Pengantin Baru Seumur Hidup
Sejak masih gadis, gangguan lambung (maag) sering aku alami. Perut kembung, 
perih, sebah, tidak nyaman, bahkan nyeri sudah lama aku akrabi. Tanpa merasa 
perlu ke dokter, kalau rasa nyeri atau tidak nyaman itu muncul, aku langsung 
mengkonsumsi obat maag yang banyak dijual di pasaran. Beres.

Tapi suatu ketika aku terpaksa pergi ke puskesmas dekat rumah. Waktu itu masih 
dalam suasana pengantin baru, baru sebulan sebelumnya aku menikah dengan Mas 
Dargo, pujaan hatiku. Seminggu lebih aku terkena flu berat. Obat flu yang aku 
beli di toko tak mampu meredakan flu yang kuderita. Sudah tentu hal ini sangat 
mengganggu pekerjaanku sebagai guru SMP di pelosok kecamatan. Maka aku 
memutuskan untuk ke dokter.

Dokter di puskesmas memeriksaku dengan teliti, termasuk memeriksa isi dada dan 
perutku dengan stetoskop, juga meraba dan mengetuk-ngetuk perutku dengan jari. 
Dan dokter itu menemukan keanehan. Beliau meraba sesuatu yang tidak normal di 
dalam perutku. Maka ketika pulang aku mendapat obat flu dan sehelai surat 
rujukan untuk pemeriksaan lanjutan di RSUD Trenggalek, sebuah kota kecil di 
pantai selatan Jawa Timur.

Pemeriksaan USG di RSUD Trenggalek menemukan ketidaknormalan di ovarium kanan. 
Seperti tumor atau entah apa. Keterbatasan sarana membuat dokter tidak berani 
menetapkan diagnosa yang pasti. Kemudian aku dirujuk ke RSUD Tulungagung. Di 
sana aku kembali menjalani serangkaian pemeriksaan dengan kesimpulan: ada 
semacam bisul yang menyebabkan abses di ovarium kananku. Aku pulang dengan 
perasaan lega, bahwa penyakitku ternyata cuma bisul –hanya tempatnya yang agak 
aneh. Dokter memberi obat untuk mengempiskan abses pada ovariumku.

Yang aku rasakan, sejak mengkonsumsi obat itu perutku malah terasa sakit. 
Tegang, nyeri, dan sering cenut-cenut. Tetapi pada saat yang sama, ayah 
mertuaku jatuh sakit hingga dirawat di rumah sakit, dan akhirnya meninggal 
dunia. Baru sebulan kemudian aku sempat memperhatikan rasa sakit di perutku dan 
kontrol kembali ke RSUD Tulungagung.

Kali ini dokter melihat bahwa "bisul" di ovariumku ternyata membesar dan 
semakin parah. Beliau menyarankan tindakan operasi untuk mengangkat ovarium 
kanan yang bisulan tersebut. Aku menyetujuinya, percaya penuh bahwa dokter 
pasti melakukan yang terbaik untukku.

BABAK BARU

Saat itu tanggal 2 Agustus 1999. Umurku masih 25 tahun. Setelah beberapa jam 
melakukan operasi, dokter menemui suamiku dengan berita yang sangat 
mengejutkan. Dari rencana semula hanya mengangkat ovarium kanan karena 
"bisulan", akhirnya dokter mengangkat seluruh ovarium dan rahimku (histerektomi 
total) tanpa sempat memberitahu keluarga dahulu, karena menemukan keganasan 
pada ovarium kananku, bahkan telah mulai menyebar ke usus. Kanker ovarium 
stadium 3B, kata dokter.

Runtuhlah langit di atas kepala Mas Dargo.

Runtuhlah langit di atas kepalaku juga, ketika Mas Dargo memberi tahu hal ini. 
Kami berpelukan dan menangis bersama. Belum lagi 40 hari kepergian ayah Mas 
Dargo, kami ditimpa musibah begini berat. Terkena kanker dan rahimku diangkat 
saat kami belum puas berbulan madu dan tengah mendambakan kehadiran seorang 
anak. Antara kesedihan, ketidakpastian, dan kehampaan berkecamuk dalam 
perasaanku. Akan seperti apa nasib pernikahanku kelak? Dalam sekejap duniaku 
terbalik dan hancur lebur.

Untunglah, sebagai bungsu dari 10 bersaudara, embok (ibu) dan kakak-kakakku 
memberikan support yang luar biasa, sehingga aku tak berlama-lama tenggelam 
dalam kesedihan. Aku meyakinkan diriku bahwa ini adalah takdir yang terbaik 
bagiku. Toh penyesalan dan kemarahan tak mungkin akan mengembalikan keadaanku 
menjadi seperti semula.

Tiga minggu setelah operasi, aku menjalani kemoterapi di RSU Dr. Soetomo, 
Surabaya, 200 Km jauhnya dari rumahku. Proses memasukkan dua macam obat 
kemoterapi berjalan sehari semalam. Mualnya tak terkatakan lagi. Aku tidak bisa 
berhenti muntah selama menjalani proses itu, terutama saat memasukkan obat 
kedua yang berwarna merah (aku tidak tahu namanya). Tiap menit aku muntah, 
walau tidak ada apa-apa lagi untuk aku muntahkan.

Dokter sempat menawarkan mengganti obat kemo dengan yang lebih baik –yang tidak 
terlalu kuat efek mualnya– tetapi harga Rp 2 juta (waktu itu) bagiku terasa 
sangat berat. Aku memilih tetap menggunakan obat jatah askes-ku, dengan resiko 
tidak berhenti muntah selama hampir sehari semalam.

Rasa mual itu terus aku rasakan hingga seminggu kemudian. Badan menjadi lemas 
tak bertenaga. Bangkit dari tempat tidur pun tak mampu lagi. Walau demikian, 
aku bertekad kuat bahwa aku harus sembuh. Apapun aku mau menjalaninya demi 
kesembuhanku. Aku tidak ingin Mas Dargo kehilangan istri setelah kehilangan 
ayahnya.

PENGANTIN BARU SEUMUR HIDUP

Maka dalam kemualanku di antara waktu-waktu kemoterapi, aku memaksakan diri 
memakan makanan bergizi sebanyak-banyaknya agar kondisiku cepat pulih. Dokter 
(lupa?) tidak menyarankan diet khusus atau pantangan apapun, maka aku pun tidak 
berpantang apa-apa; kecuali buah-buahan sebangsa semangka dan melon yang kata 
seorang pengobat alternatif harus aku hindari. Mas Dargo dengan setia dan penuh 
cinta melayani dan menghiburku seolah-olah aku ini ratunya.

Mbak Jilah, kakak perempuanku, tiap hari menyediakan tujuh gelas "minuman 
wajib" untukku, dari jus wortel campur apel dan tomat, perasan kunyit dicampur 
madu dan kuning telor (ramuan ini kuminum pagi dan sore, sangat cepat 
memulihkan staminaku), rebusan benalu teh (kiriman Dik Titi dari Bogor) dan 
kunyit putih, hingga susu. Tiap kali minum, aku muntah. Tapi tiap kali muntah, 
tiap kali itu pula Mbak Jilah menyediakannya lagi untukku. Sampai aku bisa 
meminumnya tanpa muntah lagi. Sepertinya kejam, ya? Tapi itulah ketegasan dan 
wujud kasih sayang yang kubutuhkan untuk bisa sembuh.

Mas Karji yang bekerja di Samarinda mengirimiku kepingan-kepingan sirip hiu, 
yang oleh Mbak Kesi dioven dan digiling untuk kemudian dijadikan kapsul. 
Semuanya aku telan dengan keyakinan kuat bahwa aku pasti sembuh olehnya.

Doa-doa pun tak henti dipanjatkan, baik oleh seluruh keluarga besarku maupun 
para tetangga yang secara berkala diundang oleh embok untuk mengaji di rumahku. 
Dan tentunya oleh murid-muridku, yang satu semester penuh kutinggalkan.

Demikianlah, setelah menjalani kemoterapi enam kali, aku dinyatakan sembuh. Tak 
ada lagi sel kanker dalam tubuhku. Sekalipun demikian, aku masih melanjutkan 
aneka "minuman wajib"-ku hingga setahun lamanya. Setiap bulan selama setahun 
aku patuh untuk selalu kontrol dan melakukan tes tumor marker. Lalu tiga bulan 
sekali selama setahun. Lalu enam bulan sekali. Dan hingga kini aku masih 
melakukannya setahun sekali. Alhamdulillah hasilnya selalu baik.

Syukurlah masa-masa sulit itu telah lewat. Alhamdulillah juga aku dikaruniai 
suami yang sangat setia. Kuakui, jejak operasi itu membuatku tak dapat 
melakukan tugasku sebagai istri dengan sempurna. Lebih-lebih, aku tak mungkin 
bisa mempersembahkan seorang anak pada suamiku. Sebagai seorang laki-laki 
normal, Mas Dargo tentu pernah menginginkan memiliki keturunan sendiri. Tetapi 
ia marah-marah saat kuanjurkan untuk menikah lagi. Ia memilih untuk menjadi 
pengantin baru seumur hidup denganku.
(Berdasarkan penuturan Suyanti pada Titah Rahayu/rumahkanker.com)

Kirim email ke