==========================================
Jimly dan Over Lapping Sistem Presidensial
oleh
WIWIN SUWANDI
Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan
=======================================

Proses seleksi Pimpinan KPK yang memasuki tahap seleksi lanjutan, memunculkan
pergulatan antara optimisme dan pesimisme prospek pemberantasan korupsi di 
Indonesia. Optimisme diusung jika melihat antusias pendaftar yang mencapai 287 
orang pada akhir pendaftaran, walau yang dinyatakan lolos seleksi berkas
hanya 145 orang. Berbeda dengan panitia seleksi Pimpinan Komisi Yudisial yang 
kering pendaftar.

***

Secara sederhana bisa dikatakan bahwa kesadaran masyarakat untuk beramar makruf 
nahi munkar dalam memerangi korupsi sebagai kejahatan umat patut untuk 
diapresiasi. Terlepas apakah terselip kepentingan pribadi maupun kelompok dalam 
mengikuti proses seleksi.

Namun demikian, di balik itu, tetap saja riak pesimisme bergelayut di benak 
penulis ketika kembali melihat campur tangan Presiden dalam proses seleksi 
Pimpinan KPK dengan "merestui" majunya Jimly Asshiddiqie untuk meramaikan
bursa seleksi. Sementara status Jimly masih terikat sebagai salah satu anggota 
Dewan Pertimbangan Presiden. Publik pun menduga-duga ada kepentingan
tersembunyi di balik majunya Jimly. Secara awam dapat dikatakan bahwa "restu" 
SBY telah mengantar Jimly ke kursi Pimpinan KPK, tanpa perlu susah-susah 
bersaing dengan ratusan kandidat lainnya.

Bermula dari surat resmi yang dilayangkan panitia seleksi (Pansel) ke Forum 
Rektor yang kurang lebih berisikan permintaan agar Forum Rektor mengajukan 
calon, Forum Rektor akhirnya merespons surat tersebut dengan mengajukan
Jimly Asshiddiqie, mantan ketua MK, akademisi, yang juga sementara menjabat 
sebagai salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden untuk mengikuti seleksi 
Pimpinan KPK. Riak bernada pro-kontra pun bermunculan merespons
majunya Jimly dalam bursa pencalonan. Apalagi proses majunya Jimly 
"diuntungkan" karena mengantongi "izin" dari Presiden yang didahului dengan 
surat pengunduran diri kemudian ditindak-lanjuti dengan Keppres pemberhentian
Jimly sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

Dengan tetap menjunjung tinggi asas kesetaraan dan persamaan di depan hukum,
beberapa catatan kritis bisa didiskusikan ketika menyikapi majunya Jimly 
Asshiddiqie dalam bursa pencalonan. 

Pertama, penulis mengapresiasi Pansel yang bersurat ke Forum Rektor untuk 
meminta tambahan amunisi dalam meramaikan bursa pencalonan. Langkah ini 
menandakan bahwa Pansel bersifat pro aktif dalam menjaring calon yang berasal 
dari beragam latar belakang profesi agar mudah melihat rekam jejak para calon 
yang mendaftar.

Namun demikian, penulis menyayangkan langkah Forum Rektor yang mengusulkan 
Jimly Asshiddiqie untuk mengikuti seleksi, sementara diketahui bahwa posisi 
Jimly sebagai salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Langkah Forum 
Rektor ini bisa berdampak buruk bagi proses regenerasi kader akademisi dalam 
internal perguruan tinggi. Saya kira masih banyak akademisi yang memiliki 
kemampuan sepadan. Hemat penulis, alangkah bagusnya jika Jimly tetap menekuni
jabatannya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan Forum Rektor 
mengajukan calon lain selain Jimly untuk diplot menduduki jabatan strategis
semisal Pimpinan KPK sehingga tercipta proses regenerasi yang ideal pada 
lingkungan Perguruan Tinggi.

Selain itu, (jika seandainya) kita berpikir bahwa Jimly yang akan menduduki 
jabatan Pimpinan KPK nantinya, maka kurang tepat jika melihat kepakaran Jimly 
yang berlatar belakang Hukum Tata Negara, bukan pidana. Saya kira Pansel perlu 
mendengarkan saran, masukan dan beragam komentar publik yang mengidealkan 
seorang Pimpinan KPK berlatar belakang pidana. Hal ini mengingat
korupsi adalah kejahatan pidana yang juga masuk kategori pidana khusus. Di 
samping dua mantan Pimpinan KPK yang lalu; Taufiqurrahman dan Antasari yang 
berasal dari Polri dan Kejaksaan yang erat kaitannya dengan masalah pidana.

Kedua, keputusan SBY merestui majunya Jimly dalam seleksi Pimpinan KPK 
sejatinya telah memperlihatkan kuatnya intervensi Presiden dalam penentuan 
posisi seseorang untuk menduduki jabatan penting semisal Pimpinan KPK. Langkah 
ini menimbulkan kekhawatiran bangkitnya politik executive heavy sebagaimana 
yang pernah terjadi pada masa Orba dulu. Jika becermin pada kasus Sri Mulyani 
yang lalu, di mana Presiden berseberangan pendapat dengan DPR tentang kebijakan 
bailout Century hingga kemudian membuat SBY "mengamankan" Sri Mulyani dengan 
menempatkannya sebagai pejabat penting di Bank Dunia, maka kekhawatiran 
bangkitnya politik executive heavy ini bisa menjadi kenyataan
(walaupun tentang ini masih perlu untuk didiskusikan lebih jauh).

Dalam negara dengan sistem presidensil seperti Indonesia, kekuasaan 
pemerintahan negara di bawah kendali Presiden teramat besar. Utamanya dalam 
menyikapi isu-isu sensitif kenegaraan seperti korupsi. Kekuasaan penuh 
pemerintahan negara di bawah kendali Presiden ini terdapat pada Pasal 4 ayat 
(1) yang mengatakan bahwa Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut 
UUD. Jika kita mengkaji UUD 1945 Bab Kekuasaan Pemerintahan Negara, maka 
ditemukan ada sepuluh kekuasaan Presiden di dalamnya. Kesepuluh kekuasaan
itu secara berurut dapat disebutkan yaitu; 
kekuasaan di bidang penyelenggaraan pemerintahan; 
kekuasaan di bidang peraturan perundang-undangan;
kekuasaan di bidang yudisial;
kekuasaan dalam hubungan luar negeri; 
kekuasaan menyatakan keadaan bahaya.

Di samping itu, masih ada kekuasaan lainnya seperti
kekuasaan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan bersenjata; 
kekuasaan memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya; 
kekuasaan membentuk dewan pertimbangan presiden;
kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri; dan 
kekuasaan mengangkat, menetapkan, atau meresmikan pejabat-pejabat negara
lainnya. 

Jika dibandingkan dengan kekuasaan pemerintahan negara pada delapan negara
maju (AS, Jepang, China, Rusia, Jerman, Kuwait, Australia, dan Afrika Selatan), 
maka kekuasaan pemerintahan negara di bawah kendali Presiden di
Indonesia masih sangat besar dari beberapa negara tersebut (Ghoffar;2009).

Dalam kasus majunya Jimly, Presiden mempraktikkan kekuasaan di bidang 
penyelenggaraan pemerintahan dengan menyetujui Jimly mengikuti seleksi Pimpinan 
KPK. Idealnya, pelaksanaan kekuasaan di bidang penyelenggaraan
pemerintahan ini bukan sekadar dilandasi soal suka-tidak suka namun seyogianya 
juga didasari asas kepatutan dan kelayakan. Asas kepatutan dan kelayakan ini 
yang akan menjadi pembuktian pantas tidaknya seseorang yang diplot untuk 
menduduki sebuah jabatan maupun yang direkomendasikan oleh Presiden untuk 
mengikuti sebuah seleksi terhadap jabatan tertentu.







[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke