eramuslim:
Pesantren Lukmanul Hakim, Batumarta, Sumatera Selatan.  Rabu, 4 Agustus
2010, jam di laptop saya menunjukkan pukul 03.03 dini hari. Mata saya
sulit terpejam. Padahal, saya ingat benar, pukul 00.05 saya baru
merebahkan badan. Ini tidak seperti biasanya. Saya tergolong orang yang
mudah tidur, di mana saja, dan kapan saja. Apalagi, Selasa, sehari
sebelumnya, seharian penuh saya harus menempuh perjalanan dari Surabaya
ke Batumarta. Berangkat dari Surabaya pukul 08.15 sampai di Batumarta
pukul 23.00.


Empat jam saya sempat menunggu di
Bandara Soekarno Hatta, ditambah sekitar enam jam perjalanan darat dari
Palembang ke Batumarta. Tentu cukup melelahkan. Senin malam sebelumnya,
saya dipaksa dokter Abdul Gofir SpPd, kawan saya, harus menjalani
pemeriksaan darah di kliniknya, di Jombang, Jawa Timur. Ternyata kadar
Trigliserid saya mencapai 336,7 mg/dl, cukup tinggi dari kadar normal
yang harusnya dibawah 150 mg/dl.


Tentu saja, perjalanan panjang dengan
kondisi tubuh yang tak terlalu prima itu sangat berat. Tapi, entah
mengapa, Rabu dini hari itu, saya merasa ada energi yang menggerakkan
untuk menulis kisah-kisah ini. Ya, bisa saya katakan kisah-kisah, sebab
ternyata bekas lokasi transmigrasi di Batumarta ini menyimpan
serangkaian kisah perjuangan yang penuh hikmah.


Sekitar tiga pekan lalu,  saya
dihubungi Ustad Syuhada Bahri, Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia (DDII), agar menyiapkan jadwal ke Baturaja, Sumatera Selatan.
Ada serangkaian acara dakwah, katanya. Saya sanggupi saja permintaan
itu. Tetapi, hari Senin, 2 Agustus 2010, usai mengisi sebuah acara di
Bojonegoro, kondisi kesehatan saya menurun. Kepala pusing, perut
mual-mual, dan beberapa kali harus buang hajat.


Satu SMS saya kirim ke Sekretaris DDII,
Pak Amlir Syaifa: “Mohon maaf, saya tidak bisa ke Baturaja, karena
kondisi kesehatan saya.”  Tiket sudah dibelikan. Saya harus mencari
pengganti. Walhasil, sampai Selasa paginya, tak kunjung ketemu seorang
pun yang bisa menggantikan saya.


Akhirnya, bismillah. Selasa, 3 Agustus
2010, saya putuskan berangkat ke Baturaja. Empat jenis obat dari dokter
tak lupa saya bawa. Jadwal keberangkatan pesawat ke Palembang pukul
14.10. Karena pesawat dari Surabaya tiba di Cengkareng pukul 09.30,
saya memutuskan untuk menunggu di Bandara. Sekitar pukul 13.00, Ustad
Syuhada Bahri tiba di Bandara Soekarno Hatta bersama Rusdi, staf DDII
Bidang IT dan dokumentasi.


Seperti sudah menjadi tradisi, pesawat
ke Palembang telat 30 menit. Kami mendarat di Palembang pukul 15.35. 
Dua orang menjemput kami: seorang pengemudi, dan satunya lagi
diperkenalkan namanya,  Ahmad Ramadhan.  Ternyata, dia dai DDII yang
sudah bertugas di Batumarta sejak tahun 1979, saat daerah Batumarta
masih belantara.


Sepanjang perjalanan itulah, saya tekun
mendengar cerita tentang Batumarta dari Ustad Syuhada Bahri dan Ahmad
Ramadhan. Saat pertama kali diutus berdakwah di Batumarta tahun 1984,
menurut Ustad Syuhada, jalanan masih berupa tanah. “Jika hujan,
lumpurnya setinggi mata kaki,” paparnya.  Ahmad mengaku pernah
berpapasan dengan ular sanca berdiameter paha manusia. Ular itu lewat
saja di hadapannya.  Ia belum pernah bertemu harimau. Tapi, seorang
kenalannya pernah menabrak harimau dengan motornya saat harimau itu
mengejar seekor babi hutan. Motor terjungkal. Harimau itu menatap teman
Ahmad. “Aneh, setelah tertabrak dan diam, harimau tidak menerkam
manusia, tapi kembali lari mengejar babi,” tutur Ahmad.


“Itu harimau yang istiqamah, konsisten mengejar tujuan awalnya” canda Ustad 
Syuhada.

Saat itu, keluar masuk hutan, naik
turun sungai – meskipun di malam hari – tidak membuat khawatir, apakah
bertemu ular atau harimau. “Justru kini rumah-rumah transmigran sudah
berbeton dan berkeramik, ada dua warga meninggal dipatok ular kobra,”
papar Ahmad lagi.


Kisah-kisah dai-dai DDII di daerah
Batumarta itu sangat menggairahkan, sampai berhasil mengusir rasa
kantuk. Saya penasaran, ingin melihat kondisi Batumarta,   sebuah dunia
baru yang belum pernah terlintas dalam mimpi saya.  Beberapa kali saya
telah menjelajah area Sumatera Selatan, tapi baru kali itu, saya
menemukan rangkaian kisah nyata yang sangat menarik. Naluri
kewartawanan saya seperti hidup lagi. Kisah-kisah itu sayang untuk
dilewatkan. Saya khawatir, kisah-kisah perjuangan – bahkan bisa
dikatakan kisah-kisah jihad – putra-putra muslim itu tak akan pernah
terekam dalam goresan pena sejarah.

*****

Setiba di Pesantren Luqmanul Hakim,
pukul 23.00, sesosok laki-laki mungil menyambut kami. Ia bernama Mansur
Suryadi (59 tahun). Orangnya terkesan pendiam. “Beliau ini dai pertama
Dewan Da’wah,” Ahmad Ramadhan mengenalkannya pada saya.  Saya berusaha
mengorek dan mengais kisah-kisah awal Suryadi datang ke Batumarta.

Kisah itu bermula 32 tahun lalu.

Tahun 1978, saat itu Suryadi masih
berumur 27 tahun. Terdorong untuk mencari penghidupan yang lebih baik,
tamatan sebuah Madrasah Aliyah di Ngawi, Jawa Timur, ini memberanikan
diri mendaftar sebagai calon transmigran umum. Bersamanya ada 100
kepala keluarga.


Suryadi lulus Aliyah tahun 1969.
Aktivitas mengajar sudah menjadi darah dagingnya. “Setamat Tsanawiyah,
saya sudah mengajar,” katanya. Ia mengajar agama dan bahasa Arab. Salah
satu muridnya adalah Prof. Qamari Anwar, mantan Rektor Universitas
Hamka Jakarta.


Bersama istri dan anak pertamanya,  ia
berangkat dari Ngawi menuju Batumarta. Tujuh hari perjalanan ia jalani.
Suryadi  bersyukur dapat menginjakkan kaki di lokasi transmigrasi.
Rumah yang dijanjikan ditumbuhi pohon ilalang setinggi dada manusia.
Pepohonan besar masih bercokol di sana-sini. Rumah itu berukuran 6×6
meter, terbuat dari papan kayu, berlantai tanah.  Tak ada sumur, tak
ada WC, apalagi listrik.


Suryadi mengaku tidak punya keahlian
bertani. Toh, hari-harinya harus dilalui dengan membabat ilalang,
membuka lahan. Ia tanam singkong dan padi. Tapi, sampai berbulan-bulan,
hasratnya untuk mengajar belum terpenuhi. Ia pernah mencoba ke
Baturaja, melamar di sebuah sekolah, tapi ditolak. Pada bulan ke
sepuluh, ia memutuskan menjual lokasinya, karena belum ketemu tempat
mengajar.


Ada yang menawar Rp 50.000. Ia setuju
menjual rumah dan lahannya. Dengan uang sebesar itu, ia dan keluarga
bisa kembali ke kampung asal, di daerah Ngawi. Ongkos Batumarta-Ngawi
saat itu hanya Rp 6.000. Ternyata, pembeli hanya memiliki uang Rp
25.000. Katanya, sisanya akan dicicil kemudian hari. Entah kapan.
Suryadi keberatan. Padahal, jika sekarang lahannya yang lima hektar
luasnya dijual,  harganya sudah lebih dari Rp 500 juta.


“Akhirnya, saya kuat-kuatkan tinggal di sini,” katanya, mengenang.
Tak berapa lama, sinar kehidupan mulai
tampak. Suryadi mendapat tawaran mengajar agama di sebuah SD. “Saya
sangat bahagia,” tambahnya. Sejak itu, babak baru kehidupannya sebagai
dai dan ustad di Batumarta dimulai. Tapi, bersama itu pula, ujian demi
ujian pun menyertainya. “Ada tiga kali saya berurusan dengan aparat
keamanan,” kenangnya.


Selasa menjelang tengah malam itu, satu persatu diceritakannya kisah-kisah itu.

Kisah pertama terjadi tahun 1984,
menyusul memanasnya jagad politik Indonesia akibat penandatanganan
Petisi 50. Sejumlah tokoh purnawirawan dan sipil terkemuka, termasuk
Ketua DDII, Muhammad Natsir, menandatangani Petisi yang memberikan
kritik keras terhadap pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto. 

Seluruh
penandatangan Petisi ditetapkan sebagai “Pembangkang” oleh penguasa.
Mereka dicekal pergi ke luar negeri. Beberapa jenderal purnawirawan
dipersulit kehidupannya. Dua di antaranya adalah Letjen TNI Ali Sadikin
dan Letjen TNI HR Dharsono. M. Natsir pun dilarang keluar negeri.
Bahkan, gaji pensiunnya sebagai mantan Perdana Menteri RI pernah
ditahan.


Imbas politik di Ibu Kota itu sampai
juga ke belantara Batumarta. Dai-dai DDII, seperti Suryadi dicurigai
kegiatannya. “Padahal, gara-garanya, Ketua DDII Palembang, Husin Abdul
Muin,  ada masalah pribadi dengan pegawai Departemen Agama setempat,”
kata Suryadi.


Kala itu, Suryadi sudah resmi menjadi
dai DDII.  Ia bermaksud menyelenggarakan pelatihan imam dan khatib. Ada
enam belas desa didatanginya untuk mengedarkan undangan. Radius
desa-desa itu mencapai 50 km. Alat transportasi hanya sepeda.
Kadangkala, dengan lampu senter, ia harus menerobos belantara,
berkeliling desa, mengantar undangan. “Alhamdulillah, ada sekitar 40
orang yang bersedia mengikuti,” kata Suryadi.


Karena ada pejabat yang mengaitkan
Husin dengan Petisi 50, Suryadi tiba-tiba dipanggil ke kantor Sospol
Baturaja. Husin Abdul Muin dianggap ada kaitan dengan Petisi 50.
Suryadi pun dikait-kaitkan. Padahal, tidak sama sekali. Ia hanya
seorang dai DDII.  Tahun 1979, ia menjadi dai DDII. 

Tahun 1982, barulah
ia sempat menjalani pelatihan dakwah selama 40 hari di Pesantren
Pertanian Darul Falah, Bogor.  Menurut Ustad Syuhada, saat itu, hampir
semua dai DDII menjadi sasaran kecurigaan, gara-gara kasus Petisi 50.
Sebagai staf Pak Natsir yang mengurusi masalah dai-dai di dalam negeri,
Syuhada mendapatkan banyak laporan kesulitan para dai di daerah. Maka,
ia sampaikan usulan kepada Pak Natsir agar mencabut tanda tangannya
dalam Petisi. Tapi, Pak Natsir menjawab, “Itu sudah hasil istikharah
saya.”


Di Batumarta, Suryadi terkena imbas,
meskipun dia tidak menyesal dan menyalahkan Pak Natsir. Suryadi mengaku
bangga pernah dilatih langsung oleh M. Natsir. “Saya diminta
membubarkan acara pelatihan imam dan khatib oleh pejabat Sospol
Baturaja,” kata Suryadi. Ia memilih sikap menuruti saja kata-kata
pejabat pemerintah itu. 

Tapi, ia tidak tahu, bagaimana cara memberi
tahu para undangan. Ternyata, tepat pada hari H, jamaah tetap
berdatangan, dan pelatihan itu tetap dilaksanakan. Karena lokasinya
yang jauh dari permukiman, maka tidak ada yang mempersoalkan.


Suryadi mengaku sebagai orang kecil dan
dai di pelosok yang sama sekali tidak ikut-ikutan persoalan politik di
pusat kekuasaan. Toh, saat itu, untuk urusan pelatihan imam dan khatib
saja, dikait-kaitkan dengan urusan kekuasaan, dan harus dibatalkan.

*****
Tantangan demi tantangan dakwah terus
dialami Suryadi.  Ujian dakwah yang berat kedua dialami Suryadi pada
tahun 1988. Suatu hari, di tengah malam, datang seorang polisi ke
rumahnya. Ia ditanya tentang berbagai hal. Ternyata, ada dai dari
Jakarta yang ditangkap gara-gara mengambil gambar gereja dan kantor
aparat keamanan di Palembang. Dai itu mengaku bermaksud mengunjungi
rumah Suryadi.


Akhirnya, Suryadi dipanggil ke kantor
polisi. Ia diminta membawa seluruh buku dan kitabnya. “Saya membawa dua
tas besar,” kenangnya. Untuk mencapai kantor polisi, ia harus naik
angkutan umum lebih dari satu jam perjalanan. Sesampai di sana, seorang
pegawai Departemen Agama sudah disiapkan untuk memeriksa buku-bukunya. 

Akhirnya ia berhasil melunakkan hati Kapolres Baturaja, dan dia
diizinkan kembali ke rumahnya.


Pengalaman yang dialami Suryadi mungkin
tidak terbayangkan oleh banyak generasi muda muslim pada era saat ini.
Banyak anak muda tidak sadar, bahwa suasana dakwah yang lebih kondusif
saat ini, bukanlah muncul begitu saja, tetapi sudah melalui jalan yang
panjang. Orang-orang seperti Suryadi tidak berkampanye tentang hal-hal
besar, tetapi dia bekerja di lapangan, berjihad menyebarkan ilmu,
mengajar masyarakat tentang ad-Dinul Islam.


Pada saat Subuh,  Rabu pagi hari,
Suryadi sudah menunggu di depan kamar tempat kami menginap. Dia
mengajak kami shalat Subuh. Dia memimpin sendiri  jamaah Subuh para
santrinya, yang kini mancapai 300 orang lebih. Usai shalat, Suryadi
memberikan nasihat-nasihat sederhana, dalam bahasa Arab yang mudah
dipahami oleh para santri. Cara berkomunikasinya sangat akrab. Tampak
sangat bersahaja.


Saya merenung, masih ada berapa banyak
lagi ustad-ustad seperti Suryadi ini? Secara formal, dia hanya lulusan
Madrasah Aliyah. Tapi, dia berani menjalani kehidupan. Dia mengajarkan
ilmunya. Kini, berapa banyak sarjana bidang dakwah dan pendidikan Islam
yang memiliki mental seperti Suryadi?

****
Ujian terberat dialami Suryadi di akhir
tahun 1992. Ia bersama sejumlah Ustad pesantren Luqmanul Hakim
dijebloskan ke penjara gara-gara sebuah edaran yang dikirimkan ke
beberapa gereja di wilayah Baturaja. Edaran itu bercerita tentang
kemustahilan Yesus sebagai Tuhan. Suryadi bercerita, dia sebenarnya
tidak ikut membuat dan mengedarkan surat tersebut. Pembuatnya adalah
Zuhdi Safari, Kepala Sekolah SD Batumarta.


Kepada saya, Zuhdi Safari (62 tahun)
mengaku, dia membuat surat itu karena menjawab edaran Kristen yang
disebarkan ke rumah-rumah penduduk dan juga sekolahnya. “Saya hanya
membalas apa yang mereka lakukan,” kata Mbah Safari, begitu sekarang
dia biasa dipanggil.


Meskipun hanya memberikan persetujuan,
Suryadi diganjar hukuman enam bulan penjara, lebih rendah dua bulan
dari tuntutan jaksa. Dia dikenai pasal penodaan agama, KUHP pasal 156
A. Sebelum menjalani persidangan, Suryadi dan kawan-kawan sempat
ditahan dua bulan di Kantor Kodim. “Katanya, saya diamankan,” cerita
Suryadi.


Persidangan itu  sendiri berlangsung
semarak. Selama empat bulan, PN Baturaja sering dibanjiri pengunjung.
Setiap persidangan, puluhan mobil dari Batumarta membanjiri halaman PN
Baturaja. Itulah buah pembinaan masyarakat yang dilakukan Suryadi.
Mereka bersimpati dan berempati pada gurunya. Tapi, penjara tidak
membuat nyali dakwah Suryadi dan kawan-kawan menciut. Di dalam penjara,
mereka justru menebar dakwah. Mereka mengajar mengaji dan mengenal
banyak narapidana.


Alhamdulillah, santri-santri di
Pesantren Luqmanul Hakim tidak berkurang. Suryadi tetap mengatur dan
menandatangani surat-surat pesantren dari dalam penjara. Padahal, kata
Suryadi, beberapa kali pesantrennya mengalami teror. “Kadangkala,
malam-malam ada aparat datang menggedor-gedor  pintu gerbang
pesantren,” tuturnya.


Bagaimana surat rahasia itu bisa jatuh ke aparat keamanan?

Ternyata Komandan Kodim Baturaja ketika
itu seorang aktivis sebuah gereja. Dia memerintahkan agar surat itu
diusut. Karena edaran itu dicetak, maka tidak terlalu sulit melacak ke
beberapa percetakan di sekitar Batumarta. Ujungnya, arsip edaran itu
ditemukan. Ditangkaplah Suryadi dan kawan-kawan. Pembelaan kepada
mereka tidak mempan. Mereka harus dijebloskan ke penjara. 
[hidayatullah.com/bersambung].....


sumber:  http://www.hidayatullah.com/kolom/adian-husaini/12848?task=view

 



  






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke