http://www.antaranews.com/kolom/?i=1280131290

Luluskah Kita Berbahasa?
Senin, 26 Juli 2010 15:01 WIB |
Alfan Alfian
Kolom saya kali ini, hendak mengobrolkan soal bahasa. Bahwa "bahasa menunjukkan 
bangsa" merupakan sebuah peribahasa yang sudah sangat lazim kita ketahui. 
Peribahasa itu mirip dengan peribahasa Jawa desa mawa cara, negara mawa tata. 
Tetapi kelihatannya bahasa jauh lebih penting di atas "cara" dan "tata". 

Dengan bahasa lah segala macam kesepahaman dipersatukan, agar kreatifitas dan 
inovasi penentu kemajuan bangsa selalu hadir dan awet. 

Kita berterimakasih dengan Bahasa Indonesia, bahasa nasionalisme kita sebagai 
bangsa. Dalam suatu seminar, Sosiolog Yudi Latif, yang disertasinya menguraikan 
tentang hal-ikhwal peran cendekiawan Muslim dalam pembentukan dan perjuangan 
bangsa Indonesia, menjelaskan tentang betapa kuatnya keinginan para pejuang 
tempo dulu mewujudkan suatu bahasa, Bahasa Indonesia.

Memang kemudian kita catat adanya Sumpah Pemuda, 1928. Bahwa quasi-nasionalisme 
kita mulai terbentuk oleh kesadaran imajinatif akan adanya suatu tanah air, 
bangsa, dan bahasa : Indonesia. Mereka adalah, meminjam Bennedict R'OG Anderson 
adalah komunitas imajiner (imagine community), artinya terbuai oleh imajinasi 
bersama, berdasarkan kesamaan visi dan pengalaman bersama untuk mewujudkan 
obsesi membentuk suatu bangsa.

Yudi Latif menyebut sosok Siti Sundari, seorang perempuan terpelajar pada zaman 
Sumpah Pemuda, yang berjuang keras menggunakan Bahasa Indonesia dalam 
pidato-pidatonya. Kalau kita simak lagi di masa kini, pilihan kata atas 
pidatonya itu lucu-lucu, campuran dengan Bahasa Belanda, dan tentu saja logat 
Indonesianya pun juga terasa aneh.

***
Munculnya Bahasa melayu sebagai dasar Bahasa Indonesia, menurut Nurcholish 
Madjid tak lepas dari kearifan bersama kalangan nasionalis, dari semua kelompok 
yang ada yang memandang bahwa ia telah menjadi lingua franca atau bahasa 
pergaulan sejak berabad-abad.

Bagaimana dengan Bahasa Jawa, sebagai bahasa kelompok mayoritas kalangan 
pergerakan nasional saat itu? Ia tetap dihargai, sebagaimana Bahasa Sunda dan 
bahasa-bahasa daerah lainnya. Tetapi, Bahasa Jawa tidak dapat secara simpel 
diterapkan sebagai "bahasa nasional", karena kerumitan tingkatan-tingkatan 
kebahasaannya. 

Kita membutuhkan suatu bahasa yang justru mempertegas egalitarianisme di antara 
sesama anak bangsa, bukan bahasa yang masih memelihara iklim feodalisme. 
Tradisionalitas kita memang tak lepas dari feodalisme, suatu praktik sosial 
yang menolak egalitariansme alias kesederajatan. 

Bahkan sampai kini masih terasa, hanya saja bentuknya lain, tidak semata-mata 
ditunjukkan dalam laku dhodhok alias berjalan sambil duduk saat menghadap raja 
dalam ketoprak-ketoprak alias sandiwara-sandiwara tradisional, tetapi sudah 
modifikatif.

Selama rakyat masih dipandang sebagai obyek oleh para pemimpin yang miskin 
empati dan mabuk-larut di dalam kegelimangan fasilitas, selama mereka 
dimanfaatkan saja untuk mengiyakan alias mendukung suatu citra tertentu dalam 
politik elektoral, maka rasanya hal sedemikian itu jauh lebih parah ketimbang 
feodalisme.

***
Dalam sebuah diskusi, seorang teman dari sebuah lembaga swadaya masyarakat 
program yang punya anggaran dana dari luar negeri dan suka menyeleksi 
program-program pendidikan demokrasi, menunjukkan suatu data menarik dari 
sebuah jurnal internasional, yang mengaitkan antara jalannya demokrasi dan 
nilai tradisionalitas. 

Bahwa, Indonesia termasuk yang menonjol dalam konteks jalannya demokrasi. 
Tetapi, kecenderungan nilai tradisionalitas jauh lebih tinggi lagi. Itu artinya 
kadar feodalisme kita dalam berpolitik juga masih cukup tinggi. Feodalisme, 
diekspresikan dalam hubungan-hubungan klientalisme, familiisme, dan dengan 
mengajukan sentimen-sentimen primordial lain.

Mungkin itu sebabnya, dalam banyak pilkada, calon kepala daerah dan yang 
terpilih melingkar-lingkar di situ-situ juga : sehabis suami, istri, kalau 
tidak anak dan kemenakan. Dalam konteks politik nasional, kita juga masih 
menyaksikan adegan-adegan politik dinasti -walaupun fenomena politik dinasti 
bisa terjadi di mana saja, dan bukan sesuatu yang salah.

Feodalisasi bahasa Indonesia kita dalam politik, juga sesungguhnya masih 
menonjol. Coba kita simak bagaimana para politisi senior dan junior terbiasa 
berbahasa dalam pergaulan mereka sehari-hari. Yang senior suka dipanggil 
kakanda (dari kata "kakak" dan "anda"), ayunda ("ayu" dan "anda", dimana "ayu" 
terkesan kata yang sangat dipaksakan), abangda, ayahnda, ibunda -tetapi tidak 
ada kakeknda dan neneknda.

Akhiran, kalau memang itu layak disebut akhiran "nda", rasanya berkonotasi 
feodal. Benar bahwa ia dimaksudkan untuk menghormati, tetapi nuansanya tetap 
saja "kepentingan", dan rasanya juga "berlebihan" yang hanya relevan dipakai 
dalam konteks sanjungan bukan kesederajatan fungsional. Bukankah cukup kita 
panggil Pak, Bu, Bung, Kak, atau Bang?

Untuk melanggengkan legitimasi neo-feodal, maka yang senior lantas juga larut 
dalam praktik berbahasa nda-nda. Dengarkan kalimat-kalimat berikut : "Hai, 
apakabar adinda? Wah adinda hebat sekali lho, kakanda sangat senang dengan 
prestasi adinda, bla-bla-bla..."

Secara sengaja atau tidak sengaja, struktur feodalisme pun terkokohkan dalam 
berbahasa. Bahwa yang yunior harus pandai-pandai memanfaatkan kalimat-kalimat 
yang hiperbolik, walaupun tidak selalu dengan frasa duli tuanku alias injih 
Ndoro (baik Tuan)  -tapi coba rasakan dengan frasa "siap Abangku", "baik 
Kakanda", "alhamdulillah sehat Ayahnada".

***
Dalam sebuah acara talk show di televisi dua orang profesor, masing-masing 
pakar manajemen dan sejarah Islam yang tergolong sangat populer di negeri ini 
mengaku pernah tidak lulus ujian Bahasa Indonesia. Tetapi, sekarang kita tahu 
bahwa keduanya penulis produktif. Prof. Rhenad Khasali adalah pakar manajemen 
dan kolomnis kenamaan. Demikian juga Prod Azyumardi Azra.  

Saya jadi teringat, bahwa konon mata pelajaran bahasa Indonesia adalah wajib 
lulus dalam Ujian Nasional alias unas, yang "ditakuti" oleh para pelajar itu. 
Katanya banyak yang lulus mata pelajaran ini. Mungkin kita langsung bertanya, 
ada apa memangnya dengan bahasa Indonesia kita? Begitu susahnya kah ia saat 
diujiankan?

Dalam sebuah kolomnya, Lie Charlie, seorang pakar bahasa tinggal di Bandung, 
pernah memaparkan bahwa ujian Bahasa Indonesia kita memang rumit, seperti 
menebak kuis. Cuma, tebakan kuis kita kali ini, tidak ada call my friend atau 
ask the audiens. 

Misalnya, antonim itu apa? Homonim? Antonim? Sinonim? Mana yang termasuk 
kalimat pras prototo? Mana yang hiperbolik? Mana yang contradictio interminis? 
Lantas ada empat pilihan jawaban yang mirip-mirip. Saya tidak tahu persis, apa 
relevansinya pengetahuan detil soal hal-hal semacam itu dengan praktik 
berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi, untungnya, katanya unas sudah 
ditiadakan tahun ini.

Yang efektif untuk mengurangi kesalahan dalam berbahasa adalah, belajar dari 
dua profesor di atas, mengarang. Pelajaran mengarang, mestinya yang harus 
digenjot. Pengetahuan berbahasa bukan tak lebih penting. Tetapi kalau 
mengarang, semua pengetahuan itu dicoba diaplikasikan.

Sedemikian pentingnya mengarang, Pemerintah Thailand baru-baru ini prihatin 
dengan mengecambahnya fenomena facebook dan twitter, yang dipandang menggeser 
dominasi bahasa nasional mereka. 

Facebook dan Twitter diduga menjadi penyebab mengapa kemampuan berbahasa
pelajar Thailand makin lemah. Karena itu, Kementerian Budaya Thailand 
menyarankan agar para pelajar kembali ke tradisi menulis surat.

Kita tahu bahwa Bahasa Thailand itu khas, alvabetnya juga khas, seperti huruf 
Jawa, tetapi tampak lebih rumit. Coba saja lihat majalah-majalah Thailand yang 
konsisten berbahasa Thailand, dimana sekilas pandang seperti sulaman-sulaman 
"bolah ruwet", benang ruwet.

Kegelisahan pejabat Thailand itu sesungguhnya wajar saja, bahwa bahasa-bahasa 
di dunia, memang sedang "mempertahankan diri" dari "serbuan" bahasa Inggris 
-yang kursus-kursusnya menjamur di mana-mana.

Kembali ke soal mengarang atau menulis (catatan harian, artikel, surat atau 
apapun), ia penting bagi upaya pelestarian bahasa, walaupun tidak dimaksudkan 
secara khusus pelakunya menjadi pengarang (profesional) atau ahli bahasa 
(formal). Bahasa tulis alias non-verbal, biasanya lebih terstruktur, cermat, 
karena ada mekanisme koreksi atau editing -walaupun bahasa gaul juga sudah 
begitu jauh masuk ke bahasa tulis, dalam konteks status facebook atau 
komentar-komentar ringkas sms dan twitter.

***
Ada seorang teman yang biasa menulis biografi tokoh-tokoh, seorang penulis 
kenamaan, mengaku sakit kalau tidak menulis. Kemudian saya bercanda, "Wah, kok 
sudah seperti politisi atau pejabat". Tapi ya memang begitu, bahwa tugas 
pengarang atau penulis adalah mengarang dan/atau menulis. Kalau tidak begitu, 
bisa pegal-pegal seluruh badan.

Untuk menjadi pengarang, tidak lantas harus menjadi ahli bahasa (secara formal).
Arswendo Atmowiloto itu pengarang, bukan ahli bahasa. Benar. Emha Ainun nadjib 
itu sekedar kolomnis, bukan ahli bahasa. Ya. Harimurti Kridalaksana itu ahli 
bahasa, bukan pengarang. Betul juga.

Tapi, Arswendo, Emha, Andrea Hirata, Rhenald Khasali, Azyumardi Azra, Ahmad 
Tohari, Wimar Witoelar, Jaya Suprana, Gienawan Mohamad, Ayu Utami, Danarto, 
Sutardji Calzoum Bachri, dan sederet nama-nama pengarang, penulis, kolomnis 
lain, tak bisa mempersembahkan sesuatu yang menarik kepada pembaca, tanpa 
kemampuan berbahasa yang baik. 

Mereka tidak anti pada bahasa baku. Tetapi, bukan para pelanggar utama bahasa 
baku. Bahasa yang baik adalah bahasa yang hidup -demikian pendapat Goenawan 
Mohamad. Suatu Bahasa Indonesia yang mudah ditangkap, dimengerti, justru karena 
sederhana dan egaliter, merakyat.

Omong-omong, pernahkah Anda tidak lulus ujian Bahasa Indonesia? Kalau pernah, 
berarti, setidaknya Anda punya teman dua orang profesor di atas. (***) 

M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke