http://www.jawapos.co.id/mingguan/index.php?act=detail&nid=148063

Buku 
 

[ Minggu, 01 Agustus 2010 ] 

Negara Islam di Mata Agus Mustofa 


PERBINCANGAN seputar Islam dan negara hampir selalu menarik untuk diangkat. Tak 
saja karena ia bersinggungan secara ideologis dengan 1,57 miliar pemeluknya di 
seluruh dunia, tetapi juga bisa menimbulkan konflik bahkan disintegrasi dan 
perang yang tak berkesudahan. Perbedaan pendapat dalam masalah itu bukan saja 
perbedaan yang paling pertama terjadi di kalangan umat Islam, tapi juga 
perbedaan yang paling ''rawan'' dan paling sering memakan korban.

Realita itulah yang bahkan bisa kita lihat sejak masa-masa awal Islam, tepatnya 
setelah Rasulullah wafat. Perang Jamal adalah perang internal pertama umat 
Islam. Perang itu pun terjadi karena perbedaan pendapat dalam soal kebijakan 
pemerintah. Siti Aisyah ketika itu mengangkat senjata kepada Ali. Siti Aisyah, 
Talhah, dan Zubair menghendaki persoalan pembunuhan Usman diselesaikan 
secepatnya. Sementara itu, Ali yang sudah dibaiat sebagian sahabat merasa 
kondisi yang masih kacau belum memungkinkan untuk pelaksanaan qishas. Hingga 
kemudian terjadilah perang Jamal tersebut.

Adapun dalam kaitannya dengan realitas kekinian, Agus Mustofa dalam bukunya ini 
mencoba bertanya, ''Manakah menurut Anda negara Islam yang paling islami: Arab 
Saudi, Iran, Iraq, Mesir, Sudan, Afghanistan, Jordania, Pakistan, Malaysia, 
ataukah Brunei Darussalam?''

Sebuah pertanyaan sederhana namun tak mudah untuk dijawab. Ketika kita 
menyodorkan Arab Saudi yang menerapkan syariah Islam, ternyata di sana masih 
ada kebijakan yang mengekang wanita. Di sana, kita juga mendapati bentuk 
pemerintahan yang berbentuk kerajaan. Padahal, kita tahu bahwa Rasulullah 
selaku pemimpin negara Madinah ketika itu tidaklah disebut sebagai raja dan 
tidak mewariskan tampuk kepemimpinan kepada kerabatnya. Tidak juga Abu Bakar, 
Umar, Ustman, maupun Ali.

Demikian juga ketika kita berbicara tentang Mesir, Prof Dr Rafaat -anggota 
Komisi Fikih dan Fatwa Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah Mesir- dengan tegas 
menyatakan bahwa sebenarnya masyarakat Mesir sangatlah dekat dengan ulama. 
Namun, juga tak bisa dimungkiri bahwa bentuk resmi negara Mesir adalah negara 
sekuler.

Lantas, bagaimana sebenarnya bentuk negara yang islami itu?

Perbedaan-perbedaan bentuk pemerintahan ''islami'' di negara berpenduduk muslim 
adalah sebuah realitas yang tak terbantahkan. Ada yang tekstualis seperti Arab 
Saudi, namun ada juga yang substansialis semisal Mesir dan Indonesia. Lalu, di 
mana posisi Agus Mustofa? ''Buku yang saya tulis ini bukan dalam rangka 
memperjelas berbagai perbedaan-perbedaan itu, melainkan justru menyodorkan 
titik temu antara berbagai kalangan dengan harapan mudah-mudahan umat Islam 
bisa memiliki pandangan yang senada dalam hal ini,'' tulisnya dalam kata 
pengantar buku ke-27 serial diskusi tasawuf modernnya itu.

Agus Mustofa tidak sedang berdiri di kanan ataupun kiri, tapi dia sedang 
menawarkan sebuah pandangan alternatif. Hanya, berbeda dengan tulisan-tulisan 
ilmiah berbobot lain, Agus Mustofa mengemas persoalan paling pelik dalam umat 
Islam itu menjadi seperti kacang goreng. Renyah, ringan, namun bergizi. Dan, 
tetap dengan gaya tulisannya yang mampu menyihir para pembaca setianya, sebuah 
buku bergizi tinggi dengan rasa dialog dan diskusi interaktif. Tak heran, 
kemudian judul yang diangkatnya adalah sebuah kalimat tanya tanpa tanda tanya, 
Perlukah Negara Islam.

Agus Mustofa memilah buku tersebut menjadi empat bagian. Dia mengawali buku ini 
dengan kata pengantar singkat seputar Reformulasi Negara Islam. Bagaimana 
seharusnya kita melihat realitas perbedaan bentuk negara muslim dan seperti apa 
sesungguhnya frame work bentuk negara yang islami itu. Dengan harapan, sebelum 
akhirnya kita bisa memformulasi sebuah jawaban dari pertanyaan, Perlukah Negara 
Islam, kita bisa mengenal terlebih dahulu alur peta perjalanannya.

Di bagian pertama bangunan pemikirannya, dia mengawalinya dengan ragam potret 
realitas negara-negara muslim modern. Di sini dia mencoba menyusun 
puzzle-puzzle pemahaman yang berserakan, terkait apa itu negara Islam. Dengan 
runtut dia paparkan warna-warni bentuk negara muslim modern. Ada yang bersifat 
demografis, kerja sama lintas negara semisal OKI (Organisasi Konferensi Islam), 
hingga persoalan penerapan syariat Islam di berbagai negara berikut kritiknya.

Bagian kedua buku ini membahas bentuk-bentuk pemerintahan masa Islam klasik. 
Dimulai dengan analisis masa Abbasiyah, kemudian Muawiyah, hingga masa 
Khulafaurrasyidin. Yang terakhir adalah potret seperti apa negara yang 
Rasulullah bentuk selama memegang tampuk pemimpin pemerintahan di Madinah. 
Sekilas terlihat aneh, ketika Agus Mustofa membangun pemikirannya itu dengan 
alur mundur. Tapi, keanehan tersebut terjawab ketika kita telah sampai di 
subjudul terakhir bab ini, yaitu masa pemerintahan Rasulullah. Sebuah masa yang 
sudah seharusnya kita jadikan sumber rujukan, termasuk dalam usaha reformulasi 
negara Islam.

Perang dan terorisme menjadi isu utama bagian ketiga dari buku ini. Terorisme 
dan perang adalah dua isu utama yang sering dibenturkan kepada Islam. Entah 
sudah berapa ribu tulisan menyoroti isu perang dalam Islam. Hingga kemudian, 
terpatrilah sebuah premis, Islam disebarkan dengan pedang. Agus Mustofa 
menjawabnya dengan lincah. Mulai bagaimana sesungguhnya situasi ketika perintah 
perang itu turun dan apa saja aturan main dalam Islam ketika perang. Islam 
tidak berperang tanpa alasan dan tidak membunuh hanya karena perbedaan. 

Bahasannya soal distorsi makna jihad kembali menjadi bukti baru bahwa perang 
istilah itu ada dan amat berbahaya. Hasilnya, jihad pun menjadi lekat dengan 
usaha teror umat Islam dan perang melawan kaum kafir. Padahal, jihad, dalam 
arti umumnya, bermakna perjuangan dan usaha keras. Sementara dalam Alquran, 
menurut Agus Mustofa, di antara lima pengertian jihad yang ada, menariknya 
hanya ada satu yang bermakna perang fisik. Lantas, bagaimana mungkin jihad 
diartikan hanya dengan satu makna tunggal, yaitu terorisme? 

Terakhir, Agus Mustofa menutup bab ''tambahan'' ini dengan kesimpulan tegas 
bahwa pada saat tertentu tindakan perang pun bisa jadi adalah hal yang sangat 
rasional, bahkan bagi pencinta kedamaian di mana pun mereka berada.

Di bagian akhir buku ini, sampai pulalah kita pada sebuah formulasi negara 
Islam. Setelah diperbincangkan terlebih dahulu soal gambaran konsep sebuah 
negara madani hingga akhirnya kita siap memformulasikan jawaban, Perlukah 
Negara Islam.

Sebagaimana buku-buku Agus Mustofa lain, dia kerap mengangkat tema atau bahkan 
judul yang sebagian orang bilang kontroversial. Namun, kiranya ada satu hal 
menarik yang perlu dicatat. Agus Mustofa menulis dan mengangkat judul 
buku-bukunya tersebut dengan jujur dan bertanggung jawab. Dalam arti, tidak 
hanya menarik minat pasar dengan bombastisisme judul, tapi dia benar-benar 
jujur bahwa apa yang dia angkat sebagai judul adalah kesimpulan isi bukunya. 
Itulah salah satu kekuatan utama buku-bukunya hingga selalu berhasil menjadi 
best seller di pasaran, selain gaya bahasanya yang ringan dan membumi tentunya. 
(*)

*) Nailunni'am , mahasiswa Jurusan Tafsir Universitas al-Azhar Mesir dan 
Pimpinan Umum Majalah La Tansa IKPM Kairo 

Judul Buku: Perlukah Negara Islam

Penulis: Agus Mustofa 

Penerbit: Padma Press, Surabaya

Cetakan: I, Juli 2010 

Tebal: 272 halaman


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke