http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=59101:penindasan-terhadap-tki&catid=78:umum&Itemid=131
Penindasan terhadap TKI Oleh : Edward Silaban Berita penyiksaan, pemerkosaan, penembakan bahkan pembunuhan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seolah-olah tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Kondisi inilah yang dialami TKI yang berada di luar negeri. Berbagai motif pembenaran dilakukan sang majikan untuk meluluskan perbuatan tersebut. Dengan mengubur berita buruk tentang kasus yang menimpa TKI. Hal ini membuat kesulitan bagi pemerintah untuk memecahkan problema yang dialami TKI. Terbukti, kasus yang menimpa TKI terus berlanjut hingga sekarang belum tuntas. Sebelum membahas lebih lanjut tentang masalah TKI, kita perlu merenung. Mengapa negara terus mengirim TKI ke luar negeri dalam kondisi yang tidak dilindungi? Harus diakui, terjadinya pengiriman ini sebagai bukti negara telah gagal menciptakan lapangan kerja bagi warga negaranya. Keadaan negara yang sedang diganggu oleh berbagai kasus internal (kasus bank century, kasus perpajakan dan kasus lain yang seiring waktu semakin bertambah) menyebabkan perhatian terhadap TKI semakin redup. Apapun alasan pemerintah, nasib warga negara harus tetap diperjuangkan karena tujuan negara didirikan untuk mensejahterakan masyarakat. Nasib TKI merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melindunginya. Jumlah TKI yang bekerja di luar negeri menurut catatan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) antara lain: Malaysia sebanyak 1,2 juta, Arab Saudi sebanyak 927.500 orang, Singapore sebanyak 80.150 orang, Yordania sebanyak 38.000 orang, Bahrain sebanyak 6.500 orang, Kuwait sebanyak 6.100 orang, UEA sebanyak 51.350 orang, Qatar sebanyak 24.586 orang, Taiwan sebanyak 130.000 orang, Hongkong sebanyak 120.000 orang, dan Brunai Darussalam sebanyak 40.450 orang. Kiriman uang dari TKI yang bekerja di luar negeri sebesar 62 Triliun (Kompas, 02 Juni 2010). Setelah melihat besaran nominal dari pemasukan TKI ke kas negara tentu suatu kebanggaan besar bagi pemerintah. Banyaknya TKI yang diberangkatkan ke luar negeri menjadi andalan besar negara Indonesia untuk meraup keuntungan. Dengan banyaknya kiriman uang yang masuk ke kas negara sebagai upah keringat TKI, maka layaklah mereka disebut sebagai pahlawan devisa negara. Pahlawan devisa negara seharusnya mendapat perlindungan layaknya seorang pahlawan. Aneka Macam Penindasan TKI selalu menjadi korban tertindas dari oknum yang tidak bertanggung jawab. Baik pemerintah sebagai pihak pengirim maupun majikan tempat TKI bekerja merupakan pelaku penindasan. Seandainya pemerintah merasakan derita yang dialami TKI pastilah negara akan berpihak kepada TKI. Sejauh ini kebijakan dibidang pengiriman TKI belumlah mendapat perlindungan hukum. Semua kebijakan yang dikeluarkan atau yang disepakati Indonesia dengan negara luar hanya sebatas diatas kertas. Seringkali kebijakan yang ada menjadi ancaman bagi TKI dalam memperoleh haknya sebagai pekerja. Perjalanan hidup TKI tiada hari tanpa penindasan, bahkan penyiksaan sudah menjadi bumbu kehidupan. Hidup senang hanyalah mimpi buruk bagi TKI yang tidak pernah tercapai. Ternyata pengorbanan mereka terhadap bangsa dan negara tidak sebanding dengan perlakuan yang diterima. Terbukti, banyaknya TKI yang bermasalah di luar negeri. Kondisi ini diperparah dengan kasus yang menimpa TKI diluar negeri tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah. Banyak TKI yang mendapat perlakuan tidak manusiawi dari majikan tempat kerja selalu dibungkam. Kalau ditabulasi, masalah yang dialami TKI sangat beragam mulai dari penyiksaan, pemerkosaan, penembakan bahkan pembunuhan. Kasus kekerasan terhadap TKI pada sektor rumah tangga yang dialami oleh Siti Hajar pada pertengahan tahun 2009. Kasus terhadap Munti tenaga kerja asal Jawa Timur. Pembantu rumah tangga ini di kurung di kamar mandi hingga tewas. Kasus pemerkosaan yang dialami pembantu rumah tangga kemudian tubuhnya disetrika majikannya karena dituduh terlambat mengangkat telepon. Bukan hanya itu ternyata masih banyak kasus lainnya yang terungkap karena dikubur di negeri tempat TKI bekerja. Semua penindasan yang dialami TKI sebagai bukti bahwa pemerintah belum berpihak padaTKI. Terjadinya penderitaan terhadap TKI tidak terlepas dari persiapan yang tidak matang sebelum TKI diberangkatkan ke luar negeri. Permasalahan pokok yang menimpa TKI ternyata berasal dari internal (dalam negeri) meliputi: Pertama, rekrutmen TKI yang tidak resmi. Untuk perekrutan pemerintah memberikan kebebasan kepada calo atau sponsor untuk mencari calon TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri. Hal ini akan menjadi dampak terhadap penindasan terhadap TKI. Para Sponsor tidak pernah memperhatikan keadaan calon TKI mulai dari keterampilan kerja, keadaan fisik dan usia. Artinya, pengiriman TKI tidak melalui prosedur hukum. Hal ini tantangan berat bagi calon TKI. Sebagai akibat dari tindakan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang tidak bertanggung jawab sebagai korban adalah TKI itu sendiri. Seharusnya TKI sebelum diberangkatkan harus dibenahi secara keterampilan dibidang kerja. Training menjadi jawaban terhadap pembobotan TKI. Biasanya sponsor yang melakukan ini adalah pihak yang tidak memiliki izin. Bagi pihak yang tidak mempunyai izin, pemerintah sudah bisa bersikap tegas. Kalau hal ini dibiarkan sama saja dengan memasukkan TKI kedalam lobang yang sama (penderitaan berkelanjutan). Sebenarnya sebelum TKI diberangkatkan harus dibenahi secara pengetahuan dengan cara membuat pelatihan kerja selama 200 jam. Banyak TKI yang tidak mendapatkan pelatihan ini. Mereka dikirim oleh oknum yang tidak bertanggung jawab demi keuntungan. Akibatnya TKI selalu objek yang tertindas. Seharusnya syarat layaknya seorang pekerja harus dimiliki calon TKI. Syarat ini menjadi bahan pertimbangan bagi Sponsor dalam perekrutan. Ternyata Sponsor hanya mengejar rupiah dari sejumlah TKI yang akan diberangkatkan. Kedua, Adanya manipulasi terhadap data TKI hingga menjadi masalah ditempat kerja. Adanya pengiriman yang melanggar hukum. Aspek ini terjadi pada calon TKI yang akan diberangkatkan melalui prosedur yang tidak sesuai dengan kebutuhan dilapangan kerja. Misalnya, manipulasi terhadap usia TKI. Diberitahukan seorang ibu rumah tangga yang sudah berusia 50 tahun bisa berangkat ke Malaysia dengan manipulasi usia. Usia Ibu rumah tangga tersebut dibuat menjadi dibawah 50 tahun. Padahal Ibu tersebut tidak bisa menulis dan membaca. Hal ini akan menjadi masalah ketika berada dilingkungan pekerjaan. (Analisa, 24 Mei 2010) Ketiga, ongkos keberangkatan TKI. Selama ini biaya keberangkatan TKI dibebankan kepada majikan. Setelah TKI bekerja maka majikan akan membebankan biaya pengiriman TKI tersebut kepada TKI. Ketentuan ini membuat TKI semakin terpuruk. Sepatutnya sebelum TKI diberangkatkan harus jelas tentang biaya keberangkatan ditanggung oleh pihak mana, sehingga TKI bebas dalam menjalankan tugasnya. Suatu kebanggaan bagi TKI, yang mana akhir-akhir ini pemerintah Indonesia bersama Malaysia menandatangani Letter of Inntens (LoI) yang salahsatu isinya mengatur tentang hari libur bagi TKI. Kesepakatan ini merupakan angin segar bagi TKI, karena sebelumnya TKI bekerja setiap hari tanpa hari libur. Kalau ditanya, ternyata TKI bukan hanya membutuhkan hari libur tetapi lebih kepada perlindungan yang menjamin kebebasan dalam bidang pekerjaan yang layak. Selama ini TKI yang bekerja pada majikan hampir tidak memiliki hak namun memiliki kewajiban segudang. Artinya, terjadi tumpang tindih antara pihak pekerja dengan majikan. Memorandum of Understanding (Mou) atau nota kesepahaman bersama belum menjadi jawaban kalau tidak terealisasi dilapangan. Peraturan itu memang indah sewaktu berada diatas kertas namun sesudah diterapkan seringkali menimbulkan penderitaan. Secara hukum pengiriman TKI dilakukan pemerintah melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan mengikutsertakan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). Ditingkat propinsi BP3TKI akan memeriksa semua dokumen yang wajib dicantunkan adalah perjanjian (MoU) yang melindungi calon TKI di negara tujuan. Bangkit dari Penindasan Pihak yang mengetahui masalah TKI adalah TKI itu sendiri. Mereka berhak mengadukan segala permasalahan yang dialami mulai keberangkatan hingga perlakuan ditempat kerja kepada pemerintah. Perlindungan terhadap TKI merupakan tanggung jawab negara. Memang pemerintah sudah memfasilitasi TKI untuk melaporkan seluruh problema yang dideritanya. Dengan membentuk Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) sebagai salahsatu tempat untuk mengadukan nasib yang dialami TKI. Selama ini kinerja BP3TKI tidak maksimal dalam memberikan jaminan perlindungan bagi TKI. Bagaimana BP3TKI mau bertindak sedangkan pemerintah sebagai pengambil kebijakan tidak bisa berbuat banyak dalam hal perlindungan TKI. BP3TKI hanya bisa berkata semua TKI yang akan bekerja di luar negeri mendapat perlindungan dari negara. Oleh karena itu, dituntut keberanianTKI untuk melaporkan setiap kasus baik yang berasal dari dalam negeri sebelum TKI diberangkaatkan maupun sesudah bekerja diluar negeri. BP3TKI sebagai pihak pemerintah harus tanggap dalam memahami persoalan TKI. Adanya kebijakan baru dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan adanya larangan kepada para sponsor selama mencari calon TKI diantaranya tidak boleh mengalihkan TKI dari satu Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) ke PPTKIS yang lainnya merupakan salah satu bentuk keberpihakan kepada TKI. Namun ini masih tantangan, kalau dalam pelaksanaannya tidak dikontrol maka TKI tetap juga diekploitasi dengan iming-iming gaji yang besar apabila bekerja di luar negeri. Itulah godaan bagi TKI sehingga mereka menjadi korban dari oknum yang mengatasnamakan PJTKI resmi. Oleh kerena itu, Sponsor harus terdaftar di dinas tenaga kerja dan transmigrasi kabupaten/kota dan hanya boleh memasok untuk satu PPTKIS. (Kompas, 02 Juni 2010) Apabila hal ini terlaksana maka tidak ada lagi tangisan TKI yang menjadi korban dari agen yang menawarkan bau yang sangat manis bagi calon TKI. Maka keberpihakan terhadap TKI merupakan keharusan demi masa depan generasi bangsa.*** *Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Sejarah USU dan Mantan Ketua KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial) [Non-text portions of this message have been removed]