Komunitas Historia Indonesia:
NASIONALISME YANG TIDAK SEKADAR POLESAN
(Media Indonesia, Edisi 13 Agutus 2010. P.27) 


Oleh: Vini Mariyane Rosya (v...@mediaindonesia.com)
 
Perayaan kemerdekaan kental dengan merajut kembali benang-benang ingatan 
sejarah 
perjuangan bangsa ini. Benarkah kemeriahannya cuma hadirkan nasionalisme semu? 
Tanggal 17 Agustus tinggal hitungan jari.
 
Kemeriahannya se makin terasa. Mulai dari semakin maraknya penjual berbagai 
penjual atribut 17-an hingga gang-gang pinggir jalan pun mulai menghias diri 
dengan gapura dan bendera-bendera merah putih.
 
Sayangnya lebih banyak yang lebih suka mengartikan perayaan kemerdekaan sebagai 
penerusan tradisi melakukan perlombaan ketimbang memaknai nasionalisme itu 
sendiri.
 
"Justru yang tampak sekarang ini, ya 17-an sekadar sarana bersenang-senang yang 
meneruskan ajaran kolonial dengan berbagai perlombaan makan kerupuk, panjat 
pinang, balap karung. Bagi saya ini tradisi yang kurang baik. Harusnya ada 
pemaknaan nasionalisme itu sendiri," ungkap Ketua komunitas Historia Indonesia 
(KHI) Asep Kambali, kemarin.
 
Menurut Asep, menyambangi perlombaan dan pesta kemerdekaan yang tak jarang 
melewati garis hedonisme hanya akan menghasilkan nasionalisme yang sekadar 
polesan. "Terlalu kasihan kalau nasionalisme hanya dimaknai lomba balap karung 
dan sejenisnya, tak ada istimewanya. Dan sama sekali tidak membantu kita 
menapak 
tilas sejarah," sesalnya.
 
Hal itu yang menjadi salah satu alasan KHI menawarkan alternatif perayaan hari 
kemerdekaan. Sejak berdiri tahun 2002 dan diresmikan Maret 2003, KHI selalu 
menawarkan gaya segar dalam merayakan kemerdekaan. Tak sekadar menyenangkan, 
kegiatan KHI ini sekaligus ingin menyegarkan kembali sejarah perjuangan bangsa.
 
"Yang paling dekat tanggal 16 Agustus nanti, KHI akan memperingati dengan cara 
napak tilas di museum. Ini sudah berlangsung sejak tahun 2002. Kami akan 
mengerahkan massa, konvoi dari Museum Juang ke Tugu Proklamasi, dengan 
menampilkan seni-seni khas Indonesia, mulai dari reog, barongsai, hingga 
menyulap suasana Jakarta menjadi tempo dulu dengan berbagai pawai mobil tua dan 
sepeda onthel," paparnya.
 
Selain itu, lanjut Asep, KHI pun mengadakan berbagai lomba, bukan makan kerupuk 
atau bakiak, melainkan lomba menjadi tokoh-tokoh sejarah serta membaca teks 
proklamasi.
 
"Tak hanya memainkan semacam role playing, masyarakat juga bisa melihat 
pemutaran film sejarah, seperti Janur Kuning atau Max Havelaar, atau belajar 
memahami teks proklamasi," sahutnya.
 
Anggota KHI lainnya, Ikung Indrawati mengatakan dengan pengemasan peringatan 
yang lebih bermakna, masyarakat diharapkan akan lebih menyadari dan mengingat 
siapakah bangsa ini dulunya.
 
"Jadi masyarakat sadar siapakah dirinya yang sebenarnya, lalu kemudian 
membangun 
masa depan bangsa ini lebih baik. Ini sebenarnya inti belajar sejarah," 
ucapnya. 
Membangun Nasionalisme, diakui Asep, bukanlah perkara mudah. Apalagi masyarakat 
metropolis sadar atau tidak telah terlena pada gaya hidup global. Menurut Asep, 
kunci nasionalisme yang sesungguhnya hanya akan tumbuh lewat pemahaman 
kesejarahan yang baik.
 
"Sulit rasanya mengakui seseorang yang mengaku nasionalis kalau pengetahuan 
dasar sejarah saja ia tidak tahu. Apa makna nama Indonesia, siapa yang memberi 
nama Indonesia pertama kali, siapa para pendirinya, kapan, ini semua merupakan 
ukuran kognisi, pengetahuan masa lalu," papar Asep.
 
Jebolan Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta tersebut 
mengatakan pemahaman sejarah yang baik akan terlihat jelas lewat dua faktor 
afeksi dan psikomotorik, bukan semata kognitif.
 
"Setelah tahu, apakah seseorang memiliki sikap ingin menjaga Indonesia? Kritis 
terhadap persoalan bangsa? Semua itu tidak akan terwujud jika tidak memiliki 
pengetahuan, serta tak akan tampak kalau tidak punya indikator ketiga, yakni 
keinginan untuk bertindak, berperilaku atau aksi, atau psikomotorik," tuturnya.
 
Kalau nasionalisme ini tidak juga dipahami secara utuh, lanjut Asep, hal 
tersebut akan dijadikan alat oleh bangsa lain untuk mengalahkan bangsa ini. 
"Kejahatan yang sifatnya tidak kelihatan ini harus dilawan oleh soft power, ini 
yang harus dikuatkan melalui pendidikan sejarah dan pemahaman nasionalisme," 
tandasnya.
 
Ikung menambahkan, ironisme juga terlihat dari ketidakpedulian masyarakat akan 
pembelajaran sejarah. "Masyarakat jauh lebih peduli dengan kebutuhan hidup dan 
bersenang-senang daripada mengeksplorasi sejarah," sahutnya miris. Ironis 
Sebenarnya, menurut Asep dan Ikung, faktor penting pembentukan nasionalisme ada 
pada pendidikan sejarah yang mumpuni di semua jenjang pendidikan. Sayangnya, 
pemerintah pun dinilai Asep belum juga menunjukkan keseriusannya menyajikan 
pembelajaran sejarah yang benar-benar bernilai.
 
"Dari mulai jam pelajaran yang hanya 2 jam, pengajar sejarah yang tak punya 
dasar pendidikan sejarah, kurangnya fasilitas dan media pembelajaran sejarah, 
kurikulum yang membelenggu, birokrasi, hingga pola pikir masyarakat bahwa 
belajar sejarah maka masa depannya suram dan tak bisa kerja. Jadilah pendidikan 
sejarah hanya ala kadarnya," sesal Ikung.
 
Pendidikan, tambah Asep, harusnya tak sekadar pendidikan fisik belaka, tapi 
juga 
harus mampu membangun jiwa. "Jadi tak sekadar bangunan. Keutuhan bangsa ini 
hanya pada jiwa. Kalau anak-anak muda kita sendiri yang menghancurkan 
nilai-nilai sejarah, kita tidak akan punya kapasitas yang sama untuk hidup 
sebagai bangsa," tegasnya.
 
Di negara maju seperti Amerika Serikat, perlakuan masyarakat untuk sejarahnya 
lebih terhormat. Tak hanya proporsi dan kualitas pembelajaran yang jauh lebih 
baik daripada kurikulum Indonesia, sejarah menjadi salah satu tolak ukur 
signifikan dalam setiap tes pejabat publik.
 
"Untuk jadi senator ada ujian sejarah terlebih dahulu di Amerika. Kalau mau 
jadi 
gubernur, ada tes sejarah Amerika. Kalau kita? Di ujian nasional saja tidak 
ada," tambah Asep. (M-4) 

 
 
BIAR SEJARAH LEBIH GAUL

BERAWAL dari kegerahan melihat bagaimana kebanyakan orang dan pemerintah 
memperlakukan sejarah, Asep Kambali bersemangat membangun Komunitas Historia 
Indonesia (KHI). Misinya sederhana, ia ingin publik, terutama generasi muda 
memandang sejarah sebagai sesuatu yang gaul, menyenangkan, dan populer.
 
"Saya ingin sejarah punya image baru di masyarakat. Bukan paradigma yang bahwa 
sejarah memiliki masa depan suram, lapuk, kumuh, tua, melainkan sejarah yang 
menarik, gaul, populer, mengedukasi, dan menghibur," ucapnya.
 
Ikung Indrayati yang turut serta mendirikan KHI mengatakan pendekatan sejarah 
terhadap remaja memang tak bisa begitu saja disamakan dengan orang dewasa. 
Remaja membutuhkan pembelajaran sejarah yang lebih interaktif.
 
"Jadi sifatnya lebih dua arah dan banyak diskusi. Bisa juga dengan terjun 
langsung ke tempat-tempat bersejarah, atau bertemu dengan tokoh-tokoh sejarah 
ataupun keturunannya yang masih hidup. Pasti ada nuansa yang berbeda mengetahui 
seorang tokoh dari narasumber langsung, bukan buku," paparnya.
 
Ikung mencontohkan pengalamannya saat di sekolah tempatnya mengajar ada seorang 
cicit Soekarno. Saat ia bersama anak didiknya mengunjungi dan mend engarkan 
cerita sosok Bung Karno dari anak itu, ada perspektif baru yang didapat. Selain 
itu, pengajar sejarah ini juga melihat perlunya penyajian acara-acara 
kesejarahan yang bisa diselingi hiburan yang menarik untuk remaja. Sejarah, 
imbuhnya, tidak perlu kaku untuk dipelajari. "Misalnya adakan semacam konser 
musik. Menurut saya hal-hal ini diperlukan," ucapnya.
 
Asep dan Ikung bersama rekan-rekan dalam komunitas yang saat ini anggotanya 
telah menyentuh angka 9.000 orang tersebut memang senantiasa mengasah 
kreativitas dalam menyuguhkan sejarah.
 
"Kami sangat anti dengan metode pembelajaran sejarah yang konvensional, dengan 
hanya baca buku dan mendengarkan guru di kelas yang membuat tidur. Saya pun 
menciptakan lomba History Amazing Race, semacam lomba mengenal sejarah dari 
museum ke museum. Ternyata animo cukup banyak," ujarnya.
 
Selain lomba, sejak 2005, KHI telah sering mengadakan kerja sama dengan 
berbagai 
pihak sekolah untuk mengadakan kunjungan ke museum, artefak, atau benda sejarah 
hingga ke situs-situs sejarah. "Nah dengan guide yang supel, kita bisa ajak 
anak-anak itu mengenal sejarah dengan lebih menyenangkan," ucapnya. Bisa 
sejahtera Selain pengembangan metode belajar, Asep juga selalu meyakinkan 
banyak 
orang bahwa ilmu sejarah pun dapat menyejahterakan. "Sejak beberapa waktu lalu 
saya membuat program, yang intinya itu mengumpulkan lulusan sejarah, lalu 
melatih mereka untuk menjadi guide museum atau situs yang gaul dan 
menyenangkan. 
Setelahnya mereka bisa langsung menjadi guide, penghasilannya lumayan," ucapnya.
 
Mahasiswa magister ilmu komunikasi perusahaan Universitas Paramadina tersebut 
juga sedang gencar-gencarnya mempromosikan pentingnya pendidikan sejarah bagi 
pegawai ke sejumlah perusahaan. Respons beberapa perusahaan ternyata cukup 
baik. 
"Jadi kami bisa membuat semacam program bersama," imbuhnya.
 
Malah, Asep juga sempat ditawari salah satu stasiun TV nasional swasta untuk 
mencarikan lulusan jurusan sejarah yang potensial. Lulusan tersebut ingin 
diberdayakan sebagai pembawa acara berbasis sejarah. "Ini contoh banyak hal 
yang 
bisa dieksplorasi dari ilmu sejarah ini," tandasnya. (*/M-4)
 
TESTIMONI
Hirman Setiawan
Kepala Museum Mandiri, juga Anggota KHI.
 
Saya sangat sering bekerja sama den gan Komunitas Historia Indonesia (KHI). 
Dari 
sejak Museum Mandiri berdiri di Kota Tua pada 2004 akhir, Kang Asep sudah 
sangat 
sering berkunjung dan membawa rombongannya. Yang unik dari komunitas ini adalah 
seringnya mereka membawa rombongan remaja dan pelajar. Mereka suka mengemas 
paket-paket menarik untuk remaja dan pelajar yang terjangkau. Menurut saya ini 
bagus sekali dan saya salut dengan yang dilakukan KHI.
 
Bagi saya, pengenalan sejarah kepada remaja akan membuat mereka mengenal para 
pendahulu mereka dan mengambil contoh dari mereka, baik dari sikap hidup, 
perjuangan, kerja keras, maupun pengorbanan mereka.
 
Mempelajari pahlawan akan membuat para remaja lebih baik dalam bersikap dan 
memutuskan sesuatu. Jadi singkatnya mereka tidak hilang arah. Saya melihat KHI 
telah menawarkan pembelajaran, tapi tak menghilangkan kesenangan mereka. Mereka 
bisa tetap konvoi, nongkrong bareng, dan berfoto bersama dengan paket seharga 
Rp60 ribu atau Rp70 ribu saja.
 
Jadi anak-anak ini tak sekadar memandang museum atau Kota Tua untuk latar foto, 
tapi juga ada banyak nilai yang didapat. Singkatnya tetap santai, tapi ada 
nilai 
yang dibawa.(*/M-4)

NB: Download Lampiran versi PDF-nya. Hemat kertas ;-)
 
 
KOMUNITAS HISTORIA INDONESIA (KHI)
Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia
Phone         : (021) 3700.2345, Mobile: 0818-0807-3636
E-mail/FB  : komunitashisto...@yahoo.com 

Mailing list: http://groups.yahoo.com/group/komunitashistoria
Homepage  : http://www.komunitashistoria.org 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke