurus badan, pakaian berkoyak-koyak; tampak pada 
angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi, seorang ahli 
pikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebiasannya 
mengingatkan kita pada pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Jermania yang 
sakti dan tiada terkalahkan itu, suatu manusia yang ”geweldig”, yang 
dengan sesungguh-sungguhnya bernama ”datuk” pergerakan kaum buruh, yakni 
Heinrich Karl Marx.

Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini tiada 
berhenti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, 
bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan bagaimana jalannya 
mereka itu akan mendapat kemenangan: tiada kesal dan capainya (lelahnya, 
ed.) ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk diatas 
kursinya, dimuka meja tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883, -lima 
puluh tahun yang lalu (tulisan ini dimuat pada tahun 1933, ed.)-, 
melepaskan nafasnya yang penghabisan.

Seolah-olah mendengarkanlah kita dimana-mana negeri suaranya mendengung 
sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 berseru: ”E, Kaum Proletar 
semua negeri, kumpullah menjadi satu.” Dan sesungguhnya! Riwayat dunia 
belum pernah menemui ilmu dari satu manusia, yang begitu cepat masuknya 
dalam keyakinannya satu golongan di dalam pergaulan hidup, sebagai 
ilmunya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari 
ratusan menjadi ribuan dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan... 
begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun 
teori-teorinya sangat sukar dan berat bagi kaum pandai, maka ”amat 
gampanglah teorinya itu dimengerti oleh kaum yang tertindas dan 
sengsara, yakni kaum melarat kepandaian yang berkeluh kesah itu”.

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita 
sosialisme itu dapat tercapai dengan cara pekerjaan bersama antara buruh 
dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang 
teriaknya ada suatu teriak perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam 
tulisan-tulisannya tidak satu kali memakai kata kasih atau kata cinta, 
membeberkanlah paham pertentangan klas: paham klassentrijd, paham 
perlawanan zonder (tanpa, ed.) damai sampai habis-habisan. Dan bukan itu 
saja! Ilmu Dialektik Materialisme, ilmu statika dan dinamikanya 
kapitalisme, ilmu Verelendung, -semua itu adalah ”jasanya” Marx. Dan 
meskipun musuh-musuhnya, terutama kaum anarkis, sama menyangkal 
jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan diatas ini, meskipun lebih dulu, di 
dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui sudah ”menjawil-jawil” ilmu Historis 
Materialisme itu, meskipun teori harga lebih itu sudah lebih dulu 
dilahirkan oleh ahli-ahli pikir sebagai Sismondi dan Thompson, -maka toh 
tak dapat disangkal, bahwa dirinya Karl Marx lah yang lebih mendalamkan 
dan lebih menjalarkan teori-teori itu, sehingga ”kaum melarat kepandaian 
yang berkeluh kesah itu” dengan gampang segera mengertinya.

Maka dengan gampang mengerti, seolah-olah suatu soal yang ”sudah 
mustinya begitu”-, segala seluk-beluknya harga lebih: bahwa kaum borjuis 
lekas menjadi kaya karena kaum proletar punya tenaga yang tak terbayar. 
Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya Historis Materialisme: 
bahwa urusan rezekilah yang menentukan segala akal pikiran dan budi 
pekertinya riwayat dan manusia. Mereka dengan gampang mengerti 
seluk-beluknya dialektika: bahwa perlawanan klas adalah suatu keharusan 
riwayat, dan bahwa oleh karenanya, kapitalisme adalah ”menggali sendiri 
liang kuburnya”.

Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu dengan gampang saja masuk 
di dalam keyakinan kaum yang merasakan stelsel (sistem, ed.) yang 
”diteorikan” itu, yakni di dalam keyakinannya kaum yang perutnya 
senantiasa keroncongan. sebagai tebaran benih yang ditebarkan oleh angin 
kemana-mana dan tumbuh pula dimana ia jatuh, maka benih Marxisme ini 
berakar dan subur bersulur dimana-mana. Benih yang ditebar-tebarkan di 
Eropa itu sebagian telah diterbangkan pula oleh taufan jaman ke arah 
khatulistiwa, terus ke Timur, jatuh di kanan kirinya sungai Sindu dan 
Gangga dan Yang Tse dan Hoang Ho, dan di kepulauan yang bernama 
kepulauan Indonesia.

Nasionalisme di dunia Timur itu lantas “berkawinlah” dengan Marxisme 
itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, 
satu senjata perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru. 
Nasionalisme baru inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat Marhaen 
Indonesia.

(Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx, Dibawah Bendera Revolusi, I 
hal. 219-221)

* * *

Walaupun pembaca tentunya sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang 
telah diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pula lah agaknya, 
jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli pikir ini lah, -ia 
mengadakan suatu pelajaran gerakan pikiran yang bersandar pada perbedaan 
(Materialistische Dialektiek); -ia membentangkan teori, bahwa harganya 
barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya ”kerja” untuk membikin 
barang-barang itu sehingga ”kerja” ini ialah ”wertbildende substanz”, 
dari barang-barang itu (arbeids-waade-leer); -ia membeberkan teori, 
bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah 
lebih besar harganya dari pada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); 
-ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar perikebendaan, yang 
mengajarkan, bahwa ”bukan budi akal manusialah yang menentukan 
keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubung dengan pergaulan 
hiduplah yang menentukan budi akalnya” (materialistische 
geschiedenisopvatting); ia mengadakan teori, bahwa oleh karena meewaarde 
itu dijadikan kapital (modal, ed.) pula, maka kapital-kapital yang kecil 
sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (capitaalsconcentratie).

Tetaplah pula, bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dahulu 
dilahirkan oleh ahli pikir lain, dirinya Marx lah, yang meski 
”bahasa”nya itu untuk kaum merasakan sangat berat dansukarnya, dengan 
terang benderang menguraikan teori-teori itu bagi kaum ”tertindas dan 
sengsara yang melarat pikiran” itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga 
mengerti dengan terang benderang.

Dengan gampang saja, sebagai suatu soal yang ”sudah mestinya begitu”, 
mereka lalu mengerti teorinya atas meewaarde, lalu mengerti, bahwa si 
majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena itu tidak memberikan semua 
hasil pekerjaan padanya; mereka lalu saja mengerti, bahwa keadaan dan 
susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia itu: erist wa er 
iszt; mereka lantas saja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya 
binasa, pastilah lenyap diganti dengan susunan pergaulan –hidup yang 
lebih adil-, bahwa kaum ”borjuasi” itu ”teristimewa mengadakan 
tukang-tukang penggali liang kuburnya”.
Dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum 
buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam hati yang 
makin lama makin sangat (verlendungstheorie / teori penyengsaraan, ed.); 
-teori-teori mana, berhubung dengan ekuarangan tempat, kita tidak bisa 
menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum mengetahuinya.

Meskipun musuh-musuhnya, diantara mana kaum anarkis, menyangkal 
jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan di atas ini, meskipun lebih dahulu, 
dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui dengan cara Historis Materialistis 
sudah mengatakan, bahwa riwayat itu ”menetapkan kejadian-kejadiannya” 
sedang ilmu ekonomi ”sebab apa kejadian-kejadian itu terjadi”; meskipun 
teori meewaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir 
seperti Sismondi, Thompson dan lain-lain, meskipun pula teori 
konsentrasi modal atau atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya 
yang tidak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuhnya yang tak 
jemu-jemu mencari-cari salahnya; -meskipun begitu, maka tetaplah bahwa 
stelsel-nya (sistemnya, ed.) Karl Marx itu mempunyai pengertian yang 
tidak kecil dalam sifatnya, dan mempunyai pengertian yang penting dalam 
sifat bagian-bagiannya.

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita 
mereka itu dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan 
majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya 
itu ada suatu teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam 
tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata kasih atau kata 
cinta, membeberkan pula paham pertentangan golongan; paham 
klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari 
nasibnya itu, ialah oleh perlawanan-zonder (tanpa, ed.)-damai terhadap 
pada kaum “burjuasi“, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti 
terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya. Walaupun 
pembaca tentunya semua sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah 
diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pulalah agaknya jikalau kita 
disini mengingatkan, bahwa jasanja ahli-pikir ini ialah: -- ia 
mengadakan suatu pelajaran gerakan pikiran yang bersandar pada 
perbendaan (Materialistische Dialectiek); -- ia membentangkan teori, 
bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknja “kerdja“ 
untuk membikin barang-barang itu, sehingga “kedja“ ini ialah 
“wertbildende Substanz“, dari barang-barang itu (arbeids-waarde-leer); 
-- ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam 
pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia 
terima sebagai upah (meerwaarde); -- ia mengadakan suatu pelajaran 
riwayat yang berdasarkan perikebendaan, yang mengajarkan, bahwa “bukan 
budi-akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya 
keadaannya yang berhubungan dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan 
budi-akalnya“ (materialistische geschiedenisopvatting); -- ia mengadakan 
teori, bahwa oleh karena “meerwaarde“ itu dijadikan kapital pula, maka 
kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), 
sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal 
yang besar (kapitaalscentralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, 
perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh 
perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desakan-desakan ini 
akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan saja yang amat besarnya 
(kapitaalsconcentratie); --dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan 
kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menynangkan dan 
menimbulkan dendam-hati yang makin lama makin sangat 
(Verelendungstheorie); -- teori-teori mana, berhubungan dengan 
kekurangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada 
pembaca-pembaca yang belum mengetahuinya.

Meskipun musuh-musuhnya, diantara mana kaum anarkis, sama menyangkal 
jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan diatas ini, meskipun lebih dulu, 
dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui dengan cara historis-materialistis 
sudah mengatakan, bahwa riwajat itu “menetapkan kejadian-kejadiannya“ 
sedang ilmu ekonomi “menerangkan sebab-apa kejadian-kejadian itu 
terjadi“; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh 
ahli-ahli pikir seperti Sismondi, Thompson dan lain-lain; meskipun pula 
teori konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya 
yang tak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuh-musuhnya yang 
tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; -- meskipun begitu, maka tetaplah, 
bahwa stelsel-nya (sistemnya, ed.) Karl Marx itu mempunyai pengertian 
yang penting dalam sifat bagian-bagiannya . Tetaplah pula, bahwa, 
walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli pikir 
lain, dirinya Marx-lah, yang meski “bahasa“-nya itu untuk kaum “atasan“ 
sangat berat dan sukarnya, dengan terang-benderang menguraikan 
teori-teori itu bagi kaum “tertindas dan sengsara yang melarat pikiran“ 
itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan terang-benderang.

Dengan gampang saja, sebagai suatu soal yang “sudah-mustinya-begitu“, 
mereka lalu mengerti teorinya atas meerwaarde, lalu mengerti, bahwa si 
majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak memberikan semua 
hasil-pekerdjaan padanya; mereka lalu saja mengerti, bahwa keadaan dan 
susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia tentang budi, akal, 
agama , dan lain-lainnya, -- bahwa manusia itu: er ist was er ist; 
mereka lantas saja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya pastilah 
binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan-hidup yang lebih 
adil, -- bahwa kaum “burjuasi“ itu “teristimewa mengadakan tukang-tukang 
penggali liang kuburnya“. Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu 
masuk tulang-sumsumnya kaum buruh di Eropa, masuk pula tulang-sumsumnya 
kaum buruh di Amerika. Dan “tidaklah sebagai suatu hal yang ajaib, bahwa 
kepercayaan ini telah masuk dalam berjuta-juta hati dan tiada suatu 
kekuasaan juapun dimuka bumi ini yang dapat mencabut lagi dari padanya“. 
Sebagai tebaran benih yang ditiup angin kemana-mana tempat, dan tumbuh 
pula dimana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; 
dimana-mana pula, maka kaum “burjuasi“ sama menyiapkan diri dan berusaha 
membasmi tumbuh-tumbuhan “bahaya proletar“ yang makin lama makin subur 
itu. Benih yang ditebarkan-tebarkan di Eropa itu, sebagian telah 
diterbangkan oleh taufan-jaman kearah khatulistiwa, terus ke Timur, 
hingga jatuh dan tumbuh diantara bukit-bukit dan gunung-gunung yang 
tersebar di segenap kepulauan “sabuk-zamrud“, yang bernama Indonesia. 
Dengungnya nyanyian “Internasionale“, yang dari sehari-kesehari 
menggetarkan udara Barat, sampai-kuatlah hebatnya bergaung dan 
berkumandang di udara Timur. . .

Pergerakan Marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada 
pergerakan yang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan 
yang berasas ke-Islam-an. Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini 
sudah mendjadi suatu pertengkaran perselisihan paham dan pertengkaran 
sikap, menjadi suatu pertengkaran saudara, yang, sebagai yang sudah kita 
terangkan dimuka, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang 
mengutamakan perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa saja 
yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran yang demikian itulah letaknya 
kekalahan kita.

Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah-air, dan 
lenyapkanlah politik-keagamaan, -- begitulah seakan-akan lagu-perjuangan 
yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah 
mengatakan, bahwa “kaum buruh itu tak mempunjai tanah-air“? Katanja: 
Bukankah dalam “Manifes Komunis“ ada tertulis, bahwa “komunisme itu 
melepaskan agama“? Katanya: Bukankah Bebel telah mengatakan, bahwa 
“bukanlah Allah yang membikin manusia, tetapi manusialah yang 
membikin-bikin Tuhan“? Dan sebaliknya! Pihak Nasionalis dan Islamis tak 
berhenti-henti pula mencaci-maki pihak Marxis, mencaci-maki pergerakan 
yang “bersekutuan“ dengan orang asing itu, dan mencaci-maki pergerakan 
yang “mungkir“ akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang mengambil teladan 
akan negeri Rusia yang menurut pendapatnya: asasnya sudah palit dan 
terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi, 
bahkan mendatangkan “kalang kabutnja negeri“ dan bahaya-kelaparan dan 
hawar-penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta 
manusia, suatu jumlah yang lebih besar dari pada jumlahnya sekalian 
manusia yang binasa dalam peperangan besar yang akhir itu.

Demikian dengan bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing 
pemimpin, duduknya perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain 
sudah salah mengerti dan saling tidak mengindahkan. Sebab taktik 
Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan-bersama-sama dengan 
Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan 
menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang 
sungguh-sungguh. Marxis yang masih saja bermusuhan dengan 
pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis 
yang demikian itu tak mengikuti aliran jaman, dan tak mengerti akan 
taktik Marxisme yang sudah berobah. Sebaliknya, Nasionalis dan Islamis 
yang menunjuk-nunjuk akan “faillietnya“ Marxisme itu, dan yang 
menunjuk-nunjuk akan bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan yang 
telah terjadi oleh “practijknya“ paham Marxisme itu, -- mereka 
menunjukkan tak mengertinya atas paham Marxisme, dan tak mengertinya 
atas sebab terpelesetnya “practijknya“ tadi. Sebab tidaklah Marxisme 
sendiri mengajarkan, bahwa sosialisme itu hanya bisa tercapai dengan 
sungguh-sungguh bilamana negeri-negeri yang besar-besar itu semuanja 
di-“sosialis“-kan?

Bukankah “kejadian“ sekarang ini jauh berlainan dari pada “voorwaarde“ 
(syarat) untuk terkabulnya maksud Marxisme itu? Untuk adilnya kita punya 
hukuman terhadap pada “practijknya“ paham Marxisme itu, maka haruslah 
kita ingat, bahwa “failliet“ dan “kalang-kabut“-nya negeri Rusia adalah 
dipercepat pula oleh penutupan atau blokkade oleh semua negeri-negeri 
musuhnya; dipercepat pula oleh hantaman dan serangan empatbelas tempat 
oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perantjis, dan jendral-jendral 
Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh 
anti-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua surat kabar diseluruh 
dunia. Didalam pemandangan kita, maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut 
bertanggung-jawab atas matinya limabelas juta orang yang sakit dan 
kelaparan itu, dimana mereka menyokong penyerangan Koltchak, Denikin, 
Yudenitch dan Wrangel itu dengan harta dan benda; dimana umpamanya 
negeri Inggeris, yang membuang-buang berjuta-juta rupiah untuk menyokong 
penjerangan-penjerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu, telah 
“mengotorkan nama Inggeris didunia dengan menolak memberi tiap-tiap 
bantuan pada kerja-penolongan“ si sakit dan si lapar itu; dimana di 
Amerika, di Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu 
pula, karena terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum untuk 
kayu-bakar, sedang di negeri Rusia orang-orang didistrik Samara makan 
daging anak-anaknya sendiri oleh karena laparnya.

Bahwa sesungguhnya, luhurlah sikapnya H. G. Wells, penulis Inggeris yang 
masyhur itu, seorang yang bukan Komunis, dimana ia dengan tak memihak 
siapa juga, menulis, bahwa, umpamanya kaum bolshevik itu “tidak 
dirintang-rintangi mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu experiment 
(percobaan) yang maha-besar faedahnya bagi perikemanusiaan. . . . Tetapi 
mereka dirintang-rintangi“.
Kita yang bukan komunis pula, kita pun tak memihak siapa juga! Kita 
hanyalah memihak Persatuan-persatuan-Indonesia, kepada persahabatan 
pergerakan kita semua! Kita diatas menulis, bahwa taktik Marxisme yang 
sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme yang dulu. Taktik 
Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan dan 
anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu 
berubah, hingga kesengitan “anti“ ini sudah berbalik menjadi 
persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis 
dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan 
kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afganistan.

Adapun teori Marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnja begitu! Marx 
dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang 
bisa terpakai untuk segala jaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau 
jaman itu berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya 
dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun 
mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering 
menunjukkan perubahan paham atau perubahan tentang kejadian-kejadian 
pada jaman mereka masih hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai 
tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti “Verelendung“ sebagai 
yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis“ dengan pendapat tentang arti 
perkataan itu dalam “Das Kapital“, -- maka segeralah tampak pada kita 
perubahan paham atau perubahan perindahan itu. Bahwasannya: benarlah 
pendapat sosial-demokrat Emile Vandervelde, dimana ia mengatakan, bahwa 
“revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx 
dan Engels adanya“.

Perubahan taktik dan perubahan teori itulah yang menjadi sebab, maka 
kaum Marxis yang “muda“ baik “sabar“ maupun yang “keras“, terutama di 
Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh-sungguh. Mereka 
mengerti, bahwa di negeri-negeri Asia, dimana belum ada kaum proletar 
dalam arti sebagai di Eropa atau Amerika itu, pergerakannya harus diubah 
sifatnya menurut pergaulan hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti, 
bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan 
pergerakan Marxis di Eropa atau Amerika, dan haruslah “bekerja 
bersama-sama dengan partai-partai yang “klein-burgerlijk“, oleh karena 
disini yang pertama-tama perlu bukanlah kekuasaan tetapi ialah 
perlawanan terhadap pada feodalisme“.

Supaya kaum buruh di negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjadi 
pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali 
negeri-negeri itu merdeka, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale 
autonomie (otonomi nasional). “Nationale autonomie adalah suatu tujuan 
yang harus dituju oleh perjuangan proletar, oleh karena ia ada suatu 
upaya yang perlu sekali bagi politiknya“, begitulah Otto Bauer berkata. 
Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang 
pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan pergerakan buruh di Asia 
itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib bekerja 
bersama-sama dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasion 
itu juga, dengan tidak menghitung-hitung, asas apakah 
pergerakan-pergerakan itu mempunyainya. Itulah sebabnya, maka 
pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis yang 
mengambil otonomi itu sebagai maksudnya pula.

Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, 
pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme dihati-sanubari kaum buruh 
Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya ialah modal 
asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak 
senang dalam sanubari kaum-buruhnya Rakyat di-“bawah“ terhadap pada 
Rakyat yang di-“atas“-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan nationale 
machtspolitiek dari Rakjat sendiri. Mereka harus ingat, bahwa 
rasa-internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal 
sebagai di Eropa, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima paham 
internasionalisme itu pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena 
bangsa Indonesia itu oleh “gehechtheid“ pada negerinya, dan pula oleh 
kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk 
mencari kerja dilain-lain negeri, dengan itikad: “ubi bene, ibi patria: 
dimana aturan-kerja bagus, disitulah tanah air saya“, -- sebagai kaum 
buruh di Eropa yang menjadi tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air 
oleh karenanya.

Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat 
pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis 
adanja. Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin 
Marxis dilain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan 
kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan 
teladan pemimpin-pemimpin Marxis dinegeri Tiongkok, yang dengan ridho 
hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insaf 
bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan 
kemerdekaan nasional adanya.

Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbentusan 
dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka 
memerangi pergerakan, yang sebagaimana sudah kita uraikan diatas, dengan 
seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka 
memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga 
dengan seterang-terangnya ialah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas 
mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya 
mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, dengan 
seterang-terangnya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka 
bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme-baru terhadap agama 
adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu. Marxisme-baru adalah 
berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes Komunis“ 
mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen“ atau dilepaskan adanya.

Kita harus membedakan Historis-Materialisme itu dari pada 
Wijsgerijg-Materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya 
Historis-Materialisme itu berlainan dari pada maksudnja 
Wijsgerig-Materialisme tadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas 
pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara pikiran (denken) dengan 
benda (materie), bagaimanakah pikiran itu terjadi, sedang 
Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah pikiran 
itu dalam suatu jaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme 
menanyakan adanya (wezen) pikiran itu; historis-materialisme menanyakan 
sebab-sebabnya pikiran itu berubah; wijsgerig-materialisme mencari 
asalnya pikiran, historis-materialisme mempelajari tumbuhnya pikiran; 
wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme adalah 
historis. Dua paham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropa, terutama 
kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan 
satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak 
berhenti-henti mengusahakan kekeliruan paham itu; tak berhenti-henti 
mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu ialah kaum yang 
mempelajarkan, bahwa pikiran itu hanyalah suatu pengeluaran saja dari 
otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak 
berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah 
benda, suatu kaum yang bertuhankan materi.

Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropa terhadap kaum gereja, asalnya 
sikap perlawanan kaum Marxis Eropa terhadap kaum agama. Dan perlawanan 
ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, dimana kaum gereja itu 
memakai-makai agama untuk melindung-lindungi kapitalisme, memaka-makai 
agamanya untuk membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya 
untuk menjalankan politik yang reaksioner sekali. Adapun kebencian pada 
kaum agama yang timbulnya dari kaum gereja yang reaksioner itu, sudah 
dijatuhkan pula oleh kaum Marxis kepada kaum agama Islam, yang berlainan 
sekali sikapnya dan berlainan sekali sifatnya dengan kaum gereja di 
Eropa itu. Disini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; disini 
agama Islam adalah agama kaum yang di-“bawah“. Sedang kaum yang memeluk 
agama Kristen adalah kaum yang bebas; disana agama Kristen adalah agama 
kaum yang di-“atas“. Tak boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, 
agama kaum yang tak merdeka, agama kaum yang di-“bawah“ ini; agama yang 
menyuruh mencari kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum “bawahan“, 
-- agama yang demikian itu pastilah menimbulkan sikap yang tidak 
reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu perjuangan yang dalam 
beberapa bagian sesuai dengan perjuoangan Marxisme itu.

Karenanya, jikalau kaum Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di 
Eropa dengan kaum Islam di Indonesia ini, maka niscaya mereka mengajukan 
tangannya, sambil berkata: saudara, marilah kita bersatu. Jikalau mereka 
menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya-seasas yang sama 
bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi dilain-lain 
negeri, maka niscayalah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan 
jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum 
Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh 
berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.

Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan 
memperlihatkan segala perubahan teori asasnya, dengan menjalankan segala 
perubahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menyebutkan diri 
pembela Rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya 
Rakyat.

Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan 
kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan 
Islamis yang sungguh-sungguh, -- Marxis yang demikian itu janganlah 
merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun Rakyat adanya!

(Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, Suluh Indonesia Muda, 1926.)

* * *




[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejaht...@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelism...@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    wanita-muslimah-dig...@yahoogroups.com 
    wanita-muslimah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke