http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/18/149736/70/13/Lembaga-Latah


Lembaga Latah 


Jumat, 18 Juni 2010 00:00 WIB      
NEGERI ini sudah mengalami inflasi kelatahan yang amat akut, terutama dalam 
soal membentuk lembaga. Nomenklatur kelatahan lembaga itu bermacam-macam. Ada 
badan, dewan, komisi, mahkamah, majelis, unit, satgas, atau komite. 

Sudah lebih dari 50 lembaga dibentuk dengan rupa-rupa tugas, tapi tidak satu 
pun tugas itu tuntas. Dan, dengan dalih menuntaskan agenda lembaga tersebut, 
dibentuklah lembaga baru. 

Persis seperti olok-olok yang berkembang di masyarakat, yakni negeri ini rajin 
membentuk panitia untuk segala perkara. Bahkan, untuk memadamkan api yang sudah 
berkobar-kobar, diperlukan membentuk panitia pemadaman dulu. 

Itu pula atmosfer yang mengiringi lahirnya dua lembaga baru, Komite Ekonomi 
Nasional yang disingkat KEN dan Komite Inovasi Nasional atau KIN. Keduanya 
dibentuk berdasarkan peraturan presiden. 

KEN didirikan dengan Perpres Nomor 31/2010. Dengan diketuai pengusaha Chairul 
Tanjung, KEN diisi 24 akademisi, praktisi, dan ahli di bidang ekonomi. Adapun 
KIN yang dibentuk dengan Perpres Nomor 32/2010 terdiri dari 30 akademisi dan 
ilmuwan, yang diketuai Prof Zuhal. 

Komite tersebut bertugas menelaah kebijakan dan memberikan kebijakan 
rekomendasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di bidang ekonomi dan 
inovasi. 

Bedanya, KEN ditugaskan menelaah postur dan skema APBN, menelaah apa yang oleh 
Presiden Yudhoyono disebut economic connectivity, menelaah upaya mencapai 
pertumbuhan yang stabil dan berkelanjutan, pengurangan kemiskinan, pengurangan 
pengangguran dan lapangan kerja, ketahanan pangan dan air, ketahanan energi, 
dan mengurangi beban utang luar negeri dalam kurun enam bulan. 

Di sisi lain, KIN ditugaskan menelaah sejumlah bidang dalam jangka pendek, 
menengah, dan panjang. Untuk jangka panjang, Presiden menugasi KIN merumuskan 
bagaimana bisa membangun knowledge society, bersama-sama membangun gaya hidup 
yang ramah lingkungan, membangun kewirausahaan, dan membangun masyarakat 
kreatif dan inovatif sehingga ekonomi kreatif tumbuh. 

Namun, sederet tugas wah tersebut amat mungkin bakal menjadi macan kertas yang 
disimpan dalam laci. Seperti yang sudah-sudah, rekomendasi lembaga pasti akan 
'dipertimbangkan', tapi bukan untuk dieksekusi. 

Maka, lembaga baru lebih menjadi lemak baru dalam struktur birokrasi 
kepresidenan. Sebab presiden sudah memiliki Wantimpres bidang perekonomian, 
menko perekonomian, dan menteri keuangan. 

Alih-alih menyehatkan, kehadiran lembaga baru itu justru bakal menghasilkan 
kolesterol jahat. Apalagi jika motif politik membonceng pembentukan komite itu. 

Bisa saja, misalnya, ada nama-nama yang digadang-gadang jadi menteri, tapi 
tidak terakomodasi sehingga diwadahi dalam struktur kepengurusan komite. Kalau 
itu yang terjadi, lembaga, komite, atau apa pun namanya, menjadi paguyuban 
tempat kongko-kongko sembari menjadi mesin pengeruk uang negara. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke