http://hukumonline.com/berita/baca/lt4c535de49faa3/kebebasan-berkeyakinan-baru-sebatas-konstitusi


Kebebasan Berkeyakinan Sebatas Teks Konstitusi 
[Sabtu, 31 July 2010]

Terdapat pemaksaan terselebung dalam pelaksanaan masyarakat beragama dan 
berkeyakinan. 





Pasca amandemen UUD 1945, terjadi perubahan yang signifikan terhadap pengakuan 
perlindungan hak asasi manusia. Tidak terkecuali hak atas kebebasan beragama 
dan berkeyakinan.

 

Namun, sejumlah pengaduan yang masuk ke Komnas HAM memperlihatkan implementasi 
perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan masih minim. Sejak 
1998 sampai dengan 2007 tercatat setidaknya 50 pengaduan, dari mulai pelarangan 
pendirian dan perusakan tempat ibadah, hingga pelanggaran hak-hak sipil bagi 
umat berkeyakinan minoritas.

 

Puluhan pengaduan itu mendorong Komnas HAM untuk melakukan penelitian tentang 
hak atas memilih dan memeluk agama. Hasilnya, ditemukan adanya pemaksaan 
terselubung dalam memilih dan memeluk agama.

 

Salah satu peneliti, Yossa A Nainggolan menerangkan, dari sektor pendidikan 
banyak terdapat pemaksaan terselubung dalam pencatatan. Ketika ada siswa 
penganut aliran yang dianggap tidak resmi, anak itu diharuskan menganut salah 
satu agama resmi.

 

Tak hanya pendidikan, pemaksaan terselubung juga terjadi dalam register 
kependudukan, aspek kesehatan, dan tenaga kerja. Misalnya saja, seorang anak 
tidak bisa memiliki akta kelahiran karena kedua orang tuanya menganut aliran 
kepercayaan, sehingga pernikahan mereka tidak bisa dicatatkan. Akibatnya 
menjadi luas karena akhirnya anak itu tidak bisa sekolah karena tidak memiliki 
akta kelahiran.

 

Dari aspek kesahatan, seorang ibu tidak bisa melahirkan di bidan karena si ibu 
menganut aliran kepercayaan. Sementara dalam aspek tenaga kerja, penganut 
Ahmadiyah tidak bisa menjadi Pengawai Negeri Sipil (PNS). Yang sudah menjadi 
PNS pun mengalami pengucilan dan dilabeli stigma-stigma tertentu.

 

Temuan-temuan yang didapatkan Komnas HAM memperlihatkan adanya pelanggaran HAM 
yang juga dilakukan oleh aparat neggara.

 

Penelitian Komnas HAM sendiri memilih tema Hak atas memilih dan memeluk agama 
yang termasuk ke dalam forum internum. Yossa menerangkan, Forum internum 
mencakup kebebasan individu untuk memilih agama atau keyakinannya, menganut 
serta melaksanakan agama dan keyakinan itu dalam lingkup privat. Karenanya, 
"forum internum adalah forum privat yang tidak bisa dibatasi apapun."

 

Penelitian dilakukan di enam wilayah, yaitu Tanggerang, Lebak, Sukabumi, 
Tasikmalaya, Blora, dan Solo. Keenam wilayah itu dipilih karena banyak 
pengaduan yang berasal dari sana. Menurut Yossa, fenomena beragama dan 
berkeyakinan di enam wilayah itu cukup tinggi. Banyak aliran-aliran kepercayaan 
yang direspon secara radikal oleh kelompok-kelpompok masyarakat tertentu.

 

Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menerangkan bahwa sejak amandemen kedua UUD 1945, 
jaminan atas kebebasan beragama menempati tempat yang tinggi. "Dari sudut 
legalnya, hak atas kebebesan beragama mendapatkan perlindungan yang sangat kuat 
dalam rezim hukum kita," terangnya.

 

Namun dalam implementasinya, masih terdapat diskriminasi bahkan reaksi radikal 
dari masyarakat. Menurut Ifdhal, masalahnya bukan melulu terletak di 
masyarakat. Tetapi negara juga memiliki peran dalam menegakkan hukum. Hal-hal 
yang sudah diatur secara normatif harus diaktualisasikan dalam penegakan 
hukumnya.

 

"Sebagian besar masalahnya sebetulnya di luar masyarakat, yaitu pada aparat 
Negara, terutama dalam kemampuannya menegakkan hukum," ujar Ifdhal.

 

Direktur Eksekutif Wahid Institute, Ahmad Suaedy mempersoalkan keberadaan Badan 
Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dalam Masyarakat (Bakorpakem). 
Menurutnya, keberadaan Bakorpakem justru diperkukuh dan masih tertera secara 
eksplisit di UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

 

Ahmad melihat belum ada usaha yang memadai oleh pemerintah dalam penegakan dan 
pelaksanaan hak-hak beragama dan berkeyakinan. Ahmad merasa yang menjadi pokok 
permasalahan adalah adanya pelabelan agama resmi dan agama tidak resmi. 
Pelabelan itu merupakan kesalahan paradigma dan inkonsistensi terhadap 
amandemen UUD 1945.

 

Sekretaris Umum Majelis Tinggi Khonghucu Indonesia Uung Sendana menyatakan 
tidak ada agama dan kepercayaan resmi dan tidak resmi. Menurutnya, agama tidak 
membutuhkan pengakuan Negara. Menurutnya, paradigma yang membedakan antara 
agama resmi dan tidak resmi harus diubah. Negara tidak bisa menentukan 
keyakinan setiap warganya. Karena, cara berideologi dan beragama tdak bisa 
ditafsirkan dalam satu tafsir.



DNY


Dapatkan pengetahuan hukum di perangkat selular anda, plus diskon khusus untuk 
seminar, database hukum, dan buku-buku hukumonline. Ketik REG HUKUM, kirim ke 
9899 (semua operator, kecuali smart).


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke