http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

[ Sabtu, 26 Juni 2010 ] 


Membongkar Bungker Teroris 
Oleh: Anton Tabah 


DALAM menyongsong Hari Bayangkara Negara 1 Juli 2010, kemungkinan tepat jika 
kita mengkaji masalah terorime di Indonesia. Ketika penulis diminta berbicara 
dalam program siaran Rumah Publik yang disiarkan langsung oleh TVRI, ada 
pertanyaan bertubi-tubi dari pemirsa. Mengapa teroris sulit dibasmi? 

Pertanyaan itu penting disosialisasikan melalui media massa, membasmi teroris 
memang sulit. De facto, mereka bukan hanya mampu merekrut kader-kader baru 
relatif berusia belia usia 18-33 tahun. Tetapi, negara juga tak pernah bisa 
menyadarkan ''kesalahan'' mereka. 

Lihat para residivis teroris. Begitu keluar dari penjara, mereka kembali 
bergabung dengan teroris yang belum tertangkap dan melakukan teror lagi. 
Penjara tak sanggup memenjarakan mereka karena doktrin agama sulit disadarkan. 
Tentunya bukan tugas Polri menyelesaikan masalah itu. Tetapi, itu merupakan PR 
negara secara holistis. Tulisan ini mengkaji varian faktor mengapa teroris 
sulit dibasmi.

Pertama; Sejarah, flash back kapan teroris mulai marak? Setelah Israel semakin 
angkuh mengobarkan permusuhan dan perang di Timur Tengah.

Kedua; Politik standar ganda Amerika Serikat selalu membela Israel dan memusuhi 
negara-negara Islam, terutama sejak era Presiden George Bush Senior (tahun 
1980-an) dilanjutkan era G. Bush Junior (awal 2001). Era Presiden Barak Husen 
Obama, politik AS merangkul dunia Islam. Namun, residu politik Bush masih 
membayangi political will Obama.

Ketiga; Dari poin pertama dan kedua, lahir perlawanan di mana-mana dengan 
sasaran sama. Yaitu, menghancurkan kepentingan AS dan sekutunya. Mereka disebut 
teroris karena cara yang dilakukan, seperti bom bunuh diri, justru membahayakan 
kemanusiaan secara universal bahwa korbannya bukan sasaran, tetapi siapa saja, 
bahkan yang tidak ada sangkut pautnya dengan sasaran. Politik Bush cenderung 
anti-Islam dimanfaatkan kaum teroris menjadi amunisi ampuh memengaruhi umat 
untuk direkrut menjadi calon-calon teroris (kaderisasi)

Keempat; Pasca strategi keras radikal mengubah strategi deradikalisasi. Menyaru 
sebagai dai menyampaikan ayat-ayat keras dan dahsyat tentang jihad, tentang 
perang, dan pahala surga di masjid-masjid, di diskusi-diskusi terbatas, bahkan 
door to door.

Kelima; Kemiskinan-pengangguran menjadi constributing faktor pemicu remaja 
mudah tergiur dogma-dogma keagamaan yang dahsyat (surga neraka). Daripada hidup 
susah mencari kerja lebih baik jihad untuk mati syahid lebih cepat masuk surga 
dijemput istri-istri cantik jelita 72 bidadari. Itulah asal munculnya istilah 
siap untuk menjadi calon manten. Sebab, teroris-teroris remaja yang siap 
melakukan bom bunuh diri menurut mereka adalah calon-calon pengantin.

Keenam; Budaya masyarakat permisif mudah menerima kehadiran orang lain dan 
tenggang rasa (ewuh pekewuh) dimanfaatkan dengan baik oleh teroris.

Ketujuh; Sistem data penduduk manual dengan mudah seseorang memiliki KTP ganda 
akan mempersulit identifikasi. Hal itu juga memudahkan tersangka melarikan diri 
ke luar negeri atau ke tempat lain yang mereka mau.

Ayat-Ayat Dahsyat 

Dari tujuh faktor di atas, kini kita bedah faktor yang keempat (4) menggunakan 
taktik deradikalisasi. Itu artinya kelompok teroris mengubah pola aksi dari 
radikal keras dengan bom bunuh diri dengan dakwah bilkoul dan dakwah bilhal. 
Mereka tampil sebagai mubalig dan ustad pada umumnya, tetapi selalu menyelipkan 
ayat-ayat keras dan dahsyat yang dapat membakar semangat jihad orang-orang yang 
baru semangat belajar agama dan dangkal pengetahuan keagamaannya. 

Orang-orang semacam itulah yang sering menjadi sasaran lunak para teroris untuk 
menjadikan mereka ''calon-calon pengantin'', istilah lain dari pelaku bom bunuh 
diri atas nama jihad yang keliru atau sesat tadi. Dengan sasaran Amerika yang 
sudah telanjur terstigma buruk di negara-negara Islam sebagai musuh bersama 
umat Islam, ayat-ayat dahsyat akan sangat efektif dan komunikatif diterima kaum 
muda. Lihat kader-kader baru yang direkrut teroris. Ternyata mereka mayoritas 
berusia 18-30 tahun. Adapun ayat-ayat keras dan dahsyat itu, antara lain, surat 
Maidah ayat 44 yang artinya begini: ''Barang siapa menghukumi sesuatu tidak 
dengan hukum Allah, maka dia kafir''.

Surat Taubat ayat 38, yang artinya: ''Wahai orang-orang beriman, mengana ketika 
kamu diperintahkan untuk perang di jalan Allah, kau malah lebih memilih mencari 
dunia? Apakah kau lebih mencintai dunia ketimbang akhirat, padahal kesenangan 
dunia itu cuma sebentar dan sangat sedikit, sedangkan kesenangan akhirat abadi 
selama-lamanya''.

Jika seseorang telah terkunci dengan dalil-dalil dahsyat tersebut, semangat 
mereka untuk mati dalam jihad akan terus membara dan sulit sekali disadarkan. 
Sebab, mereka telah membuka kitab suci dan menafsirkan ke satu persoalan: Mati 
sahid. Apa yang penulis kemukakan di kajian ini adalah fakta dari keterangan 
mantan-mantan teroris yang sadar dan telah kembali ke jalan yang benar. 

Deradikalisasi 

Kemiskinan menjadi constributing factor kaderisasi teroris yang sulit dibasmi. 
Itu sesuai dengan teori Nabi Muhammad SAW: Kadalfakru an-yakuna kufron 
(Kemiskinan kawan karib kejahatan). Itu juga menjadi PR negara. Teroris harus 
diperangi bukan hanya secara fisik (operasi kepolisian), tetapi juga secara 
komprehensif. Ketujuh faktor kajian penulis tadi mungkin bisa dijadikan titik 
berangkat deradikalisasi. Ketujuh faktor tersebut menjadi bungker-bungker 
persembunyian teroris. Bukan bungker di bawah tanah, tetapi bungker sosial yang 
tentu akan lebih sulit mencarinya. 

Dalam kajian ini telah penulis diskrepsikan faktor kausalitas mengapa teroris 
tak mudah dibasmi. Solusinya, antara lain, pemerintah telah membuat program 
deradikalisasi teroris ke sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, dan 
lembaga-lembaga pemasyarakatan. 

Program deradikalisasi harus melibatkan banyak pihak untuk merumuskan materi 
apa yang bisa menyadarkan teroris agar kembali ke jalan yang benar. Sebab, 
tanpa materi yang tepat upaya itu akan sia-sia. Ibarat dokter salah memberikan 
obat kepada pasien. 

Polri punya program community policing (pemolisian komunitas-komunitas). 
Hendaknya para komandan lapangan dan kewilayahan dapat cerdas 
mengimplementasikan dan memetakan skala prioritas garapan. Misalnya, komunitas 
masyarakat pesantren, komunitas masyarakat nelayan, komunitas masyarakat 
kampus, dan komunitas masyarakat buruh. Mereka rentan dengan dogma-dogma yang 
mengatasnamakan agama karena keterbatasan pengetahuannya. Itu adalah PR bagi 
para Kapolda dan Kapolres se-Indonesia. (*)

*) Anton Tabah , jenderal polisi, pengurus HMI di Semarang 1977-1981


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke